just write

just write

Menerjemahkan Karya Sastra

Rabu, 06 Mei 2015



MENERJEMAHKAN KARYA SASTRA



DEFINISI, LANGKAH-LANGKAH DAN PERSYARATAN[1]

Oleh Hilmi Akmal[2]

1. Pendahuluan
            Saat berjalan-jalan ke toko buku, pandangan kita sering tertumbuk pada deretan buku-buku dengan judul berbahasa asing, sebagian besar bahasa Inggris, tetapi isinya berbahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut adalah buku-buku yang telah diterjemahkan dari bahasa sumbernya, misalkan bahasa Inggris, ke bahasa sasaran seperti bahasa Indonesia. Hal yang sama pun kita jumpai saat menelusuri rak-rak buku bagian buku-buku sastra. Banyak sekali buku-buku karya sastra, sebagian besar novel, yang merupakan terjemahan.
Mungkin di benak kalian terbersit tanya, bagaimanakah buku-buku itu, terutama buku-buku karya sastra, diterjemahkan? Bagaimana prosesnya? Apa saja syarat-syarat menjadi penerjemah wa bil khusus adakah syarat khusus untuk menjadi penerjemah karya sastra? Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di bagian-bagian berikutnya saya akan mendedahkan untuk kalian apa itu penerjemahan, jenis-jenis penerjemah, apa saja perangkat untuk menjadi penerjemah, langkah-langkah menerjemahkan, dan, yang terpenting, bagaimana menerjemahkan karya sastra.   
Pertanyaan lain, barangkali, menyeruak dari otak kalian, apa hubungannya menerjemahkan dengan penulisan yang menjadi pokok bahasan kuliah Writing ini? Well, bagi saya menerjemahkan adalah juga sebuah proses penulisan. Bedanya, bila menulis biasanya hanya menggunakan satu bahasa untuk mengungkapkan gagasan yang ada di benak, menerjemahkan menggunakan dua bahasa untuk mengungkapkan gagasan dari satu bahasa yang dipakai penulis/pengarang ke bahasa lainnya agar apa yang diungkap dapat ditangkap oleh pembaca yang tak memahami bahasa yang dipakai penulis/pengarang itu. Dengan kata lain, menerjemahkan adalah menuliskan kembali gagasan seseorang agar dapat dipahami oleh orang lain yang tidak sebahasa.            
2. Definisi Penerjemahan
            Ada beberapa definisi penerjemahan yang ingin saya berikan untuk Anda. Pertama dari Catford (1965) yang mendefinisikan penerjemahan sebagai “the replacement of textual material in one language by equivalent tetxtual material in another language. Definisi kedua berasal dari Newmark (1988). Menurutnya penerjemahan adalah “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended.” Yang terakhir adalah dari Benny Hoed (2006) dalam bukunya Penerjemahan dan Kebudayaan. Menurut mertua dari Melly Guslaw yang juga adalah guru saya ini, kata dasar terjemah berasal dari bahasa Arab tarjammah yang berarti ihwal pengalihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Penerjemahan (translating) adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan teks suatu bahasa (misalnya bahasa Inggris) ke dalam teks bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia). Dalam hal ini teks yang diterjemahkan disebut teks sumber (TSu –source text/ST) dan bahasanya disebut bahasa sumber (BSu –source language/SL), sedangkan teks yang disusun oleh penerjemah adalah disebut teks sasaran (TSa –target text/TT) dan bahasanya disebut bahasa sasaran (BSa –target language/TL). Hasil dari kegiatan penerjemahan yang berupa TSa disebut terjemahan (translation), sedangkan penerjemah (translator) adalah orang yang melakukan kegiatan penerjemahan.
Tapi tidak selamanya penerjemahan dilakukan secara tulisan, ada pula penerjemahan yang dilakukan secara lisan. Orang yang melakukan kegiatan penerjemahan secara lisan disebut juru bahasa (interpreter).
Dari tiga definisi tersebut, kita bisa menarik simpulan bahwa penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan pesan yang sepadan dan sesuai dengan maksud pengarang/penulis dari suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran.
3. Jenis-jenis Penerjemah
Tahukah Anda ada berapa jenis penerjemah? Menurut Machali (2000) ada tiga jenis penerjemah, (i) yaitu penerjemah yang bekerja di perusahaan atau lembaga, (ii) penerjemah paruh-waktu, dan (iii) penerjemah bebas. Penerjemah jenis pertama sering merupakan bagian atau seksi dari suatu perusahaan atau lembaga besar seperti Komisi Masyarakat Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penerjemah jenis ini meniti kariernya di bidang penerjemahan.
            Jenis penerjemah yang kedua adalah mereka yang pekerjaan utamanya di bidang lain, misalnya guru, dosen, atau pegawai kantor. Di waktu senggangnya dia melakukan penerjemahan, baik sebagai hobi maupun sebagai anggota tim penerjemah suatu lembaga penerbitan buku seperti Gramedia, Mizan, atau Hikmah. Penerjemah jenis ini tentunya tidak menjadikan penerjemah sebagai profesi utama, walau pada kenyataannya hasil yang diperoleh dari penerjemahan terkadang jauh lebih besar dari hasil pekerjaan pokoknya.
            Sering kali timbul kesadaran dari penerjemah yang termasuk kelompok kedua tersebut bahwa ia bisa hidup dari penerjemahan. Oleh karena itu, hijrahlah ia dari golongan kedua menjadi penerjemah jenis ketiga, yakni penerjemah bebas. Penerjemah bebas adalah orang yang mendirikan usaha biro penerjemahan yang melibatkan berbagai bahasa.
4. Perangkat-perangkat yang Digunakan untuk Menjadi Penerjemah
Seorang pekerja bangunan tentu memiliki peralatan untuk menunjang pekerjaannya. Peralatannya bisa bermacam-macam seperti pacul, sendok semen, meteran, dan gergaji. Sama seperti kuli bangunan, seorang penerjemah juga harus memiliki peralatan atau perangkat yang wajib dimiliki untuk menunjang pekerjaan menerjemahkannya. Apa saja perangkat itu? Menurut Machali (2000) ada dua jenis perangkat yang lazim digunakan oleh penerjemah, yaitu (1) perangkat intelektual dan (2) perangkat praktis.    
            Yang termasuk perangkat intelektual adalah (a) kemampuan yang baik dalam bahasa sumber, (b) kemampuan yang baik dalam bahasa sasaran, (c) pengetahuan tentang pokok masalah yang diterjemahkan, (d) penerapan pengetahuan yang dimiliki, dan (e) keterampilan.
            Perangkat praktis meliputi (1) kemampuan menggunakan sumber-sumber rujukan, baik yang berbentuk kamus umum biasa, kamus elektronik, maupun kamus peristilahan serta narasumber bidang yang diterjemahkan; dan (2) kemampuan menganalisis konteks suatu teks, baik konteks langsung maupun konteks tidak langsung.
