MENERJEMAHKAN KARYA SASTRA
DEFINISI, LANGKAH-LANGKAH DAN PERSYARATAN[1]
Oleh Hilmi Akmal[2]
1. Pendahuluan
Saat berjalan-jalan ke toko buku,
pandangan kita sering tertumbuk pada deretan buku-buku dengan judul berbahasa
asing, sebagian besar bahasa Inggris, tetapi isinya berbahasa Indonesia.
Buku-buku
tersebut adalah buku-buku yang telah diterjemahkan dari bahasa sumbernya,
misalkan bahasa Inggris, ke bahasa sasaran seperti bahasa Indonesia. Hal yang
sama pun kita jumpai saat menelusuri rak-rak buku bagian buku-buku sastra.
Banyak sekali buku-buku karya sastra, sebagian besar novel, yang merupakan
terjemahan.
Mungkin di benak kalian terbersit tanya,
bagaimanakah buku-buku itu, terutama buku-buku karya sastra, diterjemahkan?
Bagaimana prosesnya? Apa saja syarat-syarat menjadi penerjemah wa bil khusus
adakah syarat khusus untuk menjadi penerjemah karya sastra? Tulisan ini akan
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di bagian-bagian berikutnya
saya akan mendedahkan untuk kalian apa itu penerjemahan, jenis-jenis
penerjemah, apa saja perangkat untuk menjadi penerjemah, langkah-langkah
menerjemahkan, dan, yang terpenting, bagaimana menerjemahkan karya sastra.
Pertanyaan lain, barangkali, menyeruak dari
otak kalian, apa hubungannya menerjemahkan dengan penulisan yang menjadi pokok
bahasan kuliah Writing ini? Well,
bagi saya menerjemahkan adalah juga sebuah proses penulisan. Bedanya, bila
menulis biasanya hanya menggunakan satu bahasa untuk mengungkapkan gagasan yang
ada di benak, menerjemahkan menggunakan dua bahasa untuk mengungkapkan gagasan
dari satu bahasa yang dipakai penulis/pengarang ke bahasa lainnya agar apa yang
diungkap dapat ditangkap oleh pembaca yang tak memahami bahasa yang dipakai
penulis/pengarang itu. Dengan kata lain, menerjemahkan adalah menuliskan
kembali gagasan seseorang agar dapat dipahami oleh orang lain yang tidak
sebahasa.
2. Definisi Penerjemahan
Ada beberapa definisi penerjemahan yang ingin saya
berikan untuk Anda. Pertama dari Catford (1965) yang mendefinisikan penerjemahan
sebagai “the replacement of textual material in one language by equivalent
tetxtual material in another language. Definisi kedua berasal dari Newmark
(1988). Menurutnya penerjemahan adalah “rendering the meaning of a text into
another language in the way that the author intended.” Yang terakhir adalah
dari Benny Hoed (2006) dalam bukunya Penerjemahan dan Kebudayaan.
Menurut mertua dari Melly Guslaw yang juga adalah guru saya ini, kata dasar terjemah
berasal dari bahasa Arab tarjammah yang berarti ihwal pengalihan dari
satu bahasa ke bahasa yang lain. Penerjemahan (translating)
adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan teks suatu bahasa (misalnya
bahasa Inggris) ke dalam teks bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia). Dalam
hal ini teks yang diterjemahkan disebut teks sumber (TSu –source text/ST)
dan bahasanya disebut bahasa sumber (BSu –source language/SL), sedangkan
teks yang disusun oleh penerjemah adalah disebut teks sasaran (TSa –target
text/TT) dan bahasanya disebut bahasa sasaran (BSa –target language/TL).
Hasil dari kegiatan penerjemahan yang berupa TSa disebut terjemahan (translation),
sedangkan penerjemah (translator) adalah orang yang melakukan
kegiatan penerjemahan.
Tapi tidak
selamanya penerjemahan dilakukan secara tulisan, ada pula penerjemahan yang
dilakukan secara lisan. Orang yang melakukan kegiatan penerjemahan secara lisan
disebut juru bahasa (interpreter).
Dari tiga
definisi tersebut, kita bisa menarik simpulan bahwa penerjemahan adalah kegiatan
mengalihkan pesan yang sepadan dan sesuai dengan maksud pengarang/penulis dari
suatu bahasa sumber ke bahasa sasaran.
3. Jenis-jenis Penerjemah
Tahukah
Anda ada berapa jenis penerjemah? Menurut Machali (2000) ada tiga jenis
penerjemah, (i) yaitu penerjemah yang bekerja di perusahaan atau lembaga, (ii)
penerjemah paruh-waktu, dan (iii) penerjemah bebas. Penerjemah jenis pertama
sering merupakan bagian atau seksi dari suatu perusahaan atau lembaga besar
seperti Komisi Masyarakat Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penerjemah
jenis ini meniti kariernya di bidang penerjemahan.
Jenis penerjemah yang kedua adalah mereka yang pekerjaan
utamanya di bidang lain, misalnya guru, dosen, atau pegawai kantor. Di waktu
senggangnya dia melakukan penerjemahan, baik sebagai hobi maupun sebagai
anggota tim penerjemah suatu lembaga penerbitan buku seperti Gramedia, Mizan,
atau Hikmah. Penerjemah jenis ini tentunya tidak menjadikan penerjemah sebagai
profesi utama, walau pada kenyataannya hasil yang diperoleh dari penerjemahan
terkadang jauh lebih besar dari hasil pekerjaan pokoknya.
Sering
kali timbul kesadaran dari penerjemah yang termasuk kelompok kedua tersebut
bahwa ia bisa hidup dari penerjemahan. Oleh karena itu, hijrahlah ia dari
golongan kedua menjadi penerjemah jenis ketiga, yakni penerjemah bebas. Penerjemah
bebas adalah orang yang mendirikan usaha biro penerjemahan yang melibatkan
berbagai bahasa.
