Mau Jadi Penerjemah atau Kritikus Penerjemahan?
Oleh Hilmi Akmal
Sebutlah namanya Blinger.
Blinger sedang galau. Jurusan tempat dia kuliah mewajibkannya untuk memilih
salah satu dari tiga konsentrasi keilmuan.
Ada konsentrasi linguistik,
konsentrasi sastra, dan konsentrasi penerjemahan. Blinger bingung karena dia
masihlah dalam tingkat strata satu, tapi mengapa jurusannya mengharuskannya dia
memilih konsentrasi keilmuan? Padahal, setahu dia di jurusan lain tapi bidang
ilmunya sama di universitas yang berbeda, tidak ada konsentrasi-konsentrasian
ilmu seperti di jurusannya. Berdasarkan info dari kakaknya yang tengah menempuh
strata dua, konsentrasi itu baru ada di level pascasarjana. Tapi karena harus
memilih, Blinger pun mendaratkan pilihannya pada konsentrasi penerjemahan. Itu
pun ikut-ikutan temannya yang pernah berkata, “Gue mau jadi penerjemah, jadi gue
pilih konsen itu.” Dengan menggenggam asa “mau jadi penerjemah” itulah Blinger
memilih konsentrasi penerjemahan. Namun, setelah beberapa kali pertemuan,
kegalauan Blinger bertambah ganda. Dia memang mendapatkan mata kuliah
penerjemahan, tapi bukan bagaimana menerjemahkan, melainkan belajar teori
tentang bagaimana mengkritik terjemahan. Risaunya pun bertambah besar tatkala
dia ketahui bahwa dosen-dosen yang mengajarinya (teori) terjemahan ternyata
bukan penerjemah, bahkan, mungkin, belum pernah menerjemahkan.
Kegundahan yang dirasakan
Blinger sebenarnya tidak akan terjadi apabila penyelengara pendidikan di sebuah
kampus semestinya memahami arah dan tujuan belajar penerjemahan di tingkat
strata satu. Dalam hemat saya, untuk ilmu-ilmu yang bersifat aplikatif,
mahasiswa tidak perlu dijejali dengan banyak teori, tapi harus diperbanyak
latihan atau praktik. Mengapa? Karena sudah jadi rahasia umum bahwa lulusan S1
itu tidak siap kerja. Selama kuliah mereka hanya dijejali oleh teori dan
teori-teori yang mereka pelajari itu belum tentu dapat diaplikasikan ke
kehidupan nyata. Akibatnya, sering kali para sarjana bekerja tidak sesuai
dengan bidang ilmu yang digelutinya semasa kuliah. Sebuah jurusan bahasa dan
sastra yang nonbahasa dan sastra Indonesia, seyogyanya membuat lulusannya
bekerja sesuai dengan bidang ilmu yang digelutinya. Tapi bagaimana caranya?
Seperti sudah diketahui, di
dalam jurusan bahasa dan sastra terdapat tiga kelompok mata kuliah, yakni
kelompok ilmu linguistik, kelompok ilmu susastra, dan kelompok ilmu kemahiran
bahasa (language skills). Saya
berpendapat sebaiknya penerjemahan (translation)
dimasukkan ke dalam jenis mata kuliah kemahiran bahasa. Mengapa? Karena bila
mahasiswa sudah memiliki keprigelan dalam bahasa, baik itu dalam menyimak (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), ataupun menulis (writing),
sebaiknya apa yang telah dia simak, dia ujarkan, dia baca, dan dia tulis dalam bahasa
asing kemudian dia alih bahasakan ke dalam bahasa ibunya.
Karena
lebih beorientasi kepada keahlian, sebaiknya teori-teori tentang menilai dan
mengkritik terjemahan seperti karya Catford, Newmark, Larson, dan Basnet, tidak
diperkenalkan terlebih dahulu. Sebaiknya, jika sebuah teori terjemahan memang
harus diberikan, yang perlu diintroduksi kepada mahasiswa adalah
langkah-langkah penerjemahan menurut Nida dan Taber. Kedua orang ini perlu
diketahui pemikirannya oleh mahasiswa karena menjelaskan bagaimana proses
terjemahan berlangsung.