            Kedua jenis perangkat itu, masih menurut Machali, dapat juga disebut modal dasar yang harus dimiliki seorang penerjemah. Jika salah satu dari modal dasar itu tidak dimiliki atau kurang, maka terjemahan yang dihasilkan dapat menampakkan berbagai kekurangan, tergantung dari kadar kemampuannya memanfaatkan perangkat di atas.
            Senada dengan Machali, Hoed (2000) menyatakan bahwa untuk menjadi penerjemah yang baik kita harus berupaya keras untuk menguasai BSu dan BSa. Bahkan, sebenarnya penguasaan aktif atas BSa mutlak diperlukan oleh seorang penerjemah. Jadi, kalau ingin menjadi penerjemah yang baik ke dalam bahasa Indonesia, kita harus menguasai bahasa Indonesia secara aktif dengan sebaik-baiknya.
            Mengenai kamus seperti yang disinggung oleh Machali di atas, saya ingin merekomendasikan beberapa kamus yang menurut saya sangat baik dan wajib dimiliki oleh seorang penerjemah (Inggris-Indonesia atau sebaliknya) yang ingin menjadi penerjemah profesional bukan penerjemah yang asal-asalan. Untuk kamus ekabahasa (monolingual dictionary) bahasa Inggris yang terbaik menurut saya adalah Merriam Webster, Oxford, dan Longman. Ketiga kamus tersebut wajib Anda miliki. Kini edisi mutakhir kamus-kamus tersebut dilengkapi dengan CD sehingga kita tak perlu repot-repot membuka halaman kamus yang tebal untuk mencari makna suatu kata. Keping CD itu tinggal kita install ke komputer kita, lalu kita tik kata yang ingin kita ketahui artinya, tekan enter, kemudian makna kata itu muncul di layar monitor komputer kita.
Bila Anda bukan termasuk orang yang membela hak cipta, Anda bisa pergi ke daerah Glodok dan mencari CD kamus Oxford bajakan. Ada sebuah CD tentang kamus Oxford yang sangat lengkap, tidak hanya memuat kamus bahasa Inggris, tapi juga kamus Oxford Inggris-Jerman, Inggris-Spanyol, dan bahasa-bahasa lainnya. Harganya kurang lebih lima belas ribu. Anda pun dapat pergi ke tempat-tempat yang menjual jasa burning CD. Biasanya mereka memiliki CD-CD program komputer yang asli, termasuk kamus, dan akan dengan senang hati akan “membakarnya” untuk Anda. Tentunya setelah Anda menggantinya dengan sejumlah uang. Tapi saran saya ini Anda boleh ikuti bila Anda merasa sah-sah saja memakai barang bajakan. Bila Anda termasuk yang menghargai hak cipta, ya sebaiknya tidak usah.               
            Untuk kamus ekabahasa Indonesia ada Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta. Kamus yang populer disebut KUBI itu, walau sudah tergolong klasik, cukup baik untuk dimiliki guna menunjang pekerjaan penerjemahan, penyuntingan, atau apa pun yang terkait dengan bahasa Indonesia.
Ada satu kamus lagi, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus hasil karya para linguis di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Bahasa dan populer dengan nama KBBI ini merupakan “kitab suci” bagi orang yang berkecimpung dalam bidang bahasa. Kamus ini hukumnya wajib Anda miliki bila Anda mau serius jadi penerjemah yang baik. Edisi mutakhir kamus ini adalah edisi keempat, tahun 2009. Sayangnya kedua kamus itu tidak, atau belum, dilengkapi dengan CD.
            Untuk kamus dwibahasa Inggris-Indonesia maupun Indonesia-Inggris ada banyak yang terpajang di toko buku. Bahkan ada yang mengklaim memuat berjuta-juta lema. Sayangnya dari sekian banyak kamus itu hanya dua yang saya anggap cukup baik. Yang pertama adalah Kamus Inggris-Indonesia (dan Indonesia-Inggris) karangan John Echols dan Hasan Sadily. Kedua adalah The Contemporery English-Indonesian Dictionary (juga ada Indonesian-English) karangan Peter Salim. Akan tetapi, saya lebih merekomendasikan yang kedua karena lebih mutakhir. Karangan Echols dan Sadily sudah agak out of date. Tak ada penambahan akan lema-lemanya. Yang paling mutakhir terbit adalah kamus Indonesia-Inggris terbitan Mizan, judulnya Kamus Lengkap Indonesia-Inggris hasil karya Alam M. Stevens dan A. Ed. Schimidgail-Tellings. Ada juga Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia-Inggris (dan ungkapan Inggris-Indonesia) karangan Hadi Podo dan Joseph J. Sullivan. Kamus-kamus dwibahasa yang sudah saya sebutkan wajib Anda miliki.
            Selain kamus dwibahasa yang berbentuk cetak, ada juga yang berbentuk elektronik. Ada yang bermerek Alfa dengan berbagai jenis dan variasinya yang berbentuk seperti kalkulator. Ada pula yang berupa piranti lunak yang dapat di-install ke komputer. Ada yang bernama Linguist. Biasanya di komputer piranti ini sudah ada. Lalu, ada juga sebuah software kamus karya anak bangsa sendiri, yaitu Transtool. Harganya lumayan menguras kantung Anda bila Anda membeli yang asli, tapi versi crack-nya hanya sekitar dua puluh ribuan saja. Sayangnya kamus-kamus yang canggih ini banyak memiliki kekurangan sehingga sering kali, berdasarkan pengalaman saya sebagai penerjemah profesional, membuat kita terpaksa kembali ke kamus yang konvensional.          
            Di era internet ini, kamus- kamus yang otoritatif memiliki situs untuk memudahkan para penggunannya. Untuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi daringnya (dalam jaringan atau online) dapat dilihat di http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/, Oxford Dictionary dapat ditengok di http://www.oxforddictionaries.com/, dan Merriam-Webster’s boleh dijenguk di http://www.merriam-webster.com/. Untuk kamus lainnya, yang juga sering dipergunakan oleh para penerjemah, seperti Longman Dictionary atau Cambridge Dictionary dapat dijumpai di http://www.ldoceonline.com/ dan http://dictionary.cambridge.org/. sayangnya, untuk kamus yang dwibahasa Inggris-Indonesia atau sebaliknya belum ada yang menyediakan versi daring. Seluruhnya masih luring (luar jaringan atau offline).      
5. Langkah-langkah Menerjemahkan
            Menurut Nida dan Taber (1974) ada tiga langkah atau prosedur yang harus ditempuh seorang penerjemah ketika menerjemahkan. Ketiga langkah itu adalah (1) Analysis; (2) Transfer; dan (3) Restructuring. Bila digambarkan langkah-langkah tersebut tampak seperti di bawah ini:

        




Pada langkah pertama, yang dimaksud dengan analysis adalah menganalisis teks yang masih berupa teks sumber (TSu) dalam kaitannya dengan (a) hubungan gramatikal dalam TSu dan (b) makna dari kata-kata atau kombinasi kata-kata dari TSu itu. Dengan kata lain, pada langkah pertama ini kita berusaha untuk memahami teks.
Langkah kedua adalah usaha untuk mulai melakukan transfer atau mengalihkan hasil analisis yang ada di benak seorang penerjemah dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada proses ini alih bahasa sudah dimulai.
Setelah teks sumber sudah dipahami dan sudah dialihbahasakan, langkah selanjutnya adalah restructuring. Dalam langkah ketiga ini bahasa dari BSu yang sudah ditransfer kemudian direstrukturisasi atau disusun ulang agar pesan dari pengarang dapat diterima dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, pada langkah terakhir ini diadakan suatu penyerasian dan penyesuaian dengan faktor-faktor dalam bahasa sasaran.
Aplikasi dari langkah-langkah tersebut adalah begini: misalkan ada sepotong kalimat dari bahasa sumber (source), I cut my finger. Di tahap pertama seorang penerjemah melakukan analisis, misalnya I adalah subjek, cut adalah verba yang menjadi predikat, dan my finger adalah objek dari I. Di langkah kedua, transfer, penerjemah mulai melakukan alih bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Hasilnya adalah saya memotong jari saya. Di bagian terakhir, restructuring, penerjemah membongkar ulang alias merekontruksi kalimat itu agar berterima dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Bila bentuk saya memotong jari saya dipertahankan, maka maknanya akan terasa janggal, seakan-akan ada kesengajaan dari si penutur kalimat bahwa dia secara sadar memotong jarinya. Padahal, bukan itu pesan yang hendak disampaikan. Lagi pula, hal itu tentunya sulit diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu, penerjemah menyusun ulang hasil transfer saya memotong jari saya menjadi jari saya teriris. Kalimat jari saya teriris lebih diterima dalam bahasa sasaran (receptor) dan pesan yang disampaikan pun dapat diterima oleh pembaca dalam bahasa Indonesia.
6. Menerjemahkan Karya Sastra
            Setelah memahami apa itu terjemahan secara umum, apa saja modal yang harus dimiliki seorang penerjemah, langkah-langkah menerjemahkan, kini saatnya mengulik tentang penerjemahan karya sastra.
            Karya sastra, hasil sastra baik berupa puisi, prosa, maupun lakon (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php), tidaklah mudah untuk diterjemahkan. Ada beberapa halangan yang mengganjal, antara lain ialah adanya kesenjangan budaya (cultural gap) antara pembaca di bahasa sumber dan bahasa sasaran (Newmark, 1988: 162). Selain modal atau perangkat yang harus dimiliki, seperti telah dikemukakan, ada persayaratan lain yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang penerjemah sastra. Menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003: 153), dengan mengutip Nida (1975) dan Savory (1968), syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Memahami Bsu secara hampir sempurna. Dalam tingkat rekognisi kemampuannya diharapkan mendekati seratus persen;
2.      Menguasai dan mampu memakai BSa dengan baik, benar, dan efektif;      
3.      Mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan;
4.      Memiliki kepekaan terhadap karya sastra;
5.      Memiliki keluwesan kognitif dan keluwesan sosiokultural;
6.      Memiliki keuletan dan motivasi yang kuat.
Ringkasnya, untuk menjadi penerjemah karya sastra yang baik seseorang haruslah mengusai bahasa sumber dan bahasa sasaran, memahami teori terjemahan, dan yang terpenting adalah mengerti secara mendalam tentang sastra dan punya sense of literature alias kepekaan sastra yang kuat.
Karena sastra adalah karya yang mengandung nilai estetis, yakni memiliki unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan ungkapan, dan efek keindahan bunyi, tidaklah  mengherankan bahwa yang menerjemahkan sastra kebanyakan adalah juga sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono. Mengapa? Karena sastra adalah karya kreatif dan yang dapat menerjemahkan karya sastra adalah orang-orang yang punya kemahiran kreatif dalam mengolah bahasa agar mendapatkan padanan yang benar-benar sesuai.      
Realitas menunjukkan bahwa karya sastra yang paling sering diterjemahkan di Indonesia adalah karya sastra yang berbentuk prosa dan puisi. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya akan dibahas bagaimana menerjemahkan kedua genre sastra itu.
6.1.Menerjemahkan fiksi
Sebagaimana diketahui, prosa terbagi menjadi novel dan cerita pendek. Keduanya memiliki struktur yang sama, yakni ceritanya adalah rekaan, terdapat alur, memiliki tokoh, dan ada seting atau latar belakang. Dengan demikian, cara menerjemahkannya pun terdapat kemiripan. Namun, mudahkah menerjemahkan sastra berbentuk prosa? Suryawinata dan Hariyanto (2003: 155) mengungkapkan bahwa ada kesulitan menerjemahkan fiksi karena ada beberapa masalah seperti, mengutip (Newmark, 1988), adanya pengaruh budaya bahasa sumber dalam teks asli yang muncul dalam gaya bahasa, latar, dan tema, dan tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Selain itu, perlu diperhatikan juga ciri-ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis agar penerjemah tidak salah dalam memahami teks dan gaya penulisan karya yang akan diterjemahkan.
Oleh karena itu, Helloc, sebagaimana disitir oleh Basnett (2002: 120-121), menyebutkan bahwa ada enam aturan umum bagi penerjemah teks prosa, yaitu:
1.      The translator should not ‘plod on’, word by word or sentence by sentence, but should ‘always “block out” his work’. By ‘block out’, Belloc means that the translator should consider the work as an integral unit and translate in sections, asking himself ‘before each what the whole sense is he has to render’.
2.      The translator should render idiom by idiom and idioms of their nature demand translation into another form from that of the original. Belloc cites the case of the Greek exclamation ‘By the Dog!’, which, if rendered literally, becomes merely comic in English, and suggest that the phrase ‘By God!’ is a much closer translation.      
3.      The translator must render ‘intention by intention’, bearing in mind that ‘the intention of a phrase in one language may be less empathic than the form of the phrase, or it may be more emphatic’. By ‘intention’, Belloc seems to be talking about the weight a given expression may have in a particular context in the SL that would be disproportionate if translated literally into the TL. He quotes several examples where the weighting of the phrase in the SL is clearly much stronger or much weaker than the literal TL translation, and points out that in the translation of ‘intention’, it is often necessary to add words not in the original ‘to conform to the idiom of one’s own tongue
4.      Belloc warns against les faux amis, those words or structures that may appear to correspond in both SL and TL but actually do not, e.g. demander—to ask translated wrongly as to demand.
5.      The translator is advised to ‘transmute boldly’ and Belloc suggests that the essence of translating is ‘the resurrection of an alien thing in a native body’.
6.      The translator should never embellish.

