BAHASA DAN KREATIVITAS
(MENGUNGKAP KETERKAITAN ANTARA BAHASA, PIKIRAN, DAN KEBUDAYAAN/SASTRA)[1]
oleh
Hilmi Akmal, M. Hum[2]
Pendahuluan
Manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan dikaruniai kemampuan berpikir. Untuk dapat melakukan hal
itu, manusia memerlukan sarana yang salah satunya adalah bahasa. Dengan adanya
kemampuan berpikir ini membuat manusia berbeda dari binatang sebagai sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
Dengan kemampuannya
berbahasa manusia dapat saling berkomunikasi, saling berinterkasi, dan saling
menjalin hubungan. Dengan kemampuannya berbahasa pula manusia dapat
mengembangkan kebudayaannya sebab tanpa kemampuan berbahasa ini maka hilang
pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Selain mampu berpikir, berbahasa, dan mengembangkan
budayanya, ada satu hal lagi yang membedakan manusia dengan hewan. Apa itu?
Kreativitas adalah jawabannya.
Dari uraian di atas
tampak terdapat suatu hubungan antara bahasa, pikiran, dan kebudayaan. makalah
ini akan mengulas dan mengetahui bagaimana hubungan antara bahasa, pikiran, dan
kebudayaan, apakah ketiganya saling memengaruhi atau tidak. Lantas apakah bahasa
memiliki kaitan dengan kreativitas atau tidak. Namun, sebelum beranjak ke
bahasa dan kreativitas, saya akan membahas pengertian dari bahasa, pikiran, dan
kebudayaan terlebih dahulu.
Bahasa
Bahasa menurut
Kridalaksana (2005: 3) adalah sistem lambang bunyi yang disepakati untuk
dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dari definisi tersebut dapat
diuraikan bahwa (1) bahasa adalah sebuah sistem. Maksudnya adalah bahasa itu
bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tidak beraturan. Seperti halnya
sistem-sistem lain unsur-unsur bahasa “diatur” seperti pola-pola yang berulang
sehingga kalau hanya salah satu bagian saja tidak tampak, dapatlah “diramalkan”
atau “dibayangkan” keseluruhannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa
itu sistematis, dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang dapat
diramalkan, dan juga sistemis, bukan sistem yang tunggal, tetapi terdiri dari
beberapa subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem gramatika dan subsistem
leksikon; (2) bahasa adalah sistem tanda. Tanda adalah ‘hal atau benda yang
mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang
menanggapi’ (dengan cara mendengar, melihat, dan sebagainya) apa yang
diwakilinya itu; (3) bahasa adalah sistem bunyi. Pada dasarnya bahasa itu
berupa bunyi. Tulisan merupakan turunan belaka dari bunyi bahasa; (4) bahasa
digunakan berdasarkan kesepakatan agar orang dapat berkomunikasi dan bekerja
sama; (5) bahasa bersifat produktif. Artinya, sebagai sistem dari unsur-unsur
yang jumlahnya terbatas bahasa dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya;
(6) bahasa bersifat unik. Maksudnya bahasa memiliki sistem yang khas yang tidak
harus ada dalam bahasa lain; (7) sebaliknya, ada pula sifat-sifat bahasa yang
dipunyai oleh bahasa lain sehingga ada sifat universal, ada pula yang hampir
universal; (8) bahasa memiliki variasi-variasi karena bahasa dipakai oleh
kelompok manusia untuk berkomunikasi dan bekerja sama dan pemakai bahasa itu
banyak ragamnya; (9) bahasa digunakan suatu kelompok sosial untuk
mengidentifikasi dirinya, dan (10) bahasa itu memiliki fungsi karena digunakan
manusia yang masing-masing memiliki cirinya sendiri-sendiri untuk pelbagai
keperluan (Kridalaksana, 2005: 3-6).
Dari pengertian
yang diberikan Kridalaksana di atas, jelaslah bahwa manusia mempunyai bahasa
dan menggunakannya untuk berkomunikasi secara verbal satu sama lain. Bagi
manusia berbahasa adalah masalah yang sangat mendasar. Begitu mendasarnya
berbahasa bagi manusia hingga jarang sekali orang memikirkannya; sama seperti
bernapas atau berjalan, yang begitu mendasar dan perlu dalam hidup manusia,
jarang sekali kita pikirkan dan kurang kita perhatikan, bahkan tidak kita
sadari (Bloomfield, 1976: 3). Padahal, jika kita tidak mempunyai bahasa maka
kita akan kehilangan kesanggupan kita untuk hidup sebagai makhluk sosial. Dengan
kata lain, kita akan kehilangan kemanusiaan kita (Nababan, 1984: 46).