Nida
dan Taber (1974) menjelaskan bahwa ada tiga langkah atau prosedur yang harus
ditempuh seorang penerjemah ketika menerjemahkan. Ketiga langkah itu adalah (1)
Analysis; (2) Transfer; dan (3) Restructuring. Pada
langkah pertama, yang dimaksud dengan analysis adalah menganalisis teks
yang masih berupa teks sumber (TSu) dalam kaitannya dengan (a) hubungan
gramatikal dalam TSu dan (b) makna dari kata-kata atau kombinasi kata-kata dari
TSu itu. Dengan kata lain, pada langkah pertama ini kita berusaha untuk
memahami teks. Langkah kedua adalah usaha untuk mulai melakukan transfer
atau mengalihkan hasil analisis yang ada di benak seorang penerjemah dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada proses ini alih bahasa sudah dimulai. Setelah
teks sumber sudah dipahami dan sudah dialihbahasakan, langkah selanjutnya
adalah restucturing. Dalam langkah ketiga ini bahasa dari bahasa sumber
(BSu) yang sudah ditransfer kemudian direstrukturisasi agar pesan dari
pengarang dapat diterima dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, pada langkah
terakhir ini diadakan suatu penyerasian dan penyesuaian dengan faktor-faktor
dalam bahasa sasaran (BSa).
Langkah-langkah
dari Nida dan taber itu dapat diuraikan seperti ini: misalkan ada sepotong
kalimat dari bahasa sumber (source), I broke my leg. Di tahap pertama seorang
penerjemah melakukan analisis, misalnya I
adalah subjek, broke adalah verba
yang menjadi predikat, dan my leg adalah objek dari I. Di langkah kedua, transfer,
penerjemah mulai melakukan alih bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Hasilnya adalah saya mematahkan kaki saya.
Di bagian terakhir, restructuring,
penerjemah membongkar ulang alias merekontruksi kalimat itu agar berterima
dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Bila bentuk saya mematahkan kaki saya dipertahankan, maka maknanya akan terasa
janggal, seakan-akan ada kesengajaan dari si penutur kalimat bahwa dia secara
sadar mematahkan kakinya. Padahal, bukan itu pesan yang hendak disampaikan.
Lagi pula, hal itu tentunya sulit diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu,
penerjemah menyusun ulang hasil transfer saya
mematahkan kaki saya menjadi kaki
saya patah. Kalimat kaki saya patah
lebih diterima dalam bahasa sasaran (receptor)
dan pesan yang disampaikan pun dapat diterima oleh pembaca dalam bahasa
Indonesia.
Dengan memahami langkah-langkah dari Nida dan
Taber di atas, diharapkan mahasiswa mafhum bagaimana membuat penerjamahan yang
apik dan enak dibaca. Kemudian, agar mahasiswa dapat belajar bagaimana
menerjemahkan dan langsung praktik, sebaiknya mata kuliah penerjemahan dibagi
menjadi lima bagian yang dapat dimulai di semester tiga. Di semester 3 dapat
diawali dengan Mata Kuliah Dasar-dasar Penerjemahan yang isinya adalah
pengantar bagaimana membuat terjemahan. Di semester berikutnya penerjemahan
mulai dikhususkan pada bidang-bidang khusus. Misalnya, di semester 4
Penerjemahan Film (subtitling), di
semester ke-5 Penerjemahan Bisnis yang terkait dengan teks-teks ekonomi dan
bisnis, semester ke-6 Penerjemahan Hukum (legal
translation), dan di semester 7
dipungkasi dengan Penerjemahan Sastra (literary
translation).
Akan menjadi lebih baik
apabila yang mengajar nantinya dipilih dari orang-orang yang memang benar-benar
berkecimpung di dalam dunia penerjemahan. Orang-orang praktisi bukan teoris.
Orang-orang ini tentunya, dengan pengalaman yang mereka miliki, dapat lebih
menyiapkan mahasiswa yang siap jadi penerjemah bukan kritikus penerjemahan.
Orang-orang yang sudah berkecimplung
(berkecimpung hingga sampai kecemplung) di samudera penerjemahan ini tentunya
dapat membekali mahasiswa agar dapat berenang di lautan dunia kerja setelah
gelar sarjana mereka genggam. Bila pengajaran penerjemahan diserahkan pada
dosen-dosen yang mengandalkan teori (kritik tentang) terjemahan, bagaimana bisa
mahasiswa siap kerja sebagai penerjemah? Bagaimana bisa mengajari seseorang
untuk berenang apabila sang pengajar belum pernah terjun ke kolam renang dan
hanya tahu cara berenang secara teori yang dipelajarinya dari buku?
1 komentar:
If only the other lecturers read this.....
Posting Komentar