Bagi yang bingung dengan keenam aturan umum di atas karena keterbatasan vokabuler dan pemahaman bahasa Inggris, tenangkan hati Anda. Berikut ini adalah penjelasannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana diutarakan oleh Suryawinata dan Hariyanto (2003: 156-158): 

1.      Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata per kata atau kalimat per kalimat saja, tapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik karya aslinya ataupun karya terjemahannya. Ini berarti penerjemah harus menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit yang integral, meskipun saat menerjemahkannya ia mengerjakan bagian per bagian saja.
2.      Penerjemah hendaknya menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Di sini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata-kata yang dipergunakan tidak sama persis. Misalnya idiom kambing hitam dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan scape goat dalam bahasa Inggris dan bukan black goat.
3.      Penerjemah harus menerjamahkan “maksud” menjadi “maksud” juga. Yang dimaksud dengan kata “maksud” di sini menurut Belloc adalah muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa saja muatan emosi dalam ekspresi BSu-nya lebih kuat daripada muatan emosi dalam padanannya dalam BSa, atau ekspresi tertentu terasa pas dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa, bila diterjemahkan secara literal. Misalnya dalam teks BSu ada seorang suami yang memarahi dan mengomel pada istrinya tanpa henti. Sang istri berkata pada sang suami, “John, please.” Bagaimana menerjemahkan ekspresi yang singkat ini? Kita harus lihat dulu maksudnya. Si istri bermaksud meredakan amarah sang suami dengan menyuruhnya menahan diri atau bersabar. Setelah mengetahui maksudnya, mungkin akan lebih baik jika diterjemahkan menjadi, “John, sudahlah.” Akan menjadi janggal dan bahkan lucu jika diterjemahkan menjadi “John, silakan.”
4.      Penerjemah harus waspada terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi sebenarnya sangat berbeda. Misalnya, kata map dalam bahasa Inggris bukanlah “map” dalam bahasa Indonesia, tetapi peta. “Map” dalam bahasa Indonesia padanannya adalah folder dalam bahasa Inggris. Begitu pula dengan “fabric” yang bukan berarti pabrik, tetapi serat kain maknanya.
5.      Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari BSu ke BSa dengan tegas. Lebih jauh Belloc mengatakan bahwa inti dari suatu kegiatan menerjemahkan cerita fiksi adalah kebangkitan kembali “jiwa asing” dalam “tubuh pribumi.” Tentu saja yang dimaksud dengan “jiwa asing” adalah makna cerita dalam BSu dan “tubuh pribumi” adalah bahasa sasarannya.
6.      Meskipun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah, tetapi pada lengkah keenam Belloc mengatakan bahwa penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan “hiasan-hiasan” yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah sekalipun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan “jiwa asing” tadi, bukannya mempercantik atau memperburuknya.

Menerjemahkan prosa, baik yang berbentuk cerpen maupun novel, pada dasarnya sama dengan menerjemahkan teks yang lain. langkah-langkahnya sama dengan yang telah digariskan oleh Nida dan Taber di atas, yakni analisis, transfer, dan restrukturisasi. yang membedakannya adalah bahwa kita selaku penerjemah harus benar-benar mengerti sastra sehingga dapat menangkap amanat yang disampaikan oleh pengarang dan memerhatikan enam aturan yang telah disebutkan di atas.
Bagaimana manifestasi dari enam aturan itu di atas dapat dilihat pada contoh yang saya berikan di bagian lampiran. Contoh itu dicuplik dari novel Mother of the Believers karya Kamran Pasha yang saya terjemahkan menjadi Humaira, Ibunda Kaum Beriman yang diterbitkan oleh penerbit Zaman (2010).
6.2              Menerjemahkan Puisi
            Puisi adalah salah satu jenis karya sastra yang memiliki keunikan tersendiri. Tidak saja, dari segi bentuk, tapi juga bunyi-bunyi bahasa yang digunakan, ungkapan yang dihasilkan, dan emosi yang dipancarkannya. Bentuk puisi yang hanya terdiri dari larik-larik mungkin akan menimbulkan kesan bahwa menerjemahkannya lebih mudah ketimbang prosa. Namun, sesungguhnya tidaklah semudah yang dibayangkan. Andre Lefevere, sebagaimana dikutip oleh Bassnet (2002: 87), mengungkap bahwa ada tujuh metode atau strategi menerjemahkan puisi, yakni:
1.      Phonemic translation, which attempts to reproduce the SL sound in the TL while at the same time producing an acceptable paraphrase of the sense. Lefevere comes to the conclusion that although this works moderately well in the translation of onomatopoeia, the overall result is clumsy and often devoid of sense altogether.
2.      Literal translation, where the emphasis on word-for-word translation distorts the sense and the syntax of the original.
3.      Metrical translation, where the dominant criterion is the reproduction of the SL metre. Lefevere concludes that, like literal translation, this method concentrates on one aspect of the SL text at the expense of the text as a whole.
4.      Poetry into prose. Here Lefevere concludes that distortion of the sense, communicative value and syntax of the SL text results from this method, although not to the same extent as with the literal or metrical types of translation.
5.      Rhymed translation, where the translator ‘enters into a double bondage’ of metre and rhyme. Lefevere’s conclusions here are particularly harsh, since he feels that the end product is merely a ‘caricature’ of Catullus.
6.      Blank verse translation. Again the restrictions imposed on the translator by the choice of structure are emphasized, although the greater accuracy and higher degree of literalness obtained are also noted.
7.      Interpretation. Under this heading, Lefevere discusses what he calls versions where the substance of the SL text is retained but the form is changed, and imitations where the translator produces a poem of his own which has ‘only title and point of departure, if those, in common with the source text’.