4. Perangkat-perangkat
yang Digunakan untuk Menjadi Penerjemah
Seorang
pekerja bangunan tentu memiliki peralatan untuk menunjang pekerjaannya.
Peralatannya bisa bermacam-macam seperti pacul, sendok semen, meteran, dan
gergaji. Sama seperti kuli bangunan, seorang penerjemah juga harus memiliki
peralatan atau perangkat yang wajib dimiliki untuk menunjang pekerjaan
menerjemahkannya. Apa saja perangkat itu? Menurut Machali (2000) ada dua jenis
perangkat yang lazim digunakan oleh penerjemah, yaitu (1) perangkat intelektual
dan (2) perangkat praktis.
Yang termasuk perangkat intelektual adalah (a) kemampuan
yang baik dalam bahasa sumber, (b) kemampuan yang baik dalam bahasa sasaran,
(c) pengetahuan tentang pokok masalah yang diterjemahkan, (d) penerapan
pengetahuan yang dimiliki, dan (e) keterampilan.
Perangkat praktis meliputi (1) kemampuan menggunakan
sumber-sumber rujukan, baik yang berbentuk kamus umum biasa, kamus elektronik,
maupun kamus peristilahan serta narasumber bidang yang diterjemahkan; dan (2)
kemampuan menganalisis konteks suatu teks, baik konteks langsung maupun konteks
tidak langsung.
Kedua jenis perangkat itu, masih menurut Machali, dapat
juga disebut modal dasar yang harus dimiliki seorang
penerjemah. Jika salah satu dari modal dasar itu tidak dimiliki atau
kurang, maka terjemahan yang dihasilkan dapat menampakkan berbagai kekurangan,
tergantung dari kadar kemampuannya memanfaatkan perangkat di atas.
Senada dengan Machali, Hoed (2000) menyatakan bahwa untuk
menjadi penerjemah yang baik kita harus berupaya keras untuk menguasai BSu dan
BSa. Bahkan, sebenarnya penguasaan aktif atas BSa mutlak diperlukan oleh
seorang penerjemah. Jadi, kalau ingin menjadi penerjemah yang baik ke dalam
bahasa Indonesia, kita harus menguasai bahasa Indonesia secara aktif dengan
sebaik-baiknya.
Mengenai kamus seperti yang disinggung oleh Machali di
atas, saya ingin merekomendasikan beberapa kamus yang menurut saya sangat baik
dan wajib dimiliki oleh seorang penerjemah (Inggris-Indonesia atau sebaliknya)
yang ingin menjadi penerjemah profesional bukan penerjemah yang asal-asalan.
Untuk kamus ekabahasa (monolingual dictionary) bahasa Inggris yang
terbaik menurut saya adalah Merriam Webster, Oxford, dan Longman.
Ketiga kamus tersebut wajib Anda miliki. Kini edisi mutakhir kamus-kamus
tersebut dilengkapi dengan CD sehingga kita tak perlu repot-repot membuka
halaman kamus yang tebal untuk mencari makna suatu kata. Keping CD itu tinggal
kita install ke komputer kita, lalu kita tik kata yang ingin kita
ketahui artinya, tekan enter, kemudian makna kata itu muncul di layar
monitor komputer kita.
Bila
Anda bukan termasuk orang yang membela hak cipta, Anda bisa pergi ke daerah Glodok
dan mencari CD kamus Oxford bajakan. Ada sebuah CD tentang kamus Oxford
yang sangat lengkap, tidak hanya memuat kamus bahasa Inggris, tapi juga kamus
Oxford Inggris-Jerman, Inggris-Spanyol, dan bahasa-bahasa lainnya. Harganya
kurang lebih lima belas ribu. Anda pun dapat pergi ke tempat-tempat yang
menjual jasa burning CD. Biasanya
mereka memiliki CD-CD program komputer yang asli, termasuk kamus, dan akan
dengan senang hati akan “membakarnya” untuk Anda. Tentunya setelah Anda
menggantinya dengan sejumlah uang. Tapi saran saya ini Anda boleh ikuti bila
Anda merasa sah-sah saja memakai barang bajakan. Bila Anda termasuk yang
menghargai hak cipta, ya sebaiknya tidak usah.
Untuk kamus ekabahasa Indonesia ada Kamus Umum Bahasa
Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta. Kamus yang populer disebut KUBI
itu, walau sudah tergolong klasik, cukup baik untuk dimiliki guna menunjang
pekerjaan penerjemahan, penyuntingan, atau apa pun yang terkait dengan bahasa
Indonesia.
Ada
satu kamus lagi, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus hasil karya
para linguis di Pusat Pengkajian dan Pengembangan Bahasa dan populer dengan
nama KBBI ini merupakan “kitab suci” bagi orang yang berkecimpung dalam bidang
bahasa. Kamus ini hukumnya wajib Anda miliki bila Anda mau serius jadi
penerjemah yang baik. Edisi mutakhir kamus ini adalah edisi keempat, tahun
2009. Sayangnya kedua kamus itu tidak, atau belum, dilengkapi dengan CD.
Untuk kamus dwibahasa Inggris-Indonesia maupun
Indonesia-Inggris ada banyak yang terpajang di toko buku. Bahkan ada yang
mengklaim memuat berjuta-juta lema. Sayangnya dari sekian banyak kamus itu
hanya dua yang saya anggap cukup baik. Yang pertama adalah Kamus
Inggris-Indonesia (dan Indonesia-Inggris) karangan John Echols dan Hasan
Sadily. Kedua adalah The Contemporery English-Indonesian Dictionary
(juga ada Indonesian-English) karangan Peter Salim. Akan tetapi, saya lebih
merekomendasikan yang kedua karena lebih mutakhir. Karangan Echols dan Sadily
sudah agak out of date. Tak ada penambahan akan lema-lemanya. Yang
paling mutakhir terbit adalah kamus Indonesia-Inggris terbitan Mizan, judulnya Kamus
Lengkap Indonesia-Inggris hasil karya Alam M. Stevens dan A. Ed.