Sebagai alat
komunikasi verbal, bahasa dapat berfungsi kalau sekurang-kurangnya terdapat dua
orang. Agar manusia tidak mengalami kesulitan dalam bahasa, ditetapkanlah
konvensi-konvensi yang harus ditaati oleh pemakai bahasa. konvensi itu kemudian
diatur, diklasifikasikan, dan lahirlah tata bahasa. Namun, perlu diingat bahwa
tanpa orang mengetahui tata bahasa dia masih dapat berkomunikasi. Karena setiap
orang dengan proses belajar, baik langsung maupun tidak, mempunyai kompetensi
untuk berkomunikasi (Pateda, 1987: 4). Secara
khusus bahasa dikaji oeh imu tersendiri yang disebut linguistik.
Pikiran
Sebagai
makhluk ciptaan Tuhan manusia dianugerahi otak, benda putih yang lunak terdapat
dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat syaraf yang menjadi alat berpikir (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2001: 804). Berpikir
sendiri definisinya adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan
memutuskan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 872). Pikiran,
masih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 873), adalah hasil
berpikir. Selain berpikir, manusia dengan otaknya pun sanggup bernalar.
Kemampuan bernalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang
merupakan rahasia kekuatan-kekuatannya (Suriasumantri, 1996: 39). Penalaran
sendiri merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan (Suriasumantri, 1996: 42).
Dari uraian di atas
jelaslah bahwa berpikir adalah salah satu produk dari otak. Lalu apa itu yang
disebut otak? Kata otak diterjemahkan dari brain, kata dalam bahasa
Inggris, yang berasal dari kata Anglo Saxon braegen. Kata Yunani untuk
otak adalah enkephalos yang kemudian menjadi asal kata encephalon,
istilah yang dipakai secara luas dalam ilmu kedokteran untuk menyebut otak
(Pasiak, 2005: 64).
Para ahli syaraf membagi otak menjadi tiga bagian besar, (1) proencephalon
(otak depan, forebrain), (2) mesenchapalon (otak tengah, midbrain),
dan (3) rhombencephalon (otak belakang, hindbrain).
Pada bagian otak depan ada yang disebut otak besar (cerebrum).
Pada otak besar terdapat korteks serebral, yaitu bagian yang tampak seperti
gumpalan-gumpalan berwarna putih dan merupakan bagian terbesar dalam sistem
otak manusia (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 16). Pada bagian otak besar
ini pula terdapat dua belahan yang disebut hemisfer. Kedua belahan itu disebut
hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang sering diistilahkan sebagai “otak kiri”
dan “otak kanan” (Pasiak, 2005: 66). Kedua hemisfer itu dihubungkan oleh
serabut padat yang disebut korpus kalosum. Pada setiap hemisfer dibagi atas
empat lobus, atau bongkahan, yaitu lobus frontalis, lobus oksipitalis, lobus
parietalis, dan lobus temporalis (Mardiati, 1996: 6). Lobus frontalis, yang ada
di bagian depan, di dahi, bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir,
perencanaan, dan penyusunan konsep. Lobus temporalis (di seputar telinga)
bertanggung jawab terhadap persepsi bunyi dan suara. Memori dan kegiaatan
berbahasa juga menjadi tanggung jawab lobus ini. Lobus parietalis (di puncak
kepala) juga menanggung tanggung jawab untuk kegiatan berpikir, terutama
pengaturan memori. Bekerja sama dengan lobus oksipitalis, yang ada di belakang
kepala, lobus ini turut mengatur kerja penglihatan (Pasiak, 2005: 68).
Di otak depan ada pula bagian yang disebut diencephalon
yang tertanam di antara belahan otak, tersembunyi dalam tempat yang sukar
dijangkau oleh mata. Untuk melihatnya otak besar harus disingkirkan terlebih
dahulu. Bagian paling penting darinya adalah talamus dan hipotalamus (Pasiak,
2005: 66). Talamus adalah switchboard-nya otak. Sama seperti switchboard
pesawat telepon yang menyalurkan setiap pesan yang masuk, talamus bertanggung
jawab untuk menyalurkan informasi yang masuk ke bagian-bagian penting otak.