Masih ada kernyit di kening kalian. Itu tandanya masih ada hambatan bahasa atau language barrier dalam memahami ketujuh strategi itu. Tenang, pemahaman kalian akan terbantu dengan pemaparan dari Suryawinata dan Hariyanto (2003: 160-161) berikut ini:
a.       Terjemahan fonemik. Metode penerjemahan ini berusaha menciptakan kembali suara dari BSu ke BSa dan dalam waktu bersamaan, penerjemah berusaha mengalihkan makna puisi ke dalam BSa. Menurut kesimpulan Lefevere, meskipun hasil penerjemahan metode ini cukup lumayan dalam hal penciptaan bunyi dalam BSa yang sesuai dengan bunyi di dalam puisi asli, tetapi secara keseluruhan terasa kaku dan sering kali menghilangkan makna puisi aslinya.
b.      Terjemahan literal. Terjemahan dengan metode ini menekankan proses penerjemahan dari kata ke kata dalam BSa. Kebanyakan terjemahan puisi dengan metode ini betul-betul menghilangkan makna dalam puisi aslinya. Selain menghilangkan makna, struktur frase dan kalimatnya akan melenceng jauh dari struktur dalam BSa.
c.       Terjemahan irama. Terjemahan irama adalah penerjemahan puisi dengan penekanan utama pada pencarian atau pereproduksian irana atau matra puisi aslinya dalam puisi hasil terjemahannya. Strategi terjemahan jenis ini biasanya akan menghasilkan terjemahan yang mengacaukan makna dan juga memporak-porandakan struktur BSa karena secara umum tiap-tiap bahasa mempunyai sistem tekanan dalam pelafalan kata yang berbeda-beda.
d.      Terjemahan puisi ke prosa. Dalam terjemahan dari puisi ke prosa ini terdapat beberapa kelemahan, seperti hilangnya makna, musnahnya nilai komunikatif antara penyair dan pembaca, serta yang paling kentara, hilangnya pesona puisi aslinya yang telah dibangun dengan susah payah dari bahan-bahan pilihan kata dan bunyi serta ungkapan-ungkapan tertentu.
e.       Terjemahan bersajak. Dalam metode terjemahan ini, penerjemah mengutamakan pemindahan rima akhir larik puisi aslinya ke dalam puisi terjemahannya. Hasil terjemahan ini adalah sebuah terjemahan yang secara fisik kelihatan sama, tetapi menilik maknanya, hasilnya tidak akan memuaskan.
f.       Terjemahan puisi bebas. Dalam terjemahan dengan metode ini mungkin penerjemah bisa mendapatkan ketepatan padanan kata dalam BSa dengan baik dan kadar kesastraannya pun bisa dipertanggungjawabkan. Di lain pihak, masalah rima dan irama dalam jenis terjemahan ini cenderung diabaikan. Dengan demikian, secara fisik, mungkin puisi hasil terjemahan ini kelihatan berbeda dari puisi aslinya, tetapi dalam hal makna, puisi ini terasa sama.
g.      Interpretasi. Dalam jenis terjemahan interpretasi ini Lefevere mengajukan dua jenis terjemahan yang masing-masing disebutnya versi dan imitasi. Suatu versi puisi dalam BSa mempunyai isi atau makna yang sama bila dibandingkan dengan puisi aslinya dalam BSu tetapi bentuk “wadag”nya telah berubah sama sekali. Sementara dalam imitasi, penerjemah betul-betul telah menuliskan puisinya sendiri dengan judul dan topik serta titik tolak yang sama dengan puisi aslinya.

Menerjemahkan puisi tidaklah sama seperti menerjemahkan prosa. Bahkan, boleh dibilang tidak lebih mudah. Langkah-langkah dalam menerjemahkan puisi pun sama dengan langkah-langkah menerjemahkan prosa, yakni analisis, transfer, dan restrukturisasi. Hanya saja, sebagai teks yang sangat khas, puisi haruslah dipahami oleh orang yang benar-benar mengerti puisi sehingga pada saat mengalihbahasakannya pesan-pesan yang diutarakan oleh sang penyair tidak musnah. Oleh karenanya, dalam hemat saya, yang dapat, sanggup, dan boleh menerjemahkan puisi adalah seorang penulis puisi juga.
Saat menerjemahkan puisi, kita harus memilih satu dari tujuh strategi menerjemahkan puisi yang telah dikemukakan. Perwujudan strategi penerjemahan puisi itu dapat dilihat pada bagian lampiran. Di situ saya nukilkan beberapa puisi yang saya terjemahkan dalam buku-buku terjemahan saya dan satu puisi yang diterjemahkan oleh pujangga terbesar Indonesia, Chairil Anwar.  

Lampiran
Lampiran 1: Terjemahan Novel Humaira: Ibunda Orang Beriman (Zaman, 2010) karya Kamran Pasha

Teks Sumber (TSu):