Schimidgail-Tellings. Ada juga Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia-Inggris
(dan ungkapan Inggris-Indonesia) karangan Hadi Podo dan Joseph J. Sullivan.
Kamus-kamus dwibahasa yang sudah saya sebutkan wajib Anda miliki.
Selain
kamus dwibahasa yang berbentuk cetak, ada juga yang berbentuk elektronik. Ada
yang bermerek Alfa dengan berbagai jenis dan variasinya yang berbentuk
seperti kalkulator. Ada pula yang berupa piranti lunak yang dapat di-install
ke komputer. Ada yang bernama Linguist. Biasanya di komputer piranti ini
sudah ada. Lalu, ada juga sebuah software kamus karya anak bangsa sendiri,
yaitu Transtool. Harganya lumayan menguras kantung Anda bila Anda
membeli yang asli, tapi versi crack-nya hanya sekitar dua puluh ribuan
saja. Sayangnya kamus-kamus yang canggih ini banyak memiliki kekurangan
sehingga sering kali, berdasarkan pengalaman saya sebagai penerjemah
profesional, membuat kita terpaksa kembali ke kamus yang konvensional.
Di
era internet ini, kamus- kamus yang otoritatif memiliki situs untuk memudahkan
para penggunannya. Untuk Kamus Besar
Bahasa Indonesia, edisi daringnya (dalam jaringan atau online) dapat dilihat di http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/,
Oxford Dictionary dapat ditengok di http://www.oxforddictionaries.com/,
dan Merriam-Webster’s boleh dijenguk
di http://www.merriam-webster.com/.
Untuk kamus lainnya, yang juga sering dipergunakan oleh para penerjemah,
seperti Longman Dictionary atau Cambridge Dictionary dapat dijumpai di http://www.ldoceonline.com/ dan http://dictionary.cambridge.org/.
sayangnya, untuk kamus yang dwibahasa Inggris-Indonesia atau sebaliknya belum
ada yang menyediakan versi daring. Seluruhnya masih luring (luar jaringan atau offline).
5. Langkah-langkah
Menerjemahkan
Menurut Nida dan Taber (1974) ada tiga langkah atau
prosedur yang harus ditempuh seorang penerjemah ketika menerjemahkan. Ketiga
langkah itu adalah (1) Analysis; (2) Transfer; dan (3) Restructuring.
Bila digambarkan langkah-langkah tersebut tampak seperti di bawah ini:
Pada
langkah pertama, yang dimaksud dengan analysis adalah menganalisis teks
yang masih berupa teks sumber (TSu) dalam kaitannya dengan (a) hubungan
gramatikal dalam TSu dan (b) makna dari kata-kata atau kombinasi kata-kata dari
TSu itu. Dengan kata lain, pada langkah pertama ini kita berusaha untuk
memahami teks.
Langkah
kedua adalah usaha untuk mulai melakukan transfer atau mengalihkan hasil
analisis yang ada di benak seorang penerjemah dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran. Pada proses ini alih bahasa sudah dimulai.
Setelah
teks sumber sudah dipahami dan sudah dialihbahasakan, langkah selanjutnya
adalah restructuring. Dalam langkah ketiga ini bahasa dari BSu yang
sudah ditransfer kemudian direstrukturisasi atau disusun ulang agar pesan dari
pengarang dapat diterima dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, pada langkah
terakhir ini diadakan suatu penyerasian dan penyesuaian dengan faktor-faktor
dalam bahasa sasaran.
Aplikasi
dari langkah-langkah tersebut adalah begini: misalkan ada sepotong kalimat dari
bahasa sumber (source), I cut my finger. Di tahap pertama
seorang penerjemah melakukan analisis, misalnya I adalah subjek, cut
adalah verba yang menjadi predikat, dan my
finger adalah objek dari I. Di langkah kedua, transfer,
penerjemah mulai melakukan alih bahasa dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Hasilnya adalah saya memotong jari saya.
Di bagian terakhir, restructuring,
penerjemah membongkar ulang alias merekontruksi kalimat itu agar berterima
dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran. Bila bentuk saya memotong jari saya dipertahankan, maka maknanya akan terasa
janggal, seakan-akan ada kesengajaan dari si penutur kalimat bahwa dia secara
sadar memotong jarinya. Padahal, bukan itu pesan yang hendak disampaikan. Lagi
pula, hal itu tentunya sulit diterima oleh akal sehat. Oleh karena itu,
penerjemah menyusun ulang hasil transfer saya
memotong jari saya menjadi jari saya teriris.
Kalimat jari saya teriris lebih
diterima dalam bahasa sasaran (receptor)
dan pesan yang disampaikan pun dapat diterima oleh pembaca dalam bahasa
Indonesia.
6. Menerjemahkan Karya Sastra
Setelah memahami
apa itu terjemahan secara umum, apa saja modal yang harus dimiliki seorang
penerjemah, langkah-langkah menerjemahkan, kini saatnya mengulik tentang
penerjemahan karya sastra.
Karya sastra, hasil
sastra baik berupa puisi, prosa, maupun lakon (http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php),
tidaklah mudah untuk diterjemahkan. Ada beberapa halangan yang mengganjal,
antara lain ialah adanya kesenjangan budaya (cultural gap) antara pembaca di bahasa sumber dan bahasa sasaran
(Newmark, 1988: 162). Selain modal atau perangkat yang harus dimiliki, seperti
telah dikemukakan, ada persayaratan lain yang harus dipenuhi untuk menjadi
seorang penerjemah sastra. Menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003: 153),
dengan mengutip Nida (1975) dan Savory (1968), syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Memahami Bsu secara hampir
sempurna. Dalam tingkat rekognisi kemampuannya diharapkan mendekati seratus
persen;
2.