Sewaktu Anda membaca tulisan ini, saraf-saraf mata Anda segera mengirimnya ke
otak. Sebelum ditafsirkan, makna tulisan itu ada di kulit otak, informasi itu
harus melewati talamus. Dengan cara yang amat canggih talamus menyalurkan
informasi itu ke bagian-bagian otak yang berkompeten. Hipotalamus mengatur rasa
lapar, kenyang dan perilaku seksual. Komponen kecil ini, beratnya hanya
sepertiga ratus dari massa
otak dan bila terganggu sedikit saja akan memberikan dampak yang serius bagi
tubuh, lebih khusus lagi mengatur keseimbangan tubuh seperti suhu, tekanan
darah, dan detak jantung. Talamus dan hipotalamus, yang terletak tepat di depan
talamus, merupakan “jembatan” bagi tubuh dan otak (Pasiak, 2005: 70-72).
Otak belakang terdiri atas (1) otak kecil (cerebelum),
(2) pons (arti harfiahnya “jembatan”), dan (3) medulla oblongata.
Dua komponen terakhir, bersama dengan komponen mesenchapalon (otak
tengah), membentuk batang otak (brainstem atau truncus cerebri)
(Pasiak, 2005: 72). Otak kecil, yang menempati bagian belakang otak, melekat
pada otak tengah, berfungsi mengoordinasikan gerakan. Medulla menjadi
pusat pengawasan sistem respirasi, kardiovaskular, dan pencernaan. Pons
bertugas mengatur inhibisi pusat pernapasan (Mardiati, 1996: 6). Batang otak
bertugas menjadi semacam jembatan antara belahan otak dan saraf tulang belakang
(Pasiak, 2005: 72).
Kebudayaan
Definisi kebudayaan
menurut E. B. Taylor, orang pertama yang mendefinisikan kata kebudayaan dalam
bukunya Primitive Culture yang terbit tahun 1871, adalah keseluruhan
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat (Suriasumantri, 1996: 261).
Margaret Mead (1901-78), seorang antropolog Amerika, mengatakan
kebudayaan adalah perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompok.
Raymond Williams (1921-88), salah seorang pendiri cultural studies,
mendefinisikan kebudayaan sebagai sesuatu yang mencakup organisasi produksi,
struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan atau mengatur hubungan
sosial, bentuk-bentuk berkomunikasi khas anggota masyarakat. Berdasarkan
definisi-definisi itu, tampaknya bisa disimpulkan bahwa kebudayaan hampir
mencakup segala sesuatu (Sardar dan Van Loon, 2001:5).
Perlu diketahui
bahwa definisi tentang kebudayaan itu amatlah banyak, lebih kurang terdapat 150
definisi yang diinventarisasi oleh Krocher dan Kluckholn pada tahun 1952
(Suriasumantri, 1996: 261). Kemudian Krocher dan Kluckholn membagi kebudayaan
dalam enam golongan (Nababan, 1984: 49), yaitu: (1) kebudayaan yang deskriptif,
yang menekankan unsur-unsur kebudayaan; (2) kebudayaan yang historis,
yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan; (3)
kebudayaan yang normatif, yang menekankan hakekat kebudayaan sebagai
aturan hidup dan tingkah laku; (4) kebudayaan yang psikologis, yang
menekankan kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan
pemecahan persoalan dan belajar hidup; (5) kebudayaan yang struktural,
yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur,
dan (6) kebudayaan yang genetik, yang menekankan terjadinya kebudayaan
sebagai hasil kerja manusia.
Koentjaraningrat (1974: 12) secara lebih terperinci lagi
membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur kebudayaan yang universal. Unsur-unsur
tersebut adalah (1) sistem religi dan upacara keagamaan; (2) sistem dan
organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian;
(6) Sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan
hidup.
T. La Pier, seorang
sosiolog, membagi kebudayaan menjadi tiga sistem yang saling tergantung, yaitu
(a) sistem ideologi, yakni bagian dari kebudayaan yang berisi ide-ide,
kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan cara berpikir/penalaran di mana manusia
belajar menerima dan membatasi apa yang diinginkan dan apa yang tidak
diinginkan. La Pier menyebut sistem ini sebagai “kompenen mental” dari sistem
sosial yang dapat dipergunakan sebagai landasan berpikir manusia. Ide-ide
tentang makhluk gaib, demokrasi, keadilan, kebebasan, kesetiaan, kejujuran,
keindahan, dan nilai-nilai pendidikan atau ilmu pengetahuan berasal dari sistem
ideologi dari kebudayaan sebagaimana yang telah kita pelajari; (b) sistem
teknologi, yakni bagian kebudayaan yang berkaitan dengan keahlian (skill),
kerajinan (craft), dan seni yang memungkinkan manusia dapat menghasilkan
barang-barang material yang berasal dari lingkungan alam. Kemampuan kita
memasak makanan atau mengendarai mobil, misalnya, membentuk teknologi yang pada
gilirannya melahirkan kebudayaan; dan (c) sistem organisasi, yaitu bagian
kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang memuungkinkan bagi
manusia mengoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan
orang lain (Mintargo, 1997: 86-87).
