Aku Mau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirmu dengan Bibirku
Sebuah Takzim untuk Hamsad Rangkuti
Oleh Hilmi Akmal
Jumat, 24 Juni 2016.
Ramadhan 1437 H sudah melesat ke bilangan 19. Saat itu hari Jumat. Sewaktu
sedang berselancar di media sosial Facebook retinaku menangkap foto seorang
lelaki tergolek di ranjang rumah sakit dengan memakai baju rawat warna hijau.
Ada selang bertengger di lubang hidungnya. Foto itu adalah sebuah pos yang
diagih (share) oleh mahasiswiku, Fena
Basafiana, seorang penulis muda berbakat, dari pos Teater Keliling. Isi posnya
sungguh membuatku trenyuh. Ternyata yang tergolek adalah Bapak Hamsad Rangkuti
salah seorang cerpenis favoritku.
Langsung aku agih kabar itu agar
tersiar. Tak lupa kusinggung Bonang Kiswara dalam status yang kuagih itu. Bonang Kiswara adalah putra dari Hamsad
Rangkuti. Kebetulan kami pernah berkuliah di jurusan yang sama, Sastra Inggris
di Fakultas Sastra Universitas Nasional. Kami berbeda angkatan. Bongki, begitu
terkadang aku memanggilnya, adalah adik kelasku meski usianya jauh lebih tua.
Awalnya aku tak tahu dia adalah anak sastrawan kondang Indonesia. Walau beda
angkatan, anak-anak sastra di Unas cukup karib bergaul. Siapa pun yang kenal
Bonang, di masa-masa kuliah dulu, pastilah ingat dengan si Manis. Si Manis
adalah mobil Kijang lama produksi tahun 80an yang kerap dibawa Bonang ke
kampus. Bentuknya masih kotak kaku dengan cat warna biru yang sudah memudar.
Anak-anak cowok Sastra Inggris atau Sasing angkatan 95 dan 96 pasti ingat
dengan si Manis karena dengan mobil itu kami keliling Jakarta bahkan keluar
kota hampir tiap malam. Bahan bakarnya adalah bensin campur. Campur dengan
keringat kami yang mengucur kalau si Manis sedang ngambek dan memutuskan
tiba-tiba mogok di jalan. Dengan si Manis pulalah suatu malam kami menyambangi
kantor redaksi Majalah Horison yang kala itu ada di Jalan Bumiputra no. 23 di
Jakarta Timur. Saat itu Pak Hamsad Rangkuti adalah pemimpin redaksinya.
Pulangnya, dengan seizin Bonang, aku membawa setumpuk majalah Horison yang
sampai saat ini masih bertengger di salah satu rak di perpustakaan pribadiku.
Kini
saatnya aku bercerita tentang Pak Hamsad. Hamsad Rangkuti yang bernama asli
Hasyim Rangkuti lahir di lahir di Titikuning, Medan, Sumatera
Utara pada tanggal 7 Mei 1943.
Dia menghabiskan masa kecilnya di Kisaran, Asahan, Sumatera Utara. Hamsad kecil
senantiasa menemani ayahnya yang menjadi penjaga malam sebuah pusat
perbelanjaan. Untuk mengusir kantuk, sang ayah senantiasa bercerita pada
Hamsad. Dari cerita-cerita itulah Hamsad mengembangkan daya khayalnya. Sebab
jika sang ayah tidak bercerita, Hamsad suka duduk di kegelapan dan memandangi
pemandangan perumahan penduduk dari ketinggian pusat perbelanjaan itu. Saat
itulah dia membuat cerita tentang kehidupan orang-orang di permukiman penduduk
itu. Usai pulang sekolah, Hamsad suka menghabiskan waktu berjam-jam membaca
koran yang ditempelkan di kantor wedana. Dia suka membaca cerpen-cerpen terjemahan
karya para penulis dunia seperti Anton Chekov, Gorky, dan Hemingway. Setelah
membaca cerpen-cerpen itu, Hamsad mengalami apa yang disebutnya sebagai
gangguan batin. Gangguan batin itu mengganggu pikirannya hingga bisa
berminggu-minggu. Lantas dia pun memutuskan untuk menghasilkan karya tulis yang
bisa mengganggu ketenangan batin orang lain. Kemudian dia pindah ke Medan, lalu
ke Jakarta dan akhirnya menjadi salah satu cerpenis terkemuka di jagat Sastra
Indonesia. Bahkan, kursi sebagai pemimpin redaksi dari Majalah Sastra Horison
yang termasyhur pun pernah didudukinya.