Menguasai dan mampu memakai BSa
dengan baik, benar, dan efektif;
3.
Mengetahui dan memahami sastra,
apresiasi sastra, serta teori terjemahan;
4.
Memiliki kepekaan terhadap
karya sastra;
5.
Memiliki keluwesan kognitif dan
keluwesan sosiokultural;
6.
Memiliki keuletan dan motivasi
yang kuat.
Ringkasnya, untuk menjadi penerjemah karya sastra yang
baik seseorang haruslah mengusai bahasa sumber dan bahasa sasaran, memahami
teori terjemahan, dan yang terpenting adalah mengerti secara mendalam tentang
sastra dan punya sense of literature
alias kepekaan sastra yang kuat.
Karena sastra adalah karya yang mengandung nilai
estetis, yakni memiliki unsur-unsur emosional, efek keindahan kata dan
ungkapan, dan efek keindahan bunyi, tidaklah
mengherankan bahwa yang menerjemahkan sastra kebanyakan adalah juga
sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono. Mengapa? Karena sastra adalah karya
kreatif dan yang dapat menerjemahkan karya sastra adalah orang-orang yang punya
kemahiran kreatif dalam mengolah bahasa agar mendapatkan padanan yang
benar-benar sesuai.
Realitas menunjukkan bahwa karya sastra yang paling
sering diterjemahkan di Indonesia adalah karya sastra yang berbentuk prosa dan
puisi. Oleh karena itu, pada bagian-bagian berikutnya akan dibahas bagaimana
menerjemahkan kedua genre sastra itu.
6.1.Menerjemahkan fiksi
Sebagaimana diketahui, prosa terbagi menjadi novel dan
cerita pendek. Keduanya memiliki struktur yang sama, yakni ceritanya adalah
rekaan, terdapat alur, memiliki tokoh, dan ada seting atau latar belakang.
Dengan demikian, cara menerjemahkannya pun terdapat kemiripan. Namun, mudahkah
menerjemahkan sastra berbentuk prosa? Suryawinata dan Hariyanto (2003: 155)
mengungkapkan bahwa ada kesulitan menerjemahkan fiksi karena ada beberapa
masalah seperti, mengutip (Newmark, 1988), adanya pengaruh budaya bahasa sumber
dalam teks asli yang muncul dalam gaya bahasa, latar, dan tema, dan tujuan
moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Selain itu, perlu diperhatikan
juga ciri-ciri konvensi kesusastraan pada saat karya itu ditulis agar
penerjemah tidak salah dalam memahami teks dan gaya penulisan karya yang akan
diterjemahkan.
Oleh karena itu, Helloc, sebagaimana disitir oleh
Basnett (2002: 120-121), menyebutkan bahwa ada enam aturan umum bagi penerjemah
teks prosa, yaitu:
1.
The translator should not ‘plod on’, word by word or sentence by
sentence, but should ‘always “block out” his work’. By ‘block out’, Belloc
means that the translator should consider the work as an integral unit and
translate in sections, asking himself ‘before each what the whole sense is he
has to render’.
2.
The translator should render idiom by
idiom and idioms of their nature demand
translation into another form from that of the original. Belloc cites the case
of the Greek exclamation ‘By the Dog!’, which, if rendered literally, becomes
merely comic in English, and suggest that the phrase ‘By God!’ is a much closer
translation.
3.
The translator must render ‘intention by intention’, bearing in mind
that ‘the intention of a phrase in one language may be less empathic than the
form of the phrase, or it may be more emphatic’. By ‘intention’, Belloc seems to be talking about the weight a given expression may have in a
particular context in the SL that would be
disproportionate if translated literally into the TL. He quotes several examples where the weighting of
the phrase in the SL is clearly much stronger or
much weaker than the literal TL
translation, and points out that in the translation of ‘intention’, it is often necessary to add words not in the original ‘to conform to the idiom of one’s own tongue
4.
Belloc warns against les faux amis, those words or structures that may appear to correspond in both SL and TL but actually do not, e.g. demander—to ask translated wrongly as to demand.
5.
The translator is advised to ‘transmute boldly’ and
Belloc suggests that the essence of translating is
‘the resurrection of an alien thing in a
native body’.
6.
The translator should never embellish.
Bagi yang bingung dengan keenam aturan umum di atas karena
keterbatasan vokabuler dan pemahaman bahasa Inggris, tenangkan hati Anda.
Berikut ini adalah penjelasannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana diutarakan
oleh Suryawinata dan Hariyanto (2003: 156-158):
1.
Penerjemah tidak boleh
menentukan langkahnya hanya untuk menerjemahkan kata per kata atau kalimat per
kalimat saja, tapi dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik
karya aslinya ataupun karya terjemahannya. Ini berarti penerjemah harus
menganggap naskah aslinya sebagai satu kesatuan unit yang integral, meskipun
saat menerjemahkannya ia mengerjakan bagian per bagian saja.
2.
Penerjemah hendaknya
menerjemahkan idiom menjadi idiom pula. Di sini harus diingat bahwa idiom dalam
BSu mungkin sekali mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata-kata yang
dipergunakan tidak sama persis. Misalnya idiom kambing hitam dalam
bahasa Indonesia mempunyai padanan scape
goat dalam bahasa Inggris dan bukan black goat.
3.
Penerjemah harus menerjamahkan
“maksud” menjadi “maksud” juga. Yang dimaksud dengan kata “maksud” di sini
menurut Belloc adalah muatan emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi
tertentu. Bisa saja muatan emosi dalam ekspresi BSu-nya lebih kuat daripada
muatan emosi dalam padanannya dalam BSa, atau ekspresi tertentu terasa pas
dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa, bila diterjemahkan secara literal.
Misalnya dalam teks BSu ada seorang suami yang memarahi dan mengomel pada
istrinya tanpa henti. Sang istri berkata pada sang suami, “John, please.” Bagaimana menerjemahkan ekspresi yang singkat ini?
