just write

just write

Mau Jadi Penerjemah atau Kritikus Penerjemahan?

Selasa, 21 April 2015



Mau Jadi Penerjemah atau Kritikus Penerjemahan?

Oleh Hilmi Akmal

Sebutlah namanya Blinger. Blinger sedang galau. Jurusan tempat dia kuliah mewajibkannya untuk memilih salah satu dari tiga konsentrasi keilmuan.
Ada konsentrasi linguistik, konsentrasi sastra, dan konsentrasi penerjemahan. Blinger bingung karena dia masihlah dalam tingkat strata satu, tapi mengapa jurusannya mengharuskannya dia memilih konsentrasi keilmuan? Padahal, setahu dia di jurusan lain tapi bidang ilmunya sama di universitas yang berbeda, tidak ada konsentrasi-konsentrasian ilmu seperti di jurusannya. Berdasarkan info dari kakaknya yang tengah menempuh strata dua, konsentrasi itu baru ada di level pascasarjana. Tapi karena harus memilih, Blinger pun mendaratkan pilihannya pada konsentrasi penerjemahan. Itu pun ikut-ikutan temannya yang pernah berkata, “Gue mau jadi penerjemah, jadi gue pilih konsen itu.” Dengan menggenggam asa “mau jadi penerjemah” itulah Blinger memilih konsentrasi penerjemahan. Namun, setelah beberapa kali pertemuan, kegalauan Blinger bertambah ganda. Dia memang mendapatkan mata kuliah penerjemahan, tapi bukan bagaimana menerjemahkan, melainkan belajar teori tentang bagaimana mengkritik terjemahan. Risaunya pun bertambah besar tatkala dia ketahui bahwa dosen-dosen yang mengajarinya (teori) terjemahan ternyata bukan penerjemah, bahkan, mungkin, belum pernah menerjemahkan.
Kegundahan yang dirasakan Blinger sebenarnya tidak akan terjadi apabila penyelengara pendidikan di sebuah kampus semestinya memahami arah dan tujuan belajar penerjemahan di tingkat strata satu. Dalam hemat saya, untuk ilmu-ilmu yang bersifat aplikatif, mahasiswa tidak perlu dijejali dengan banyak teori, tapi harus diperbanyak latihan atau praktik. Mengapa? Karena sudah jadi rahasia umum bahwa lulusan S1 itu tidak siap kerja. Selama kuliah mereka hanya dijejali oleh teori dan teori-teori yang mereka pelajari itu belum tentu dapat diaplikasikan ke kehidupan nyata. Akibatnya, sering kali para sarjana bekerja tidak sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya semasa kuliah. Sebuah jurusan bahasa dan sastra yang nonbahasa dan sastra Indonesia, seyogyanya membuat lulusannya bekerja sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya. Tapi bagaimana caranya?
Seperti sudah diketahui, di dalam jurusan bahasa dan sastra terdapat tiga kelompok mata kuliah, yakni kelompok ilmu linguistik, kelompok ilmu susastra, dan kelompok ilmu kemahiran bahasa (language skills). Saya berpendapat sebaiknya penerjemahan (translation) dimasukkan ke dalam jenis mata kuliah kemahiran bahasa. Mengapa? Karena bila mahasiswa sudah memiliki keprigelan dalam bahasa, baik itu dalam menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), ataupun menulis (writing), sebaiknya apa yang telah dia simak, dia ujarkan, dia baca, dan dia tulis dalam bahasa asing kemudian dia alih bahasakan ke dalam bahasa ibunya.
Karena lebih beorientasi kepada keahlian, sebaiknya teori-teori tentang menilai dan mengkritik terjemahan seperti karya Catford, Newmark, Larson, dan Basnet, tidak diperkenalkan terlebih dahulu. Sebaiknya, jika sebuah teori terjemahan memang harus diberikan, yang perlu diintroduksi kepada mahasiswa adalah langkah-langkah penerjemahan menurut Nida dan Taber. Kedua orang ini perlu diketahui pemikirannya oleh mahasiswa karena menjelaskan bagaimana proses terjemahan berlangsung.