PROLOGUE – THE BEGINNING OF THE END

In the Name of God, the Merciful, the Compassionate
            What is faith?
            It is a question I have asked myself over the years, dear nephew, and I am no closer to the answer now then I was when my hair was still crimson like the rising dawn, not the pale silver of moonlight as it is today.
            I write this for you, because I know I am dying. I do not complain, for there are times I wished I had died many years ago, or better yet, never have been born. My heart looks at the trees, whose life consists of no more than dreams of the sun and memories of the rain, and I envy them. There are times when I wish I were one of the rocks that line the hills beyond Medina, ignored and forgotten by those who tread upon them.
            You will protest, I am sure. How could I, Aisha the daughter of Abu Bakr, the most famed woman of her time, wish to trade in my glorious memories for the sleep of the deaf and the dumb of the earth? That is the tricky thing with memories, dear Abdallah, son of my sister. They are like the wind. They come when they wish, and carry with them both the hope of life and the danger of death. We cannot master them. Nay, they are our masters, and rejoice in their capriciousness, carrying our hearts with them wherever they wish.
And now they have taken me, against my will, to this moment, where I sit in my tiny bedroom made of mud brick, only a few feet away from the grave of my beloved, writing this tale. There is much I do not want to recall, but my memories cry out to be recorded, so that they can live in the memories of others when I am gone.
So I shall start at the beginning. At a time when one world was dying, and another was about to be born. There is much glory in my tale, much wonder, and a great deal of sorrow. It is a story that I hope you will preserve and take with you to the farthest reaches of the Empire, so that the daughters and granddaughters of those who are still being suckled today will remember. Much of what I shall relate, I witnessed with my own eyes. The rest I recount as it was recounted to me by those who were present.
It is a tale of great portent, and the bearer of my words must shoulder a weighty burden before God and man.  And of all those who dwell on earth, there is none whom I can trust more than you, Abdallah, to carry my tale.  In my days of honor and of disgrace, you have stood by my side, more loyal than any son of my flesh could have been.  I look upon your smiling face and see all that I have gained and lost as a price of my destiny.  A fate that was written in the ink of dreams when I was still a child.
I was six years old when I married the Messenger of God, although our union was not consummated until I began my cycles at the age of nine. Over the years, I became aware that my youthful marriage was considered shocking, even barbaric, by the haughty noblewomen of Persia and Byzantium, although none would have dared to say so to my face. Of course, I am used to the cruel whispers of the gossipmongers. More so than most women of my time, I have been subjected to the hidden daggers of jealousy and rumor. Perhaps that is to be expected. A price I must pay as the favorite wife of the most revered and hated man the world has ever known.
            Tell them, Abdallah, that I loved Muhammad, may God’s blessings and peace be upon him, and that he loved me, for all that I proved unworthy of it. Of the many twists and turns that have guided the caravan of my life, there are none that I treasure more than my ten years with him as his wife. Indeed, there are many days that I wished I had died with him, that Gabriel would have taken my spirit with his and I could have left this valley of tears for others to conquer. I torment myself with the knowledge that many thousands would have lived had I simply died that day. An army of believers who followed me to their doom. Good men, who believed that I acted out of idealism rather than pride and a hidden lust for revenge. Good men like your father. Had my soul departed along with the Messenger, he and so many others would have lived.
But that was not my destiny.
My fate was to be the mother of a nation, even though my womb has never borne a child of its own. A nation that was chosen by God to change the world, to destroy iniquity, even as it is forever tempted to succumb to it. A nation that defeated every adversary, despite all the forces of Earth marshaled against it, and then became doomed to fight itself until the Day of Resurrection. A nation, whose soul, like mine, is filled with God and yet consumed with earthly passion. A nation that stands for victory and justice, yet can never hide its own failures and cruelties against the terrible judgment of The One.
This is my Ummah, my nation, and I am its face, even though no man outside my family has looked upon my face since I was a little girl.
I am the harbinger of joy and anger. The queen of love and jealousy. The bearer of knowledge and the ultimate fool.
I am the Mother of the Believers and this is my tale.

Teks Sasaran (TSa):
PROLOG –AWAL DARI AKHIR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
            Apakah keyakinan itu?
            Itu adalah pertanyaan yang terus kutanyakan pada diriku sendiri selam bertahun-tahun, keponakanku tersayang, dan aku belum menemukan jawabannya sejak rambutku masih berwarna kemerahan bagai fajar yang merekah hingga kini berwarna keperakan laksana cahaya rembulan.
            Aku tuliskan ini padamu karena aku tahu bahwa aku sedang sekarat. Aku tidak mengeluh karena ada saatnya aku berharap aku mati bertahun-tahun yang lalu, atau bahkan tidak pernah dilahirkan. Aku memandangi pepohonan yang hidupnya terdiri hanya dari mimpi akan mentari dan kenangan akan hujan. Aku cemburu pada mereka. Ada kalanya aku berharap aku adalah salah satu dari bebatuan yang berjejer di bukit-bukit di luar Madinah yang diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang yang menginjak-injak mereka.
            Kau pasti akan protes, aku yakin itu. Bagaimana mungkin aku, Aisyah putri Abu Bakar, perempuan paling terkenal di zamannya, berharap untuk menukarkan kenangan-kenanganku dengan bumi yang tuli dan bisu? Itulah rumitnya kenangan keponakanku tersayang, putra kakak perempuanku. Kenangan itu bagai angin. Mereka datang sekehendak hati mereka dan membawa serta harapan bagi orang-orang yang masih hidup dan bahaya bagi mereka yang sudah wafat. Kita tidak bisa menguasai mereka. Tidak, merekalah yang menguasai kita dan gembira akan ketidaktetapan mereka, membawa hati kita ke mana saja sekehendak mereka.
            Dan kini mereka membawa, meski tak aku hendaki, sampai pada saat ini di mana aku duduk menulis kisah ini dalam kamarku yang sempit yang dibangun dari bata lumpur, hanya berjarak beberapa kaki dari makam orang yang kucintai. Banyak hal yang tak ingin kukenang, tapi kenanganku menjerit-jerit agar dicatat sehingga mereka dapat hidup dalam kenangan orang lain saat aku sudah tiada.
            Jadi aku akan mulai dari permulaan. Di kala sebuah dunia sedang sekarat dan sebuah dunia lainnya siap untuk dilahirkan. Terdapat banyak kejayaan dalam kisahku, banyak kekaguman, dan sejumlah besar duka lara. Ini adalah kisah yang kuharap kaulestarikan dan kau bawa hingga ujung-ujung wilayah Imperium supaya para anak perempuan dan para cucu perempuan yang masih menyusui saat ini akan mengenangnya. Banyak peristiwa dari yang akan kukisahkan, kusaksikan sendiri dengan mata kepalaku. Lainnya aku kisahkan seperti yang diceritakan padaku oleh orang lain yang juga turut menyaksikan berbagai peristiwa itu.
            Ini adalah kisah yang penuh pertanda dan pembawa kata-kataku ini harus menanggung beban yang berat di hadapan Tuhan dan manusia. Dan dari sekian banyak penghuni bumi ini tak ada yang lebih kupercayai selain dirimu, keponakanku tersayang, untuk menyampaikan kisah ini. Di hari-hari saat aku dipuja dan dipermalukan, kau membelaku, berdiri di sisiku, memihakku, lebih setia dari seorang putra kandung yang bisa saja kumiliki. Aku melihat wajahmu yang senantiasa tersenyum dan melihat semua yang telah kudapat dan kuhilangkan sebagai harga yang harus kubayar atas takdirku. Sebuah wajah yang tertulis dengan tinta impian saat aku masih bocah.
            Usiaku baru enam tahun saat aku dinikahkan dengan Rasulullah Saw, meski penyatuan kami belum dilaksanakan hingga aku mulai haid di umur sembilan tahun. Bertahun-tahun kemudian aku sadar bahwa pernikahan beliaku dianggap mengejutkan, bahkan barbar, oleh para bangsawan perempuan dari Persia dan Bizantium yang congkak, meski tak seorang pun yang berani mengungkapkannya secara langsung pada diriku. Tentu saja aku sudah terbiasa dengan bisik-bisik dan desas-desus yang kejam. Lebih dari sebagian besar wanita di zamanku, aku selalu menjadi sasaran belati kecemburuan dan kabar burung yang tersembunyi. Barang kali itulah yang sudah digariskan. Sebuah harga yang harus kubayar sebagai istri kesayangan orang yang paling dipuja dan dibenci yang pernah diketahui dunia.
            Beri tahu mereka, Abdullah, bahwa aku mencintai Muhammad Saw dan beliau mencintaiku, walau terbukti aku tak pantas untuk itu. Dari sekian banyak pasang surut bahtera kehidupanku, tak ada yang paling kuanggap berharga selain sepuluh tahun bersama beliau sebagai istrinya. Betul, ada saatnya aku berharap meninggal bersama beliau, berharap agar Jibril mengambil jiwaku bersamanya dan aku dapat meninggalkan lembah airmata ini untuk ditaklukkan orang lain. Aku siksa diriku dengan mengetahui bahwa banyak orang yang akan hidup jika aku wafatr pada hari itu. Sepasukan orang mukmin yang mengikutiku ke ajal mereka. Orang-orang baik yang percaya bahwa aku bertindak berdasarkan idealisme dan bukannya kesombongan dan hasrat tersembunyi untuk membalas dendam. Orang-orang baik seperti ayahmu. Jika saja nyawa ikut diambil bersama Rasulullah, ayahmu dan banyak orang baik lainnya akan tetap hidup.
            Tapi itu bukanlah takdirku.
            Takdirku adalah menjadi ibunda bagi sebuah bangsa, meski rahimku tak pernah melahirkan anakku sendiri. Sebuah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengubah dunia, untuk menghancurkan ketidakadilan, meski ketidakadilan itu berupaya mengalahkannya. Sebuah bangsa yang menaklukkan setiap musuhnya, meski semua kekuatan di Dunia bergabung untuk melawannya, lantas menjadi hancur dan berjuang bagi dirinya sendiri di Hari Kebangkitan. Sebuah bangsa yang jiwanya, sama seperti jiwaku, penuh dengan Tuhan, namun termakan oleh nafus duniawi. Sebuah bangsa yang berdiri di atas kemenangan dan keadilan, tetapi tidak dapat menyembunyikan kegagalan dan kekejamannya sendiri dari penghakiman Zat yang Maha Tunggal.
            Inilah Ummah-ku, bangsaku, dan aku adalah wajahnya meski tak seorang pria di luar keluargaku yang pernah memandang wajahku sejak aku masih seorang gadis kecil.      
            Aku adalah penanda akan kesenangan dan kemurkaan. Ratu dari cinta dan kecemburuan. Pembawa pengetahuan dan orang yang benar-benar bodoh.
            Aku adalah ibunda kaum Mukminin dan ini adalah kisahku.
 