Kita harus lihat dulu maksudnya. Si istri bermaksud meredakan amarah sang suami
dengan menyuruhnya menahan diri atau bersabar. Setelah mengetahui maksudnya,
mungkin akan lebih baik jika diterjemahkan menjadi, “John, sudahlah.” Akan
menjadi janggal dan bahkan lucu jika diterjemahkan menjadi “John, silakan.”
4.
Penerjemah harus waspada
terhadap kata-kata atau struktur yang kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi
sebenarnya sangat berbeda. Misalnya, kata map
dalam bahasa Inggris bukanlah “map” dalam bahasa Indonesia, tetapi peta. “Map”
dalam bahasa Indonesia padanannya adalah folder
dalam bahasa Inggris. Begitu pula dengan “fabric” yang bukan berarti pabrik,
tetapi serat kain maknanya.
5.
Penerjemah hendaknya berani
mengubah segala sesuatu yang perlu diubah dari BSu ke BSa dengan tegas. Lebih
jauh Belloc mengatakan bahwa inti dari suatu kegiatan menerjemahkan cerita
fiksi adalah kebangkitan kembali “jiwa asing” dalam “tubuh pribumi.” Tentu saja
yang dimaksud dengan “jiwa asing” adalah makna cerita dalam BSu dan “tubuh
pribumi” adalah bahasa sasarannya.
6.
Meskipun penerjemah harus
mengubah segala yang perlu diubah, tetapi pada lengkah keenam Belloc mengatakan
bahwa penerjemah tidak boleh membubuhi cerita aslinya dengan “hiasan-hiasan”
yang bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah sekalipun.
Tugas penerjemah adalah menghidupkan “jiwa asing” tadi, bukannya mempercantik
atau memperburuknya.
Menerjemahkan prosa, baik yang berbentuk cerpen maupun
novel, pada dasarnya sama dengan menerjemahkan teks yang lain.
langkah-langkahnya sama dengan yang telah digariskan oleh Nida dan Taber di
atas, yakni analisis, transfer, dan restrukturisasi. yang membedakannya adalah
bahwa kita selaku penerjemah harus benar-benar mengerti sastra sehingga dapat
menangkap amanat yang disampaikan oleh pengarang dan memerhatikan enam aturan
yang telah disebutkan di atas.
Bagaimana manifestasi dari enam aturan itu di atas dapat
dilihat pada contoh yang saya berikan di bagian lampiran. Contoh itu dicuplik
dari novel Mother of the Believers
karya Kamran Pasha yang saya terjemahkan menjadi Humaira, Ibunda Kaum Beriman
yang diterbitkan oleh penerbit Zaman (2010).
6.2
Menerjemahkan Puisi
Puisi adalah salah
satu jenis karya sastra yang memiliki keunikan tersendiri. Tidak saja, dari
segi bentuk, tapi juga bunyi-bunyi bahasa yang digunakan, ungkapan yang
dihasilkan, dan emosi yang dipancarkannya. Bentuk puisi yang hanya terdiri dari
larik-larik mungkin akan menimbulkan kesan bahwa menerjemahkannya lebih mudah
ketimbang prosa. Namun, sesungguhnya tidaklah semudah yang dibayangkan. Andre
Lefevere, sebagaimana dikutip oleh Bassnet (2002: 87), mengungkap bahwa ada
tujuh metode atau strategi menerjemahkan puisi, yakni:
1.
Phonemic translation, which attempts to reproduce the SL sound in the TL while at the same time producing an acceptable paraphrase of the sense. Lefevere comes to
the conclusion that although this works
moderately well in the translation of onomatopoeia, the overall result is clumsy and often devoid of sense altogether.
2.
Literal translation, where the emphasis on word-for-word translation distorts the sense and the syntax
of the original.
3.
Metrical translation, where the dominant criterion is the reproduction of the SL metre. Lefevere concludes that, like literal translation, this method concentrates
on one aspect of the SL text at the expense
of the text as a whole.
4.
Poetry into prose. Here Lefevere concludes that distortion of the sense, communicative value and syntax of the SL text results from this method, although not to the same
extent as with the literal or metrical
types of translation.
5.
Rhymed translation, where the translator ‘enters into a double bondage’ of metre and rhyme. Lefevere’s conclusions here are particularly harsh, since he feels that the
end product is merely a ‘caricature’ of Catullus.
6.
Blank verse translation. Again the restrictions imposed on the translator by the choice of structure are emphasized, although the greater accuracy and higher degree of
literalness obtained are also noted.
7.
Interpretation. Under this heading, Lefevere discusses what he calls versions
where the substance of the SL
text is retained but the form is changed,
and imitations where the translator produces a poem of his own which has ‘only title and
point of departure, if those,
in common with the source text’.
Masih ada
kernyit di kening kalian. Itu tandanya masih ada hambatan bahasa atau language barrier dalam memahami ketujuh
strategi itu. Tenang, pemahaman kalian akan terbantu dengan pemaparan dari
Suryawinata dan Hariyanto (2003: 160-161) berikut ini:
a. Terjemahan fonemik. Metode penerjemahan ini berusaha menciptakan
kembali suara dari BSu ke BSa dan dalam waktu bersamaan, penerjemah berusaha
mengalihkan makna puisi ke dalam BSa. Menurut kesimpulan Lefevere, meskipun
hasil penerjemahan metode ini cukup lumayan dalam hal penciptaan bunyi dalam BSa
yang sesuai dengan bunyi di dalam puisi asli, tetapi secara keseluruhan terasa
kaku dan sering kali menghilangkan makna puisi aslinya.
b. Terjemahan literal. Terjemahan dengan metode ini menekankan proses
penerjemahan dari kata ke kata dalam BSa. Kebanyakan terjemahan puisi dengan
metode ini betul-betul menghilangkan makna dalam puisi aslinya. Selain
menghilangkan makna, struktur frase dan kalimatnya akan melenceng jauh dari
struktur dalam BSa.