Sepanjang perkawananku
dengan Bonang, aku tak pernah bersua secara langsung dengan beliau. Kecuali
ketika beliau datang ke Unas untuk membacakan karyanya dalam sebuah acara
sastra. Meski demikian, aku selalu mengikuti mengikuti karya-karya beliau. Aku
tak ingat persis cerpen apa pernah kubaca dari karya beliau. Tapi yang jelas
yang mengganggu batinku adalah salah satu cerpennnya dengan judul yang agak
panjang tapi mengusik, yakni Maukah Kau
Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Beberapa tahun belakangan
aku tak lagi menjumpai karya beliau termuat di media massa. Dengan Bonang pun
aku sudah lama tak bersua, kecuali hanya melalui media sosial. Dari Bonang aku
ketahui Pak Hamsad sakit karena terkena stroke dan tak lagi menetap di Depok,
tapi di BSD di rumah salah satu anaknya. Aku pun tak pernah dengar kabarnya
lagi sampai sebuah foto di Facebook mengusik batinku. Foto itu mengingatkanku
pada ayahku yang juga pernah diterjang oleh stroke. Aku merasa terdorong untuk
menuliskan sesuatu tentang beliau. Tulisan untuk menyampaikan takzimku, rasa
terima kasihku karena telah menjadi salah seorang sastrawan yang telah mengusik
ketenangan batinku setiap kali aku usai membaca sebuah karya sastra.
Aku beri judul tulisanku ini Aku Mau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirmu
dengan Bibirku. Bukan sebagai plesetan dari cerpennya yang masyhur itu. Tapi,
sebagai asa dan doa agar penyakit beliau cepat diangkat. Pak Hamsad bisa sembuh
seperti sedia kala dan Idul Fitri 1 Syawal tahun 1437 H ini beliau bisa kembali
ke Depok dan berlebaran bersama anak-anak dan cucu-cucunya seperti yang duharapkan Bonang. Dan yang
terpenting, beliau dapat kembali menghasilkan karya yang mengusik ketenangan
batin orang lain.
Sebagai
penutup, aku lampirkan cerpen beliau yang judulnya dahsyat itu. Selamat menikmati.
Bambu Apus, Pamulang, Tangerang Selatan, 28 Juni
2014/23 Ramadhan 1437 H.
Lampiran:
MAUKAH KAU MENGHAPUS BEKAS BIBIRNYA DI BIBIRKU DENGAN BIBIRMU?
Cerpen karya Hamsad Rangkuti
Seorang wanita muda dalam sikap mencurigakan berdiri
di pinggir geladak sambil memegang tali kapal. Dia tampak sedang bersiap-siap
hendak melakukan upacara bunuh diri, melompat dari lantai kapal itu. Baru saja
ada di antara anak
buah kapal berusaha mendekatinya, mencoba mencegah perbuatan nekat itu, tetapi
wanita muda itu mengancam akan segera terjun kalau sampai anak buah kapal itu
mendekat. Dengan dalih agar bisa memotretnya dalam posisi sempurna, kudekati
dia sambil membawa kamera. Aku berhasil memperpendek jarak denganya, sehingga
tegur sapa di antara kami
bisa terdengar:
“Tolong ceritakan sebab apa kau ingin bunuh diri ?”
kataku memancing perhatiannya.