Nida dan Taber (1974) menjelaskan bahwa ada tiga langkah atau prosedur yang harus ditempuh seorang penerjemah ketika menerjemahkan. Ketiga langkah itu adalah (1) Analysis; (2) Transfer; dan (3) Restructuring. Pada langkah pertama, yang dimaksud dengan analysis adalah menganalisis teks yang masih berupa teks sumber (TSu) dalam kaitannya dengan (a) hubungan gramatikal dalam TSu dan (b) makna dari kata-kata atau kombinasi kata-kata dari TSu itu. Dengan kata lain, pada langkah pertama ini kita berusaha untuk memahami teks. Langkah kedua adalah usaha untuk mulai melakukan transfer atau mengalihkan hasil analisis yang ada di benak seorang penerjemah dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada proses ini alih bahasa sudah dimulai. Setelah teks sumber sudah dipahami dan sudah dialihbahasakan, langkah selanjutnya adalah restucturing. Dalam langkah ketiga ini bahasa dari bahasa sumber (BSu) yang sudah ditransfer kemudian direstrukturisasi agar pesan dari pengarang dapat diterima dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, pada langkah terakhir ini diadakan suatu penyerasian dan penyesuaian dengan faktor-faktor dalam bahasa sasaran (BSa).
Langkah-langkah dari Nida dan taber itu dapat diuraikan seperti ini: misalkan ada sepotong kalimat dari bahasa sumber (source), I broke my leg. Di tahap pertama seorang penerjemah melakukan analisis, misalnya I adalah subjek, broke adalah verba yang menjadi predikat, dan my leg adalah objek dari I. Di langkah kedua, transfer, penerjemah mulai melakukan alih bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Hasilnya adalah saya mematahkan kaki saya. Di bagian terakhir, restructuring, penerjemah membongkar ulang alias merekontruksi kalimat itu agar berterima dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Bila bentuk saya mematahkan kaki saya dipertahankan, maka maknanya akan terasa janggal, seakan-akan ada kesengajaan dari si penutur kalimat bahwa dia secara sadar mematahkan kakinya. Padahal, bukan itu pesan yang hendak disampaikan. Lagi pula, hal itu tentunya sulit diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu, penerjemah menyusun ulang hasil transfer saya mematahkan kaki saya menjadi kaki saya patah. Kalimat kaki saya patah lebih diterima dalam bahasa sasaran (receptor) dan pesan yang disampaikan pun dapat diterima oleh pembaca dalam bahasa Indonesia.
     Dengan memahami langkah-langkah dari Nida dan Taber di atas, diharapkan mahasiswa mafhum bagaimana membuat penerjamahan yang apik dan enak dibaca. Kemudian, agar mahasiswa dapat belajar bagaimana menerjemahkan dan langsung praktik, sebaiknya mata kuliah penerjemahan dibagi menjadi lima bagian yang dapat dimulai di semester tiga. Di semester 3 dapat diawali dengan Mata Kuliah Dasar-dasar Penerjemahan yang isinya adalah pengantar bagaimana membuat terjemahan. Di semester berikutnya penerjemahan mulai dikhususkan pada bidang-bidang khusus. Misalnya, di semester 4 Penerjemahan Film (subtitling), di semester ke-5 Penerjemahan Bisnis yang terkait dengan teks-teks ekonomi dan bisnis, semester ke-6 Penerjemahan Hukum (legal translation), dan di semester 7 dipungkasi dengan Penerjemahan Sastra (literary translation).   
Akan menjadi lebih baik apabila yang mengajar nantinya dipilih dari orang-orang yang memang benar-benar berkecimpung di dalam dunia penerjemahan. Orang-orang praktisi bukan teoris. Orang-orang ini tentunya, dengan pengalaman yang mereka miliki, dapat lebih menyiapkan mahasiswa yang siap jadi penerjemah bukan kritikus penerjemahan. Orang-orang yang sudah berkecimplung (berkecimpung hingga sampai kecemplung) di samudera penerjemahan ini tentunya dapat membekali mahasiswa agar dapat berenang di lautan dunia kerja setelah gelar sarjana mereka genggam. Bila pengajaran penerjemahan diserahkan pada dosen-dosen yang mengandalkan teori (kritik tentang) terjemahan, bagaimana bisa mahasiswa siap kerja sebagai penerjemah? Bagaimana bisa mengajari seseorang untuk berenang apabila sang pengajar belum pernah terjun ke kolam renang dan hanya tahu cara berenang secara teori yang dipelajarinya dari buku?
    
               

1 komentar:

Unknown mengatakan...

If only the other lecturers read this.....

Posting Komentar