c. Terjemahan irama. Terjemahan irama adalah penerjemahan puisi dengan
penekanan utama pada pencarian atau pereproduksian irana atau matra puisi
aslinya dalam puisi hasil terjemahannya. Strategi terjemahan jenis ini biasanya
akan menghasilkan terjemahan yang mengacaukan makna dan juga
memporak-porandakan struktur BSa karena secara umum tiap-tiap bahasa mempunyai
sistem tekanan dalam pelafalan kata yang berbeda-beda.
d. Terjemahan puisi ke prosa. Dalam terjemahan dari puisi ke prosa ini
terdapat beberapa kelemahan, seperti hilangnya makna, musnahnya nilai
komunikatif antara penyair dan pembaca, serta yang paling kentara, hilangnya
pesona puisi aslinya yang telah dibangun dengan susah payah dari bahan-bahan
pilihan kata dan bunyi serta ungkapan-ungkapan tertentu.
e. Terjemahan bersajak. Dalam metode terjemahan ini, penerjemah
mengutamakan pemindahan rima akhir larik puisi aslinya ke dalam puisi
terjemahannya. Hasil terjemahan ini adalah sebuah terjemahan yang secara fisik
kelihatan sama, tetapi menilik maknanya, hasilnya tidak akan memuaskan.
f. Terjemahan puisi bebas. Dalam terjemahan dengan metode ini mungkin
penerjemah bisa mendapatkan ketepatan padanan kata dalam BSa dengan baik dan
kadar kesastraannya pun bisa dipertanggungjawabkan. Di lain pihak, masalah rima
dan irama dalam jenis terjemahan ini cenderung diabaikan. Dengan demikian,
secara fisik, mungkin puisi hasil terjemahan ini kelihatan berbeda dari puisi
aslinya, tetapi dalam hal makna, puisi ini terasa sama.
g. Interpretasi. Dalam jenis terjemahan interpretasi ini Lefevere
mengajukan dua jenis terjemahan yang masing-masing disebutnya versi dan imitasi. Suatu versi puisi dalam BSa mempunyai isi atau makna yang
sama bila dibandingkan dengan puisi aslinya dalam BSu tetapi bentuk “wadag”nya
telah berubah sama sekali. Sementara dalam imitasi, penerjemah betul-betul
telah menuliskan puisinya sendiri dengan judul dan topik serta titik tolak yang
sama dengan puisi aslinya.
Menerjemahkan
puisi tidaklah sama seperti menerjemahkan prosa. Bahkan, boleh dibilang tidak
lebih mudah. Langkah-langkah dalam menerjemahkan puisi pun sama dengan
langkah-langkah menerjemahkan prosa, yakni analisis, transfer, dan
restrukturisasi. Hanya saja, sebagai teks yang sangat khas, puisi haruslah
dipahami oleh orang yang benar-benar mengerti puisi sehingga pada saat
mengalihbahasakannya pesan-pesan yang diutarakan oleh sang penyair tidak
musnah. Oleh karenanya, dalam hemat saya, yang dapat, sanggup, dan boleh
menerjemahkan puisi adalah seorang penulis puisi juga.
Saat
menerjemahkan puisi, kita harus memilih satu dari tujuh strategi menerjemahkan
puisi yang telah dikemukakan. Perwujudan strategi penerjemahan puisi itu dapat
dilihat pada bagian lampiran. Di situ saya nukilkan beberapa puisi yang saya
terjemahkan dalam buku-buku terjemahan saya dan satu puisi yang diterjemahkan
oleh pujangga terbesar Indonesia, Chairil Anwar.
Lampiran
Lampiran 1: Terjemahan Novel Humaira: Ibunda Orang
Beriman (Zaman, 2010) karya Kamran Pasha
Teks Sumber (TSu):
PROLOGUE – THE BEGINNING OF THE END
In the Name of God, the Merciful, the Compassionate
What is faith?
It is a question I
have asked myself over the years, dear nephew, and I am no closer to the answer
now then I was when my hair was still crimson like the rising dawn, not the pale
silver of moonlight as it is today.
I write this for
you, because I know I am dying. I do not complain, for there are times I wished
I had died many years ago, or better yet, never have been born. My heart looks
at the trees, whose life consists of no more than dreams of the sun and
memories of the rain, and I envy them. There are times when I wish I were one
of the rocks that line the hills beyond Medina, ignored and forgotten by those
who tread upon them.
You will protest, I
am sure. How could I, Aisha the daughter of Abu Bakr, the most famed woman of
her time, wish to trade in my glorious memories for the sleep of the deaf and
the dumb of the earth? That is the tricky thing with memories, dear Abdallah,
son of my sister. They are like the wind. They come when they wish, and carry
with them both the hope of life and the danger of death. We cannot master them.
Nay, they are our masters, and rejoice in their capriciousness, carrying our
hearts with them wherever they wish.
And now they have taken me, against my will, to this
moment, where I sit in my tiny bedroom made of mud brick, only a few feet away
from the grave of my beloved, writing this tale. There is much I do not want to
recall, but my memories cry out to be recorded, so that they can live in the
memories of others when I am gone.
So I shall start at the beginning. At a time when one
world was dying, and another was about to be born. There is much glory in my
tale, much wonder, and a great deal of sorrow. It is a story that I hope you
will preserve and take with you to the farthest reaches of the Empire, so that
the daughters and granddaughters of those who are still being suckled today
will remember. Much of what I shall relate, I witnessed with my own eyes. The
rest I recount as it was recounted to me by those who were present.