Keterkaitan antara Bahasa,
Pikiran, dan Kebudayaan
Setelah kita
melihat pengertian bahasa, pengertian pikiran, dan pengertian kebudayaan, maka
selanjutnya kita akan melihat hubungan antara ketiganya. Pertama-tama kita akan
kaji hubungan antara bahasa dan pikiran terlebih dahulu.
Kenyataan
menunjukkan bahwa bahasa digunakan untuk mengungkapkan pikiran. Seseorang yang
sedang memikirkan sesuatu kemudian ingin mengungkapkan hasil pemikirannya itu,
ia menggunakan sebuah alat, yaitu bahasa (Pateda, 1990: 30). Menurut
Suriasumantri (1996: 167) bahasa merupakan salah satu sarana untuk dapat
melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik selain matematika dan
statistika.
Telah diketahui
bahwa setiap proses, benda, kenyataan, dan kegiatan memiliki label atau simbol
dalam bahasa tertentu. Telah diketahui pula bahwa label-label atau
simbol-simbol itu mempunyai makna denotatif maupun makna konotatif. Untuk
mengemukakan hasil pemikiran, manusia mengadakan seleksi terhadap label-label
atau simbol-simbol yang telah diketahuinya. Label-label atau simbol-simbol itu
disusun sedemikian rupa dan memenuhi kaidah bahasa yang digunakan. Di sini kita
bisa melihat bahasa digunakan untuk mengoperasikan hasil pemikiran. Dalam
hubungan ini bahasa dapat dilihat dari dua hal: (1) sebagai aktivitas jiwa dan
(2) sebagai aktivitas otak (Pateda, 1990: 31).
Sebagai aktivitas
jiwa, bahasa dapat dianggap baik sebagai gerakan mental atau sebagai
stimulus-reaksi. Ilmu yang memelajari bahasa sebagai gerakan mental disebut
psikomekanik (psychomechanic). Psikomekanik mencoba menjelaskan
bagaimana bahasa sebagai sistem institusional menjadi ujaran dalam aktivitas
seseorang, baik ketika sedang berbicara maupun sedang menulis. Sebagai
stimulus-reaksi bahasa dianggap sebagai sesuatu yang berulang kemudian
menyebabkan seseorang bereaksi. Hal ini akan berupa momen-momen fisik yang
menyentuh ingatan, asosiasi ide yang kemudian disalurkan dalam alat wicara
dalam bentuk kata-kata.
Bahasa dapat pula
dianggap aktivitas otak. Sebagai aktivitas otak terdapat dua pendekatan yang
digunakan, yakni pendekatan melalui neurologi dan pendekatan melalui teknologi.
Dilihat dari segi neurologi, bunyi bahasa dan konsep-konsep terdapat dalam
otak. Akhir-akhir ini para ahli syaraf telah dapat menentukan daerah yang
berbeda di dalam otak yang berfungsi mengontrol pendengaran, mengingat, dan
berpikir dan memformulasi daerah-daerah tersebut serta kaitannya dengan bahasa.
Seorang pakar yang bernama Penfield yang bergerak dalamn bidang ini membuat tes
verbal yang ditujukan pada beratus-ratus pasien selama dia melakukan operasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, Penfield berpendapat bahwa organisasi
dan koordinasi mekanisme ujaran dilaksanakan oleh hubungan-hubungan sel syaraf.
Pendekatan kedua
yang menganggap bahasa sebagai aktivitas otak adalah pendekatan teknologi.
Dalam kaitan ini terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni (i) model
kontruksi, (ii) model teoretis, dan (iii) model kerja. Model kontruksi yang
berfungsi sebagai translator mekanis akan menghasilkan bentuk-bentuk analog
elektronik di dalam otak. Kontruksi analog merupakan hal yang penting dalam
ilmu dan teknologi modern. Model teoretis berkaitan dengan tujuan studi bahasa
yang menganggap bahasa sebagai aktivitas otak. Salah satunya adalah kromatoskop
(chromatoscope), yaitu sejenis generator mekanis pada hipotesis
linguistik yang menganggap kata-kata dan konsep sebagai molekul-molekul
pengalaman. Partikel-partikel makna dianggap sebagai atom yang membentuk
molekul-molekul tersebut. Atom-atom makna mengaktifkan informasi-informasi dan
dapat mengaktifkan atom yang lain. Model kerja terarah pada bagaimana bahasa
beroperasi di dalam otak. Pada model ini bahasa beroperasi secara elektronis.
