just write

just write

Aku Mau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirmu dengan Bibirku

Selasa, 28 Juni 2016



Aku Mau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirmu dengan Bibirku

Sebuah Takzim untuk Hamsad Rangkuti

Oleh Hilmi Akmal


Jumat, 24 Juni 2016. Ramadhan 1437 H sudah melesat ke bilangan 19. Saat itu hari Jumat. Sewaktu sedang berselancar di media sosial Facebook retinaku menangkap foto seorang lelaki tergolek di ranjang rumah sakit dengan memakai baju rawat warna hijau. Ada selang bertengger di lubang hidungnya. Foto itu adalah sebuah pos yang diagih (share) oleh mahasiswiku, Fena Basafiana, seorang penulis muda berbakat, dari pos Teater Keliling. Isi posnya sungguh membuatku trenyuh. Ternyata yang tergolek adalah Bapak Hamsad Rangkuti salah seorang cerpenis favoritku.

            Langsung aku agih kabar itu agar tersiar. Tak lupa kusinggung Bonang Kiswara dalam status yang kuagih itu.  Bonang Kiswara adalah putra dari Hamsad Rangkuti. Kebetulan kami pernah berkuliah di jurusan yang sama, Sastra Inggris di Fakultas Sastra Universitas Nasional. Kami berbeda angkatan. Bongki, begitu terkadang aku memanggilnya, adalah adik kelasku meski usianya jauh lebih tua. Awalnya aku tak tahu dia adalah anak sastrawan kondang Indonesia. Walau beda angkatan, anak-anak sastra di Unas cukup karib bergaul. Siapa pun yang kenal Bonang, di masa-masa kuliah dulu, pastilah ingat dengan si Manis. Si Manis adalah mobil Kijang lama produksi tahun 80an yang kerap dibawa Bonang ke kampus. Bentuknya masih kotak kaku dengan cat warna biru yang sudah memudar. Anak-anak cowok Sastra Inggris atau Sasing angkatan 95 dan 96 pasti ingat dengan si Manis karena dengan mobil itu kami keliling Jakarta bahkan keluar kota hampir tiap malam. Bahan bakarnya adalah bensin campur. Campur dengan keringat kami yang mengucur kalau si Manis sedang ngambek dan memutuskan tiba-tiba mogok di jalan. Dengan si Manis pulalah suatu malam kami menyambangi kantor redaksi Majalah Horison yang kala itu ada di Jalan Bumiputra no. 23 di Jakarta Timur. Saat itu Pak Hamsad Rangkuti adalah pemimpin redaksinya. Pulangnya, dengan seizin Bonang, aku membawa setumpuk majalah Horison yang sampai saat ini masih bertengger di salah satu rak di perpustakaan pribadiku.
            Kini saatnya aku bercerita tentang Pak Hamsad. Hamsad Rangkuti yang bernama asli Hasyim Rangkuti lahir di lahir di Titikuning, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 7 Mei 1943. Dia menghabiskan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Hamsad kecil senantiasa menemani ayahnya yang menjadi penjaga malam sebuah pusat perbelanjaan. Untuk mengusir kantuk, sang ayah senantiasa bercerita pada Hamsad. Dari cerita-cerita itulah Hamsad mengembangkan daya khayalnya. Sebab jika sang ayah tidak bercerita, Hamsad suka duduk di kegelapan dan memandangi pemandangan perumahan penduduk dari ketinggian pusat perbelanjaan itu. Saat itulah dia membuat cerita tentang kehidupan orang-orang di permukiman penduduk itu. Usai pulang sekolah, Hamsad suka menghabiskan waktu berjam-jam membaca koran yang ditempelkan di kantor wedana. Dia suka membaca cerpen-cerpen terjemahan karya para penulis dunia seperti Anton Chekov, Gorky, dan Hemingway. Setelah membaca cerpen-cerpen itu, Hamsad mengalami apa yang disebutnya sebagai gangguan batin. Gangguan batin itu mengganggu pikirannya hingga bisa berminggu-minggu. Lantas dia pun memutuskan untuk menghasilkan karya tulis yang bisa mengganggu ketenangan batin orang lain. Kemudian dia pindah ke Medan, lalu ke Jakarta dan akhirnya menjadi salah satu cerpenis terkemuka di jagat Sastra Indonesia. Bahkan, kursi sebagai pemimpin redaksi dari Majalah Sastra Horison yang termasyhur pun pernah didudukinya.
Sepanjang perkawananku dengan Bonang, aku tak pernah bersua secara langsung dengan beliau. Kecuali ketika beliau datang ke Unas untuk membacakan karyanya dalam sebuah acara sastra. Meski demikian, aku selalu mengikuti mengikuti karya-karya beliau. Aku tak ingat persis cerpen apa pernah kubaca dari karya beliau. Tapi yang jelas yang mengganggu batinku adalah salah satu cerpennnya dengan judul yang agak panjang tapi mengusik, yakni Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Beberapa tahun belakangan aku tak lagi menjumpai karya beliau termuat di media massa. Dengan Bonang pun aku sudah lama tak bersua, kecuali hanya melalui media sosial. Dari Bonang aku ketahui Pak Hamsad sakit karena terkena stroke dan tak lagi menetap di Depok, tapi di BSD di rumah salah satu anaknya. Aku pun tak pernah dengar kabarnya lagi sampai sebuah foto di Facebook mengusik batinku. Foto itu mengingatkanku pada ayahku yang juga pernah diterjang oleh stroke. Aku merasa terdorong untuk menuliskan sesuatu tentang beliau. Tulisan untuk menyampaikan takzimku, rasa terima kasihku karena telah menjadi salah seorang sastrawan yang telah mengusik ketenangan batinku setiap kali aku usai membaca sebuah karya sastra.
            Aku beri judul tulisanku ini Aku Mau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirmu dengan Bibirku. Bukan sebagai plesetan dari cerpennya yang masyhur itu. Tapi, sebagai asa dan doa agar penyakit beliau cepat diangkat. Pak Hamsad bisa sembuh seperti sedia kala dan Idul Fitri 1 Syawal tahun 1437 H ini beliau bisa kembali ke Depok dan berlebaran bersama anak-anak dan cucu-cucunya seperti yang duharapkan Bonang. Dan yang terpenting, beliau dapat kembali menghasilkan karya yang mengusik ketenangan batin orang lain.    
       Sebagai penutup, aku lampirkan cerpen beliau yang judulnya dahsyat itu. Selamat menikmati.
Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan, 28 Juni 2014/23 Ramadhan 1437 H.
Lampiran:
MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU?