Lampiran 2: Terjemahan Puisi
Puisi 1
Sumber: Untold Stories: Kisah-kisah yang Jarang Diungkap tentang Istri-istri Rasullah Saw (Kaysa Media: 2011) buah karya Tamam Kahn. Buku ini tentang kehidupan istri-istri Rasullah Saw dan ada beberapa bagian yang terdiri dari puisi.

TSu:

Galaxies
The desert stretches skyward.
Evening rolls down the sequence
of color to black.
Out past the tents, the faqiri moon,
a rim-slip of silver, sets.

Now the milky-way is everything —
Glisten is flung from there, out of the pools
of paradise where the Mothers of Islam bathe:

Amina, and Halima — the-wet-nurse
are first with splash and laughter;
then wives: Khadija and ‘A’isha;
Umm Habiba, Umm Salama, Sawda, Hafsa, Rayhana,
Safiyya, Mariya, Zaynab, Juwayriyya. and Maymuna —
daughters: Zaynab, Ruqayya, Umm Kulthum and Fatima.
A shower of blessings to all!

Honored by the Prophet, each woman
a galaxy, a night breeze, a mysterious pearl;
each one a solar system, complete in the white
blaze of her name. They lighten the sky,
beauty-mark the heavens, and heighten my astonishment
until I’m milk-marked and speechless. They say:

Those earthly years
we ringed ’round him,
held everything firm, as tent pegs do,
we kept him love-heavy;

husband, father, light-of-a-life-time.
We star in a thousand family stories.
          Write them.

TSa:

Galaksi-galaksi
                       
            Gurun merentang menuju angkasa.
            Sore menggulung rangkaian
            warna menjadi hitam.         
            Di luar tenda, rembulan faqiri
            melingkar perak mulai terjaga.

            Kini bima sakti menjadi segalanya–
            Kemilau terpancar dari sana, keluar dari kolam
            surga di mana para Ibunda Islam membersihkan diri:

            Aminah dan Halimah –sang ibu menyusui
            yang pertama mencebur dan tergelak;
            kemudian para istri: Khadijah dan A’isyah;
            Ummu Habibah, Ummu Salamah, Saudah, Hafsah, Raihanah,
            Safiyyah, Mariya, Zainab, Juwairiyyah, dan Maimunah–
            Lalu para putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan
            Fatimah.
            Hujan rahmat mengguyur mereka semua!

            Dihormati oleh Nabi, setiap wanita
adalah sebuah galaksi, suatu embusan angin malam, sebuah mutiara nan misterius. 
Tiap wanita adalah sistem tata surya yang lengkap
dalam kobaran cahaya putih namanya. Mereka terangi langit, tandai jelita surga dan tinggikan heranku
sampai aku tak mampu bersuara. Mereka berkata:
            di tahun-tahun itu
            kami berada di sekitar beliau,
            tegakkan segalanya laksana pasak tenda,
            kami cintai beliau teramat;
           
            suami, ayah, cahaya zaman.
            Kami jadi gemintang dalam kisah ribuan keluarga.
                                                            Tuliskanlah kisah-kisah itu.

Puisi 2
Sumber: Untold Stories: Kisah-kisah yang Jarang Diungkap tentang Istri-istri Rasullah Saw (Kaysa Media: 2011). Buku ini tentang kehidupan istri-istri Rasullah Saw dan ada beberapa bagian yang terdiri dari puisi.

TSu:

On the Porch

Muhammad climbs to the porch and pulls the ladder up.
He carries his gear, water skin, blanket, tooth stick.
Below, where the women chatter, relentless as cicadas,
caught in faction and backtalk, chit-chat and story
telling, the place is struck with unnatural quiet.
When will he come down? The wives are waiting.
The first night, when he would have slept with her,
Umm Salama sits in the dark, combs out her thick braid
with lote-tree oil and gathers the hairs from the comb one by one.
Juwayriyya’s night, she fasts and dreams a feast,
blinks awake to the scratch of mattress twigs, rubs at
the saliva mark on her pillow. By the third night,
Umm Habiba is repeating God’s name,
when Mu‘ayza, Muhammad’s cat, climbs in her lap
and begins purring. When she drifts off, the cat nudges her awake.
The fourth night, Hafsa’s night, she cries in her room.
Her harsh father shouts at her through the window,
Serves you right if he jilts you.
On her night, Zaynab tends a sick bird squeezing
drops of water into the open beak from her knotted handkerchief.
All night she shelters the bird between her breasts.
Nearly every night, ‘A’isha runs out to the lava field. She hurries
through the reek of goats, her shawl flapping.
When she reaches the well edge, she leans over, screams
into stone darkness with the lost voice of Sarah, of Hagar, of Mariam,
with the pain of all the women who love the one
whose tongue and heart belong to God. On the twenty-ninth day,
Muhammad comes down from the porch.

