Panci dan Timbangan

Panci dan Timbangan

Dua cermin (cerita mini) karya Hilmi Akmal

Panci

Putriku yang baru tiga tahun punya mainan favorit. Bukan boneka, bukan uang-uangan bergambar princess, bukan lego. Bukan itu semua. Yang menjadi favoritnya adalah sebuah panci. Iya panci alumunium berdiameter 22 cm yang biasa dipakai istriku untuk memasak sayur sop kegemaranku.  

Di tangan putriku panci itu berubah menjadi helm –yang dipakainya saat naik sepeda roda empatnya, menjadi setir mobil –saat dirinya berada dalam kardus bekas air mineral, atau menjadi rumah bagi boneka-bonekanya. Belakangan, panci itu menjelma menjadi semacam tambur. Putriku keliling rumah sambil memukuli panci itu dengan sendok sayur dan bernyanyi-nyanyi campuran antara lagu mars sebuah partai dan lagu-lagu tema film-film kartun yang sering ditontonnya.

Aksinya yang terakhir ini membuat si panci tak tahan lagi. Pantatnya yang menghitam mengalami luka sobek. Sialnya, istriku mengetahuinya saat sedang membuat sayur sop. Mendadak api di kompor mati. Padahal, tabung gasnya baru saja kuganti. Tak pelak istriku pun tersulut. Dia menuntut dibelikan panci yang baru atau kalau tidak dia akan kredit panci. Sebagai suami yang baik aku memilih membelikannya yang baru. Masa untuk panci saja harus kredit, aku berdalih. Kalau mau kredit ya yang agak berkelas kek, rice cooker misalnya. Dan, sebagai ayah yang baik tak lupa aku belikan putriku satu set mainan masak-masakan yang kumplit agar dia tak memainkan panci lagi.

Sampai di rumah, aku dan istri mengajak anakku main masak-masakan. Kami menjadi pembeli sementara putriku menjadi penjual yang memasak makanan pesanan kami. Peran kami usai saat digantikan oleh boneka-bonekanya yang menjadi pembeli, Kami bersyukur bahwa akhirnya putri kami punya mainan baru  dan akan melupakan panci dengan pantat yang sobek.

Namun, keesokan harinya kulihat putriku memainkan panci yang sobek itu. Dia terlihat sibuk mengaduk-aduk panci.

“Sayang lagi apa?” tanyaku.

“lagi masak,” jawabnya.

Lalu kulongok isi pancinya. Rrupanya yang sedang dimasak adalah semua mainan masak-masakan yang baru kubelikan. Sosis, daging, telur, sayur mayur, bercampur baur dengan kompor-komporan, piring-piring, pisau, sendok, garpu, dan penanak nasi. Semuanya diaduk-aduk.

Mendadak, dia lemparkan semua isi panci ke segala arah.

“Lho kok dilempar?”

“Pancinya meledak.”

*******

Timbangan

Sejak lebaran usai, bobot tubuhku melonjak. Lingkar pinggangku bertambah lebar. Celanaku terasa menciut. Aku sudah berupaya menurunkan berat badanku. Aku pun menerapkan diet. Dari sekian banyak pola diet aku memilih OCD. Namun, beratku tak kunjung mengalami penurunan. Perutku masih membuncah keluar. Mungkin karena aku memaknai OCD sebagai ono cemilan dipangan.

Untuk mengontrol apakah bobotku sudah turun atau belum, aku selalu mengeceknya di timbangan badan. Timbangan itu timbangan analog yang memiliki angka-angka yang bergulir yang memperlihatkan berat tubuh kalau kita berdiri di atasnya. Sejauh ini timbangan itu masih setia menunjukkan bahwa beratku berlebih sepuluh kilo dari berat yang ideal.

Suatu hari aku ke sekolah anakku untuk membayar SPP. Di ruang tata usaha, saat menunggu giliran dilayani oleh petugas TU, aku melihat sebuah timbangan tergolek di lantai. Timbangan itu berbeda dengan timbangan di rumahku. Timbangan itu jenisnya timbangan digital, timbangan dengan layar LCD yang akan mengeluarkan angka begitu kita meletakkan tapak kaki kita. Daripada menunggu, aku putuskan untuk mengecek berat tubuhku. Raut wajahku berubah saat melihat angka yang tertera setelah aku tapakkan kaki ku di atasnya. Timbangan itu menunjukkan angka 21.000.

Bambu Apus, Tangerang Selatan 28 Desember 2016.