Dia tak beralih dari menatap ke jauhan laut. Di sana
ada sebuah pulau. Mungkin impiannya yang telah retak menjadi pecah dan sudah
tidak bisa lagi untuk direkat.
“Tolong ceritakan penyebab segalanya. Biar ada bahan
untuk kutulis.”
Wanita itu membiarkan sekelilingnya. Angin
mempermainkan ujung rambutnya. Mempermainkan ujung lengan bajunya. Dan tampak
kalau dia telah berketetapan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang
nekat. Tiba-tiba dia melepas sepatunya, menjulurkan ke laut.
“Ini dari
dia,” katanya dan melepas sepatu itu. Sepatu itu jatuh mendekati ombak, kuabadikan dalam
kamera.
Kemudian dia meraba jari tangan kirinya. Di sana ada
sebentuk cincin. Sinar matahari memantul mengantar kilaunya. Mata berliannya
membiaskan sinar tajam. Dikeluarkan cincin itu dari jari manisnya. Diulurkannya
melampaui terali. Ombak yang liar
menampar dinding kapal. Tangan yang menjulurkan cincin itu sangat
mengkhawatirkan.
“Ini dari dia,” katanya, dan melepas cincin itu.
“Semua yang ada padaku, yang berasal darinya, akan
kubuang kelaut. Sengaja hari ini kupakai semua yang pernah dia berikan kepadaku
untuk kubuka dan kubuang satu persatu ke laut. Tak satu pun benda-benda itu
kuizinkan melekat di tubuhku saat
aku telah menjadi mayat di dasar laut. Biarkan aku tanpa bekas sedikit pun darinya.
Inilah saat yang tepat membuang segalanya ke laut, dari atas kapal yang pernah
membuat sejarah pertemuan kami.”
Wanita muda itu mulai melepas kancing-kancing bajunya,
melepas pakaiannya, dan membuang satu persatu ke laut.
Upacara pelepasan benda yang melekat di tubuhnya dia
akhiri dengan melepas penutup bagian akhir tubuhnya. Membuangnya ke laut.
“Apa pun yang
berasal darinya, tidak boleh ada yang melekat pada jasadku, saat aku sudah
menjadi mayat, di dasar laut.
Biarkan laut membungkus jasadku seperti kain pembungkus mayat. Biarkan asin
airnya menggarami tubuhku tanpa sehelai benang penyekat.”
Wanita yang telanjang itu mengangkat sebelah kakinya
melampaui terali, bersiap-siap membuang dirinya ke laut. Kamera
kubidikan ke arahnya. Di dalam lensa terhampar
pemandangan yang pantastis! Wanita muda, dalam ketelanjangannya, berdiri di tepi geladak
dengan latar ombak dan burung
camar. Sebuah pulau berbentuk bercak hitam di kejauhan
samudera terlukis di sampingnya dalam bingkai lensa. Sebelum melompat dia
menoleh ke arahku. Seperti ada yang terbesit di benaknya
yang hendak dia sampaikan kepadaku, sebelum dia melompat mengakhiri ombak.
“Ternyata tidak segampang itu membuang segalanya,”
katanya. “ Ada sesuatu yang tak bisa dibuang begitu saja.” Dia diam sejenak,
memandang bercak hitam di kejauhan samudera. Dipandangnya lengkung langit
agak lama, lalu bergumam: “Bekas bibirnya. Bekas bibirnya tak bisa kubuang
begitu saja.” Dia berpaling kearahku. Tatapannya lembut menyejukan. Lama, dan
agak lama mata itu memandang dalam tatapan yang mengambang.”Maukah kau
menghapus bekas bibirnya di bibirku
dengan bibirmu?” katanya dalam nada ragu.