Usaha-usaha untuk mendesain suatu mesin untuk menerjemahkan bahasa telah
menghasilkan spekulasi-spekulasi aktivitas linguistik di dalam otak manusia
(Pateda, 1990: 32).
Ada satu hipotesis mengenai hubungan bahasa
dengan pikiran yang terkenal, yakni hipotesa yang dikemukakan oleh dua orang
ahli bahasa dari Amerika, Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Sapir
(1884-1939) adalah seorang tokoh linguistik Amerika yang dihormati dan
disegani, sedangkan Whorf (1897-1940) merupakan salah seorang murid Sapir
(Anwar, 1984: 86). Hipotesis yang mereka kemukakan terkenal dengan nama hipotesis
Sapir-Whorf (Sapir-Whorf Hypothesis) (Pateda, 1990: 33), atau disebut
juga Hipotesis Kebahasaan Sapir-Whorf (Subyakto-Nababan, 1992: 156). Hipotesis
ini mengatakan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat ditentukan oleh struktur
bahasanya (Pateda, 1990: 33), atau dengan kata lain bahasa memengaruhi pikiran
(Subyakto-Nababan, 1992: 157). Adapun tesis Whorf mengenai hubungan antara
bahasa dengan pikiran mencakup dua hal (Tarigan, 1986: 38), yakni (a)
masyarakat lingustik yang berbeda merasakan dan memahami kenyataan dengan cara
berbeda-beda dan (b) bahasa yang dipakai dalam suatu masyarakat membantu untuk
membentuk struktur kognitif para individu pemakai bahasa tersebut.
Berbicara mengenai
hubungan bahasa dengan pikiran, ada baiknya dikaji pendapat Steinberg yang
menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan pikiran dapat dilihat dari (1) produksi
ujaran yang merupakan dasar pikiran, (2) bahasa adalah basis pikiran, (3)
sistem bahasa menunjukkan spesifikasi pandangan, dan (4) sistem bahasa
menunjukkan spesifikasi budaya. Dalam hal produksi ujaran sebagai dasar
pikiran, tersirat pendapat bahwa pikiran adalah sejenis tingkah laku. Jadi,
kalau kita mengatakan, “kupukul engkau,” urutan kata ini merupakan hasil
pemikiran, hasil pertimbangan. Pikiran yang tersimpul dalam kalimat ini
merupakan tingkah laku, bahkan dapat dikatakan terjadi perubahan tingkah laku.
Yang dimaksud dengan perubahan tingkah laku di sini adalah perubahan tingkah
laku diam, tenang kemudian berubah menjadi ingin memukul. Keinginan itu
merupakan hasil pemikiran (Pateda, 1990: 34).
Dari uraian di atas
telah jelas bahwa bahasa merupakan aktivitas otak. Namun, timbul pertanyaan
bagian otak yang mana yang mengatur kegiatan berbahasa? Pada bagian Pikiran
telah dikemukakan bahwa otak terbagi menjadi dua bagian atau hemisfer, yaitu
hemisfer kiri dan kanan. Hemisfer kanan mengatur pemrosesan informasi spasial
dan visual, sementara hemisfer kiri mengontrol kegiatan berbahasa. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa hemisfer kanan tidak berperan dalam pemrosesan berbahasa.
Intonasi kalimat, misalnya, dikendalikan oleh hemsifer kanan. Jadi, proses
berbahasa melibatkan kedua belahan otak. Koordinasi keduanya dimungkinkan
karena adanya struktur yang menyatukan kedua belah hemisfer itu, yaitu korpus
kolasum yang berperan dalam menyampaikan informasi di antara kedua hemisfer.
Mengapa hemisfer kiri dianggap cukup dominan dalam proses berbahasa? Hal itu
dikarenakan pada hemisfer kiri terdapat bagian penting yang disebut area Broca
dan area Wernicke. Nama-nama itu didasarkan pada para penemu-penemu area
tersebut (Darmojuwono dan Kushartanti, 2005: 16-17).
Pada 1860 Paul Broca menemukan adanya kerusakan pada
daerah tertentu di otak menimbulkan kesulitan berbicara yang disebutnya afasia
ekspresif atau afasia motorik. Betul, si pembicara dapat berbicara, tapi
kata-katanya hampir tanpa makna. Aksentuasinya pun lambat dan tidak tegas.
Akibatnya lawan bicaranya tidak sanggup menangkap apa yang dimaksud olehnya.