TSa:

Di Dalam Beranda
Nabi Muhammad naik ke beranda dan menarik tangganya.
Beliau membawa perlengkapannya, tempat air minum, selimut, dan siwaknya.
Di bawah, para istri berbincang, tanpa
henti laksana jangkrik
terbelah dalam kelompok dan percakapan, obrolan dan dongeng, tempat itu dihantam keheningan yang tak alami.
Kapankah beliau akan turun? Para istri menunggu.
Di malam pertama di mana mestinya beliau tidur bersamanya, Ummu Salamah duduk di dalam gelap, menyisir rambutnya yang tebal yang dikepang dengan
minyak pohon lote dan mengumpulkan rambutnya helai demi helai dari sisir.
Di malam giliran Juwairiyyah, dia berpuasa dan bermimpi tentang pesta, dan terbangun karena tergores ranting ranjangnya. Di malam ketiga
Ummu Habibah menyebut nama Allah berulang-ulang
ketika Mu’ayza, kucing peliharaan Nabi Saw, meloncat ke pangkuannya dan mulai mendengkur. Ketika dia berguling, sentuhan kucing membuatnya terjaga.
Malam keempat, malam giliran Hafsah, dia menangis di kamarnya. Ayahnya yang galak berteriak padanya dari jendela, Rasakan kalau beliau memutuskan dirimu.
Di malam gilirannya, Zainab merawat seekor burung yang sakit dengan teteskan air ke paruhnya dengan sapu tangannya. Sepanjang malam dia
lindungi burung itu di dadanya.
Nyaris tiap malam A’isyah berlari ke arah padang lava.
Dia bergegas melewati kambing-kambing yang berbau busuk.
Selendangnya melambai-lambai. Ketika dia sampai di bibir sumur, dia membungkuk dan berteriak
kepada batu-batu gelap dengan suara Sarah, Hajar, dan Maria, dengan rasa sakit dari semua perempuan yang mencintai orang yang satu yang
lidah dan hatinya milik Allah.
Di hari keduapuluh sembilan,  
Nabi Muhammad turun dari serambi itu.


Puisi 3
Sumber: The Kingdom of Joy: Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi karya Abdul Rahman Azzam (Hikmah, 2007). Buku ini merupakan buku tentang kisah-kisah sufistik yang ada dalam kitab Matsnawi karya Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga penyair terbesar dunia. Di buku itu ada sebuah kisah tentang seorang penyanyi yang dianugerahi Allah dengan suara yang teramat merdu. Kemasyhuran pun menghampirinya. Dia terbuai oleh kejayaannya. Sibuk bernyanyi, mengumpulkan kekayaan, dan bercinta dengan para wanita. Tidak satu kali pun pernah ditunaikannya salat sebagai wujud syukur atas karunia yang diberikan padanya. Tahun demi tahun berlalu dan ketenarannya mulai surut. Suaranya berubah dari yang indah menjadi pecah. Parau bagai burung gagak yang membuat telinga pekak. Di usianya yang ke-70 tahun dia hidup sendirian. Dia bertobat dan tersungkur bersujud untuk pertama kali dalam hidupnya karena dia tidak tahu bagaimana mendirikan salat yang benar. Dalam sujudnya dia gumamkan ampunan yang puitis: 

You gave me ample live,
And gave me ample time,

You were so kind to one
Who is so lowly, O God!

For seventy years I was rebellious here,
But You did not hold Your bounty for one day!

Today I cannot earn;
I am old. I am Your guest.

I’ll play the harp for You,
For I belong to You.

Yang saya terjemahkan menjadi:

Kau telah berikan daku kehidupan yang melimpah
Kau telah berikan daku waktu yang meruah

Kau begitu murah hati padaku diriku
Yang begitu amat rendah di hadapan-Mu Wahai Tuhanku!

Selama tujuh puluh tahun aku mengabaikan
Tapi tiada satu hari jua rahmat-Mu Kau tahan!

Kini aku tak bermampu
Aku menua. Aku menjadi tamu bagi-Mu

Akan kumainkan harpa untuk-Mu
Karena aku adalah milik-Mu

Puisi 3
Sumber: tulisan Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Menerjemahkan Karya Sastra.” Puisi ini diterjemahkan oleh Chairil Anwar, pujangga besar sastra Indonesia dari karya John Cornford, Poem  menjadi Huesca.
TSa:

Poem                                                     

Heart of the heartless world,                           
Dear heart, the thought of you
Is the pain at my side,
The shadow that chills my view.

The wind rises in the evening,
Reminds that autumn is near,
I am afraid to lose you,
I am afraid of my fear.

On the last mile to Huesca
The last fence for our pride
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side.

And if bad luck should lay my strength
Into the shallow grave
Remember all the good you can:
Don’t forget my love.

TSu:
Huesca

Jiwa adi dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku

Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba,
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.

Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,
Kenanglah sayang, dengan mesra
Kau bayangkan di sisiku ada.

Dan jika untung malang menghamparkan
Aku dalam kuburan dangkal.
Ingatlah sebisamu yang baik
Dan cintaku yang kekal.
PUSTAKA ACUAN

Bassnet, Susan. 2002. Translation Studies 3rd Edition. New York: Routledge.
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University
Press.
Hoed, Benny Hoedoro. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall.
Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1974. The Theory and  Practice ofTranslation. Leiden: E. J. Brill.
Suryawinata, Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori dan  Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius.









[1] Bahan kuliah Writing III Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
[2] Penerjemah dan penyunting buku profesional yang juga dosen tetap Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas  Adab dan Humaniora, UIN Jakarta.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Hai ka salam kenal. Nm sy Theresia. Mau bertanya, jika ingin menerjemahkan 1 cerita dari e-book ke b.Indo & di tulis diblog pribadi, itu harus izin dulu / boleh langsung kita tulis di blog kita? Mhn dijawab ya ka. Trims

cici mengatakan...

Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny

Posting Komentar