Aku tersentak mendengar permintaan itu. Sangat
mengejutkan, dan rasanya tak masuk akal diucapkan olehnya. Permintaan itu
terasa datang dari orang yang sedang putus asa. Kucermati wajahnya dalam lensa
kamera yang mendekat. Pemulas bibir berwarna merah tembaga dengan sentuhan
berwarna emas, memoles bibirnya, menyiratkan gaya aksi untuk kecantikan seulas
bibir.
“Tidak akan aku biarkan bekas itu terbawa ke dasar
laut. Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku
dengan bibirmu? Tolonglah.
Tolonglah aku melenyapkan segalanya.”
Orang-orang yang terpaku di pintu lantai
geladak berteriak kepadaku.
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Seorang muncul dipintu geladak membawa selimut
terurai, siap menutup tubuh wanita yang telanjang itu.
“Tolonglah. Tolonglah aku menghapus segalanya. Jangan
biarkan bekas itu tetap melekat di bibirku
dalam kematian di dasar laut.
Tolonglah.”
“Lakukanlah! Lakukanlah!”
Teriak orang-orang yang menyaksikan dari pintu lantai
geladak.
Aku hampiri wanita itu. Orang yang membawa selimut
berlari ke arah kami, menyelimuti kami dengan
kain yang terurai itu. Di dalam
selimut kucari telinga wanita itu.
“Masih adakah bekas darinya di bagian lain tubuhmu
yang harus kuhapus dengan bibirku?” bisikku.
***
“SAYA
Chenchen, Pak,” kata wanita
itu memperkenalkan dirinya begitu aku selesai menyampaikan cerpen lisan itu dan
berada kembali di antara
penonton. “Saya menggemari cerpen-cerpen Bapak. Saya mahasiswi fakultas sastra
semester tujuh. Saya senang sekali bisa bertemu dengan Bapak, pengarang dari
cerpen-cerpen yang telah banyak saya baca.”
“Terima kasih. Namamu Chenchen? Tidak nama seorang
Minang.”
“Bagaimana kelanjutan cerpen lisan itu ?”
“Kau harus melanjutkannya. Kalian. Para
pendengarnya.”
Sejak itu kami akrab. Aku seperti muda kembali. Berdua
ke mana-mana di dalam kampus
Kayutanam maupun ke danau Singkarak, Desa Belimbing, Batusangkar, Danau
Maninjau, Ngalau Indah, Lubang jepang, Ngarai Sianok, Lembah Anai dan Istana
Pagaruyung.
Besok adalah hari terakhir aku di Kayutanam. Aku harus
kembali ke kehidupan rutin di Jakarta.
Perpisahan itu kami habiskan di kawasan wisata luar kota Padang panjang. Sebuah
kawasan semacam taman, berisi rumah gadang dari berbagai daerah di Minangkabau.
Kawasan itu bersebelah dengan lokasi Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan
Minangkabau. Tempat itu sejuk diliputi kabut, terkenal sebagai kota hujan.
Sebentar-sebentar kabut tebal melintas menutup kawasan itu. Kami mencari tempat
kosong di salah satu bangunan berbentuk payung
dengan meja bulat dan kursi sandar melingkar, yang disediakan untuk para
pengunjung duduk-duduk memandang puncak
gunung Merapi. Kami
berkeliling mencari tempat kosong, tetapi semua bangunan-bangunan kecil itu
telah dihuni pasangan-pasangan remaja. Mereka duduk memandang lembah dan lereng
gunung yang terus menerus diselimuti kabut yang datang seperti asap hutan
terbakar.
Kami akhirnya duduk di hamparan
rumput berbukit, di antara rumah
gadang pajangan dalam ukuran yang sebenarnya.
“Selama lima hari, siang dan malam tak pernah
berpisah. Malam kita duduk berdekatan di warung-warung
membiarkan kopi dingin sambil kita berpandangan. Aku mendengar proses kreatifmu
sedang kau mendengarkan riwayat dan asal usul tempat-tempat yang akan kita
kunjungi besok pagi. Kita tidak menghiraukan mata-mata yang memandang kita.