Kurang lima
belas tahun kemudian, pada tahun 1874, Carl Wernicke menemukan adanya kerusakan
pada daerah tertentu di otak yang dapat membuat seseorang kesulitan untuk
berbahasa. Jika daerah ini rusak, ucapan orang lain masih dapat didengar,
demikian juga huruf-huruf masih dapat dibaca, tetapi semua informasi itu tidak
dapat dimengerti. Orang itu juga dapat berkata-kata, bahkan dengan artikulasi
yang baik. Akan tetapi, kata-kata yang diucapkannya tidak bermakna sama sekali.
Kata-kata yang dipakai pun salah. Kerusakan daerah ini disebut afasia reseptif
atau afasia sensoris (Pasiak, 2005: 142-143).
Setelah dibahas
kaitan antara bahasa dengan pikiran, kini saatnya membahas hubungan bahasa
dengan kebudayaan. Secara umum bahasa mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi.
Jika kita mengkaji bahasa sebagai alat komunikasi dalam kaitannya dengan
masyarakat dan pendidikan secara lebih terperinci, maka kita dapat membedakan
empat golongan fungsi bahasa, yakni (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi
kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, dan (4) fungsi pendidikan. Keempat macam
fungsi itu tentu juga berkaitan sebab “perorangan” adalah anggota “masyarakat”
yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pola “kebudayaan” yang diwariskan
dan dikembangkan melalui “pendidikan.” Di sini kita dapat simpulkan fungsi
bahasa dalam kebudayaan sebagai (i) sarana perkembangan budaya, (ii) jalur
penerus kebudayaan, dan (iii) inventaris ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38).
Secara filogenetik
(hubungan jenis), bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang
memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal. Secara ontogenik
(terjadinya dalam perorangan), seseorang belajar dan mengetahui kebudayaannya
melalui bahasa; artinya kita belajar hidup dalam masyarakat melalui dan dengan
bantuan bahasa. Dengan kata lain, kebudayaan dilahirkan dalam perorangan
kebanyakan dengan bantuan bahasa; contoh dan tindakan orang lain menjadi “bahan
pelajaran” juga dalam pembudayaan seseorang, tetapi semuanya itu disertai atau
diperkuat oleh bahasa. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa sebagai inventaris
kebudayaan, seperti yang telah disebutkan di atas, adalah bahwa segala sesuatu
yang ada dalam suatu kebudayaan mempunyai nama dalam bahasa kebudayaan itu
(Nababan, 1984: 39).
Dengan demikian,
bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem dari
sistem kebudayaan–malah bagian yang inti dan terpenting dari kebudayaan. Bahasa
terlibat dalam semua aspek kebudayaan, paling sedikit dengan cara mempunyai
nama atau istilah bagi unsur-unsur semua aspek kebudayaan itu. Lebih penting
dari itu, kebudayaan manusia tidak akan terjadi tanpa bahasa; bahasalah faktor
yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Jadi bahasa adalah sine qua non
(yang mesti ada) bagi kebudayaan dan masyarakat manusia. Hubungan lain dari
bahasa dengan kebudayaan adalah bahwa bahasa, sebagai sistem komunikasi,
mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya (Nababan, 1984:
50).
Sedemikian erat
hubungan suatu bahasa dengan suatu kebudayaan yang menjadi wadahnya sehingga
sering terdapat kesulitan dalam menerjemahkan kata dan ungkapan dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Sebagai contoh, kata village dalam bahasa
Inggris tidaklah sama dengan kata desa dalam bahasa Indonesia sebab
konsep village dalam kebudayaan Inggris atau Amerika Serikat lain sekali
dengan konsep “desa” dalam kebudayaan Indonesia. Hal ini membawa kita
kepada hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi
pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan adalah melalui bahasanya. Semua
yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita
anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu.
Oleh karena itu, amatlah perlu untuk memelajari suatu bahasa jika kita ingin
mendalami kebudayaan atau masyarakat budaya itu (Nababan, 1984: 51).
Bahasa dan Kreativitas
Kini, sampailah
kita pada pokok bahasan makalah ini, yaitu bahasa dan kreativitas. Tapi,
sebelumnya saya akan membahas tentang kreativitas terlebih dahulu. Kreativitas
merupakan kemampuan untuk mencipta atau daya cipta (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 599). Kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau
hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada. Dari sudut pandang keilmuan, hasil dari
pemikiran kreatif (kadang disebut pemikiran divergen) biasanya dianggap
memiliki keaslian dan kepantasan. Sebagai alternatif, konsepsi sehari-hari dari
kreativitas adalah tindakan membuat sesuatu yang baru
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kreativitas, diunduh pada 30 Oktober 2009).