Cerpen karya Hamsad Rangkuti
Seorang wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri di pinggir geladak sambil memegang tali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja ada di antara anak buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak denganya, sehingga tegur sapa  di antara kami bisa terdengar:
“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri ?” kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah tidak bisa lagi untuk direkat.
“Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak kalau dia  telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang nekat. Tiba-tiba dia  melepas  sepatunya, menjulurkan ke laut.
Ini dari dia,” katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam kamera.
            Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada sebentuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya melampaui terali.  Ombak yang liar menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat mengkhawatirkan.
            “Ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan kubuang kelaut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu kuizinkan melekat di tubuhku saat aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya. Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya, melepas pakaiannya, dan membuang satu persatu ke laut. Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
“Apa pun yang berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku, saat aku sudah menjadi mayat, di dasar laut. Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar pemandangan yang pantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak dengan latar ombak dan burung camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan samudera terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat dia menoleh ke arahku. Seperti ada yang terbesit di benaknya yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,” katanya. “ Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Dia diam sejenak, memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit agak lama, lalu bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang begitu saja.” Dia berpaling kearahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang.”Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan berwarna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? Tolonglah. Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai geladak berteriak kepadaku.
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Seorang muncul dipintu geladak membawa selimut terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku dalam kematian di dasar laut. Tolonglah.”
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan kain yang terurai itu. Di dalam selimut kucari telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu yang harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku.
***
SAYA Chenchen, Pak, kata wanita itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan berada kembali di antara penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chenchen? Tidak nama seorang Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu ?”
“Kau harus melanjutkannya. Kalian. Para pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua ke mana-mana di dalam kampus Kayutanam maupun ke danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Danau Maninjau, Ngalau Indah, Lubang jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus kembali ke kehidupan rutin di Jakarta. Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata luar kota Padang panjang. Sebuah kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau. Kawasan itu bersebelah dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan. Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat kosong di salah satu bangunan berbentuk payung dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para pengunjung duduk-duduk memandang puncak gunung Merapi. Kami berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan rumput berbukit, di antara rumah gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
“Selama lima hari, siang dan malam tak pernah berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu sedang kau mendengarkan riwayat dan asal usul tempat-tempat yang akan kita kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita. Kita biarkan percakapan-percakapan tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku merebahkan kepala ke bahumu dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
”Kita pergi ke Lubang Jepara. Masuk ke dalam kegelapan gua. Berdua kita di dalam kegelapan tanpa seorang pengunjung pun mengawasi kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar pengantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di Lembah Harau. Kita duduk berdua memandang kebawah mengikuti arah air terjun. Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan kera-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu. Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir kelapa dengan dua penyedot dilubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau pesan.  Kita benar-benar berdua di tempat sunyi itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari lubang tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana milikmu pada saat kita mengulang  menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan keduanya sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah. Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu ?” Aku mendekat kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak sesuatu pun dalam jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling di atas rumput dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat didalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, sayang.” Bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk embun dipercikkan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini sebagai sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama, darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin”
“Aku lima empat dan kau dua dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia. Apa yang memaksamu?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan. Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada lem perekat di antara jari-jari kami.
  

2 komentar:

Bunga citra mengatakan...

kelinci99
Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino

cici mengatakan...

Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny

Posting Komentar