Kita biarkan percakapan-percakapan tentang kita. Tanganku kau pegang dan aku
merebahkan kepala ke bahumu dalam udara dingin Kayutanam. Semua itu akan
menjadi kenangan. Besok kau akan pulang dan aku akan kembali ke kampus.
”Kita pergi ke Lubang Jepara. Masuk ke dalam kegelapan
gua. Berdua kita di dalam kegelapan tanpa seorang pengunjung pun mengawasi
kita. Aku berbisik, seolah kita masuk ke dalam kamar
pengantin dan kau meminta lampu dipadamkan. Kita duduk di puncak pendakian di
Lembah Harau. Kita duduk berdua memandang kebawah mengikuti arah air terjun.
Lembah kita lihat dari ketinggian dan tempat itu sangat sunyi. Kita biarkan
kera-kera mendekat dan kita tidak merasa terganggu.
Kita biarkan pedagang kelapa muda itu meletakkan sebutir
kelapa dengan dua penyedot dilubang tempurungnya. Kita tidak hiraukan dia turun
meninggalkan kita dan membiarkan kita berdua menikmati kelapa muda yang kau
pesan. Kita benar-benar berdua di tempat sunyi
itu. Kita menyedot air kelapa muda itu dengan dua alat sedotan dari lubang
tempurung yang sama. Aku satu dan kau satu. Terkadang kening kita bersentuhan
pada saat menyedot air kelapa muda itu. Kita pun lupa, mana milikku dan mana
milikmu pada saat kita mengulang menyedot air kelapa muda itu. Kita sudah
tidak menghiraukannya. Sesekali kedua penghisap air kelapa itu kita gunakan
keduanya sekaligus, bergantian, sambil kau menatap tepat ke mataku dan aku
menatap tepat ke matamu. Aku yakin, hal itu kita lakukan semacam isyarat yang
tak berani kita ucapkan.
“Kelapa itu kita belah. Kau sebelah dan aku sebelah.
Alangkah indahnya semua itu.”
“Kenangan itu akan kubawa pulang.”
“Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan
bibirmu ?” Aku mendekat
kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami. Begitu tebal kabut itu, seolah kami
terbungkus di dalam selimut yang basah. Tak tampak
sesuatu pun dalam
jarak dua meter. Kelambu kabut itu menutup kami dari pandangan dunia. Kami berguling-guling
di atas rumput
dalam kepompong kabut.
“Masih adakah bekas yang lain di bagian tubuhmu yang
harus kuhapus dengan bagian tubuhku?” bisikku.
Dia menggeliat didalam kabut. Dicarinya telingaku.
“Tak ada bekas yang lain, yang perlu dihapus, sayang.”
Bisiknya.
Serpihan kabut menyapu wajah kami bagaikan serbuk
embun dipercikkan.
“Apakah kita akan keluar dari kepompong kabut ini
sebagai sepasang kupu-kupu?”
“Bekas ini akan kubawa pulang dan akan ada yang
menghapusnya. Bagaimana denganmu?”
“Akan kutunggu bekas yang baru di bekas yang lama,
darimu.”
“Apakah itu mungkin?”
“Mungkin”
“Aku lima empat dan kau dua dua. Itu tidak mungkin.”
“Mungkin.”
“Aku Datuk Maringgih dan kau Siti Nurbaya, dalam usia.
Apa yang memaksamu?”
“Entahlah. Aku pun tak
tahu.”
Kami turun dari puncak bukit itu berpegangan tangan.
Dia memegang erat jari-jariku. Dan aku memegang erat jari-jarinya. Seolah ada
lem perekat di antara jari-jari kami.
2 komentar:
kelinci99
Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
yukk daftar di www.kelinci99.casino
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Posting Komentar