Lantas bagaimana
kaitan antara kreativitas dan bahasa? Mengapa ada orang yang lebih kreatif
dalam menggunakan bahasa? Untuk menjawab pertanyaan itu saya akan
memperkenalkan buah pemikiran seorang psikolog Amerika bernama Howard Gardner.
Menurut Gardner setiap manusia adalah orang yang cerdas. Mengapa? Karena
menurutnya ada tujuh macam kecerdasan.
Tujuh kecerdasan tersebut adalah (1) kecerdasan musik (musical intelligence), (2) kecerdasan
gerakan-badan (bodily kinesthetic
intelligence), (3) kecerdasan logika-matematika (logic-mathematical intelligence), (4) kecerdasan linguistik/bahasa
(linguistic intelligence), (4) kecerdasan
ruang (spatial intelligence), (5)
kecerdasan antarpribadi (interpersonal
intelligence), dan (7) kecerdasan intrapribadi atau intrapersonal intelligence (Gardner,
2003: 36-48). Gardner
mencetuskan teorinya itu pada tahun 1983, tapi pada tahun 1999 dia menambahkan
satu lagi kecerdasan hingga genaplah kecerdasan menurutnya menjadi delapan.
Kecerdasan yang terakhir adalah kecerdasan naturalis atau naturalist intelligence (http://en.wikipedia.org/wiki/Howard_Gardner#Multiple_Intelligences,
diunduh pada 30 Oktober 2009). Teori yang dicetuskan Gardner ini disebut teori kecerdasan majemuk
(multiple intelligence).
Menurut Gardner, setiap orang memiliki seluruh
kecerdasan tersebut. Hanya saja, cuma satu kecerdasan saja yang paling menonjol
dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan makalah ini, saya akan membahas tentang
kecerdasan linguistik[3]
saja. Menurut Gardner, kecerdasan ini terkait dengan kata-kata (baca: bahasa).
Orang yang memiliki kecerdasan ini menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam
kata-kata dan bahasa. Mereka biasanya hebat dalam membaca, menulis, menuturkan
cerita, dan menghapalkan kata-kata beserta tanggal. Orang-orang yang memiliki kecerdasan
bahasa ini biasanya lebih mudah memelajari bahasa asing karena mereka punya
memori dan daya ingat verbal yang tinggi dan kemampuan untuk memahami dan
menghasilkan struktur-struktur kalimat (http://en.wikipedia.org/wiki/Multiple_Intelligences#Verbal-linguistic,
diunduh pada 30 Oktober 2009).
Berikut ini adalah daftar beberapa profesi yang terkait
dengan kecerdasan bahasa atau linguistik itu yang saya kutip dari Hernowo[4]
(2003: xii-xiii):
Nama Profesi
|
Contoh Orang-Orang yang Berhasil Mengembangkan Word Smart
|
Rentang Bidang
|
1. Penulis/Pengarang
|
Hilman “Lupus”, Mira W., Nh Dini, Emha Ainun Nadjib, Nurcholis
Majid
|
Penulis buku segla jenis (novel, cerpen, karya ilmiah, dan
lain-lain); penyair; penulis artikel, kolom, feature, biografi; penulis teks iklan (copy writer); penulis skenario.
|
2. Wartawan
|
Leila S. Chudori, Bre Redana
|
Wartawan koran, majalah, tabloid, dan media etak lain; wartawan
radio, televise, dan Internet
|
3. Penerjemah
|
Hilmi Akmal
|
Penerjemah buku, teks film; pemandu wisata, dubber (penyulih suara)
|
4. Editor
|
Hilmi Akmal
|
Editor buku
|
5. Proofreader
|
|
|
6. Juru Tik
|
|
|
7. Sekretaris
|
|
|
8. Pustakawan
|
|
|
9. Pengelola Arsip
|
|
|
10. Kurator
|
|
|
11. Pengajar/Pelatih
|
Arief Rahman, Gde Prama
|
Guru segala disiplin ilmu (terutama guru bahasa); pelatih training pembangkit motivasi; instruktur
|
12. Penyiar
|
Farhan,
|
Penyiar radio, televisi; narator (pemberi narasi); komentator
|
13. Pembawa Acara/MC
|
Helmi Yahya., Tantowi Yahya
|
Pemandu talkshow;
presenter; moderator
|
14. Pembicara
|
|
Terutama pembicara di forum-forum ilmiah; orator
|
15. Pengacara
|
|
|
16. Ahli Hukum
|
|
|
17. Pendakwah (Dai)
|
Aa Gym
|
|
18. Pendongeng
|
Drs. Suryadi (Pak Raden)
|
|
19. Pelawak
|
Mi’ing Bagito, Sule, Aziz Gagap
|
|
20. Pemain Teater
|
Butet Kertaredjasa, Christine Hakim, Rendra
|
Ini mencakup juga aktor film, pemain sinetron, dan pembaca sajak
atau cerita pendek; serta pengisi sura (misalnya dalam film animasi).