It is a tale of great portent, and the bearer of my
words must shoulder a weighty burden before God and man. And of all those who dwell on earth, there is
none whom I can trust more than you, Abdallah, to carry my tale. In my days of honor and of disgrace, you have
stood by my side, more loyal than any son of my flesh could have been. I look upon your smiling face and see all
that I have gained and lost as a price of my destiny. A fate that was written in the ink of dreams
when I was still a child.
I was six years old when I married the Messenger of God,
although our union was not consummated until I began my cycles at the age of
nine. Over the years, I became aware that my youthful marriage was considered
shocking, even barbaric, by the haughty noblewomen of Persia and Byzantium,
although none would have dared to say so to my face. Of course, I am used to
the cruel whispers of the gossipmongers. More so than most women of my time, I
have been subjected to the hidden daggers of jealousy and rumor. Perhaps that
is to be expected. A price I must pay as the favorite wife of the most revered
and hated man the world has ever known.
Tell them,
Abdallah, that I loved Muhammad, may God’s blessings and peace be upon him, and
that he loved me, for all that I proved unworthy of it. Of the many twists and
turns that have guided the caravan of my life, there are none that I treasure
more than my ten years with him as his wife. Indeed, there are many days that I
wished I had died with him, that Gabriel would have taken my spirit with his
and I could have left this valley of tears for others to conquer. I torment
myself with the knowledge that many thousands would have lived had I simply
died that day. An army of believers who followed me to their doom. Good men,
who believed that I acted out of idealism rather than pride and a hidden lust
for revenge. Good men like your father. Had my soul departed along with the
Messenger, he and so many others would have lived.
But that was not my destiny.
My fate was to be the mother of a nation, even though my
womb has never borne a child of its own. A nation that was chosen by God to
change the world, to destroy iniquity, even as it is forever tempted to succumb
to it. A nation that defeated every adversary, despite all the forces of Earth
marshaled against it, and then became doomed to fight itself until the Day of
Resurrection. A nation, whose soul, like mine, is filled with God and yet
consumed with earthly passion. A nation that stands for victory and justice,
yet can never hide its own failures and cruelties against the terrible judgment
of The One.
This is my Ummah,
my nation, and I am its face, even though no man outside my family has looked
upon my face since I was a little girl.
I am the harbinger of joy and anger. The queen of love
and jealousy. The bearer of knowledge and the ultimate fool.
I am the Mother of the Believers and this is my tale.
Teks Sasaran (TSa):
PROLOG –AWAL DARI AKHIR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
Apakah keyakinan
itu?
Itu adalah
pertanyaan yang terus kutanyakan pada diriku sendiri selam bertahun-tahun,
keponakanku tersayang, dan aku belum menemukan jawabannya sejak rambutku masih
berwarna kemerahan bagai fajar yang merekah hingga kini berwarna keperakan
laksana cahaya rembulan.
Aku tuliskan ini
padamu karena aku tahu bahwa aku sedang sekarat. Aku tidak mengeluh karena ada
saatnya aku berharap aku mati bertahun-tahun yang lalu, atau bahkan tidak
pernah dilahirkan. Aku memandangi pepohonan yang hidupnya terdiri hanya dari
mimpi akan mentari dan kenangan akan hujan. Aku cemburu pada mereka. Ada
kalanya aku berharap aku adalah salah satu dari bebatuan yang berjejer di
bukit-bukit di luar Madinah yang diabaikan dan dilupakan oleh orang-orang yang
menginjak-injak mereka.
Kau pasti akan
protes, aku yakin itu. Bagaimana mungkin aku, Aisyah putri Abu Bakar, perempuan
paling terkenal di zamannya, berharap untuk menukarkan kenangan-kenanganku
dengan bumi yang tuli dan bisu? Itulah rumitnya kenangan keponakanku tersayang,
putra kakak perempuanku. Kenangan itu bagai angin. Mereka datang sekehendak
hati mereka dan membawa serta harapan bagi orang-orang yang masih hidup dan
bahaya bagi mereka yang sudah wafat. Kita tidak bisa menguasai mereka. Tidak,
merekalah yang menguasai kita dan gembira akan ketidaktetapan mereka, membawa
hati kita ke mana saja sekehendak mereka.
Dan kini mereka
membawa, meski tak aku hendaki, sampai pada saat ini di mana aku duduk menulis
kisah ini dalam kamarku yang sempit yang dibangun dari bata lumpur, hanya
berjarak beberapa kaki dari makam orang yang kucintai. Banyak hal yang tak
ingin kukenang, tapi kenanganku menjerit-jerit agar dicatat sehingga mereka
dapat hidup dalam kenangan orang lain saat aku sudah tiada.
Jadi aku akan mulai
dari permulaan. Di kala sebuah dunia sedang sekarat dan sebuah dunia lainnya
siap untuk dilahirkan. Terdapat banyak kejayaan dalam kisahku, banyak
kekaguman, dan sejumlah besar duka lara. Ini adalah kisah yang kuharap
kaulestarikan dan kau bawa hingga ujung-ujung wilayah Imperium supaya para anak
perempuan dan para cucu perempuan yang masih menyusui saat ini akan
mengenangnya. Banyak peristiwa dari yang akan kukisahkan, kusaksikan sendiri
dengan mata kepalaku. Lainnya aku kisahkan seperti yang diceritakan padaku oleh
orang lain yang juga turut menyaksikan berbagai peristiwa itu.
Ini adalah kisah
yang penuh pertanda dan pembawa kata-kataku ini harus menanggung beban yang
berat di hadapan Tuhan dan manusia. Dan dari sekian banyak penghuni bumi ini
tak ada yang lebih kupercayai selain dirimu, keponakanku tersayang, untuk
menyampaikan kisah ini. Di hari-hari saat aku dipuja dan dipermalukan, kau
membelaku, berdiri di sisiku, memihakku, lebih setia dari seorang putra kandung
yang bisa saja kumiliki. Aku melihat wajahmu yang senantiasa tersenyum dan
melihat semua yang telah kudapat dan kuhilangkan sebagai harga yang harus
kubayar atas takdirku. Sebuah wajah yang tertulis dengan tinta impian saat aku
masih bocah.