|
Tabel: Beberapa Profesi
yang Terkait Kecerdasan Linguistik
Dari uraian di atas
dapat dijelaskan hubungan antara bahasa dan kreativitas. Telah dijelaskan bahwa
manusia berpikir dengan menggunakan bahasa ketika menciptakan budaya/sastra.
Pikiran tercipta di otak. Telah disebutkan pula bahwa otak terbagi menjadi dua
hemisfer atau belahan, kiri dan kanan. Otak sisi kiri mengatur bahasa,
sedangkan sisi kanan mengatur imajinasi. Ketika seseorang sedang berkreasi
mencipta sebuah karya sastra, puisi atau cerpen misalnya, maka dia menggunakan
bahasa dalam pikirannya (belahan kiri otaknya) sekaligus berimajinasi dengan
segala daya cipta atau kreativitasnya (menggunakan hemisfir kanan otaknya).
Simpulan
Simpulan
yang bisa diambil dari pembahasan di atas adalah bahwa hubungan antara bahasa,
pikiran, dan kebudayaan sangatlah erat, saling berkaitaan, dan ketiganya saling
memengaruhi. Manusia berpikir menggunakan bahasa, dengan pikirannya manusia
menciptakan kebudayaan, dan kebudayaan itu dikembangkan secara turun temurun
melalui bahasa dan dengan kebudayaan lahirlah bahasa sebagai salah satu unsur
budaya. Selain itu, bahasa pun terkait dengan kreativitas. Dengan segala kekreativitasannya,
manusia sanggup membuat kebudayaan yang terkait dengan bahasa, yakni
karya-karya sastra.
Pustaka Acuan
Anwar, Khaidir. 1984. Fungsi dan Peranan
Bahasa: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Bloomfield, Leonard. 1976. Language (Twelfth
Impression). London:
Unwin
University Books.
Darwojuwono, Setiawati dan Kushartanti. 2005.
“Aspek Kognitif Bahasa” dalam
Kushartanti, Untung Yuwono, dan
Multamia RMT Lauder (peny.). Pesona
Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gardner, Howard.
2003. Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara.
Hernowo. 2003.
Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Bandung:
Kaifa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan,
Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. “Bahasa dan
Linguistik” dalam Kushartanti, Untung
Yuwono, dan Multamia RMT Lauder
(peny.). Pesona Bahasa Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Mardiati, Ratna. 1996. Buku Kuliah Susunan
Saraf Otak Manusia. Jakarta:
Sagung
Seto.
Mintargo, Bambang S. 1997. Tinjauan: Manusia
dan Nilai Budaya. Jakarta:
Penerbit
Universitas Trisakti.
Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu
Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Pasiak, Taufiq. 2005. Revolusi IQ/EQ/SQ
Antara Neurosains dan Al-Quran.
Bandung: Mizan.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
_____________. 1990. Aspek-aspek
Psikolinguistik. Flores: Nusa Indah.
Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 2001.
Mengenal Cultural Studies for
Beginners. Bandung: Mizan.
Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik:
Suatu Pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filasafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik.
Bandung:
Angkasa.
[1] Makalah yang disampaikan pada Diskusi Linguistic Club di Ruang
Teater Lt 4, Fak. Adab dan Humaniora, 12 November 2009, juga pernah disampaikan di Seminar
Bahasa dan Kreativitas dalam rangka Peringatan Bulan Bahasa di Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 31 Oktober
2009
[2] Penulis adalah magister humaniora dalam bidang linguistik lulusan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia yang kini menjadi dosen
tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora dan
dosen tidak tetap di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain menjadi dosen, profesi lain yang
dilakoninya adalah penulis, penerjemah, dan penyunting buku profesional.
[3] Harap bedakan kecerdasan linguistik ini dengan linguistik (linguistics) sebagai ilmu yang
memelajari bahasa. Linguistik di sini maknanya adalah bahasa (linguistic). Perhatikan ada dan tidaknya
huruf ‘s’ pada kata-kata tersebut dalam bahasa Inggris.
[4] Hernowo menyebut kecerdasan linguistik sebagai Word Smart. Tabel ini saya beri tambahan sedikit.
1 komentar:
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Posting Komentar