Usiaku baru enam
tahun saat aku dinikahkan dengan Rasulullah Saw, meski penyatuan kami belum
dilaksanakan hingga aku mulai haid di umur sembilan tahun. Bertahun-tahun
kemudian aku sadar bahwa pernikahan beliaku dianggap mengejutkan, bahkan
barbar, oleh para bangsawan perempuan dari Persia dan Bizantium yang congkak,
meski tak seorang pun yang berani mengungkapkannya secara langsung pada diriku.
Tentu saja aku sudah terbiasa dengan bisik-bisik dan desas-desus yang kejam.
Lebih dari sebagian besar wanita di zamanku, aku selalu menjadi sasaran belati
kecemburuan dan kabar burung yang tersembunyi. Barang kali itulah yang sudah
digariskan. Sebuah harga yang harus kubayar sebagai istri kesayangan orang yang
paling dipuja dan dibenci yang pernah diketahui dunia.
Beri tahu mereka,
Abdullah, bahwa aku mencintai Muhammad Saw dan beliau mencintaiku, walau
terbukti aku tak pantas untuk itu. Dari sekian banyak pasang surut bahtera
kehidupanku, tak ada yang paling kuanggap berharga selain sepuluh tahun bersama
beliau sebagai istrinya. Betul, ada saatnya aku berharap meninggal bersama
beliau, berharap agar Jibril mengambil jiwaku bersamanya dan aku dapat
meninggalkan lembah airmata ini untuk ditaklukkan orang lain. Aku siksa diriku
dengan mengetahui bahwa banyak orang yang akan hidup jika aku wafatr pada hari
itu. Sepasukan orang mukmin yang mengikutiku ke ajal mereka. Orang-orang baik
yang percaya bahwa aku bertindak berdasarkan idealisme dan bukannya kesombongan
dan hasrat tersembunyi untuk membalas dendam. Orang-orang baik seperti ayahmu.
Jika saja nyawa ikut diambil bersama Rasulullah, ayahmu dan banyak orang baik
lainnya akan tetap hidup.
Tapi itu bukanlah
takdirku.
Takdirku adalah
menjadi ibunda bagi sebuah bangsa, meski rahimku tak pernah melahirkan anakku
sendiri. Sebuah bangsa yang dipilih Tuhan untuk mengubah dunia, untuk
menghancurkan ketidakadilan, meski ketidakadilan itu berupaya mengalahkannya.
Sebuah bangsa yang menaklukkan setiap musuhnya, meski semua kekuatan di Dunia
bergabung untuk melawannya, lantas menjadi hancur dan berjuang bagi dirinya
sendiri di Hari Kebangkitan. Sebuah bangsa yang jiwanya, sama seperti jiwaku,
penuh dengan Tuhan, namun termakan oleh nafus duniawi. Sebuah bangsa yang
berdiri di atas kemenangan dan keadilan, tetapi tidak dapat menyembunyikan
kegagalan dan kekejamannya sendiri dari penghakiman Zat yang Maha Tunggal.
Inilah Ummah-ku, bangsaku, dan aku adalah
wajahnya meski tak seorang pria di luar keluargaku yang pernah memandang
wajahku sejak aku masih seorang gadis kecil.
Aku adalah penanda
akan kesenangan dan kemurkaan. Ratu dari cinta dan kecemburuan. Pembawa
pengetahuan dan orang yang benar-benar bodoh.
Aku adalah ibunda
kaum Mukminin dan ini adalah kisahku.
Lampiran 2: Terjemahan Puisi
Puisi 1
Sumber: Untold Stories:
Kisah-kisah yang Jarang Diungkap tentang Istri-istri Rasullah Saw (Kaysa
Media: 2011) buah karya Tamam Kahn. Buku ini tentang kehidupan istri-istri
Rasullah Saw dan ada beberapa bagian yang terdiri dari puisi.
TSu:
Galaxies
The desert stretches skyward.
Evening rolls down the sequence
of color to black.
Out past the tents, the faqiri moon,
a rim-slip of silver, sets.
Now the milky-way is everything —
Glisten is flung from there, out of the
pools
of paradise where the Mothers of Islam
bathe:
Amina, and Halima — the-wet-nurse
are first with splash and laughter;
then wives: Khadija and ‘A’isha;
Umm Habiba, Umm Salama, Sawda, Hafsa,
Rayhana,
Safiyya, Mariya, Zaynab, Juwayriyya. and
Maymuna —
daughters: Zaynab, Ruqayya, Umm Kulthum
and Fatima.
A shower of blessings to all!
Honored by the Prophet, each woman
a galaxy, a night breeze, a mysterious
pearl;
each one a solar system, complete in the
white
blaze of her name. They lighten the sky,
beauty-mark the heavens, and heighten my
astonishment
until I’m milk-marked and speechless.
They say:
Those earthly
years
we ringed ’round him,
held everything firm, as tent pegs do,
we kept him love-heavy;
husband, father, light-of-a-life-time.
We star in a thousand family stories.
Write them.
TSa:
Galaksi-galaksi
Gurun merentang
menuju angkasa.
Sore menggulung
rangkaian
warna menjadi
hitam.
Di luar tenda,
rembulan faqiri
melingkar perak
mulai terjaga.
Kini bima sakti
menjadi segalanya–
Kemilau terpancar
dari sana, keluar dari kolam
surga di mana para Ibunda
Islam membersihkan diri:
Aminah dan Halimah
–sang ibu menyusui
yang pertama
mencebur dan tergelak;
kemudian para
istri: Khadijah dan A’isyah;
Ummu Habibah, Ummu
Salamah, Saudah, Hafsah, Raihanah,
Safiyyah, Mariya,
Zainab, Juwairiyyah, dan Maimunah–
Lalu para putri:
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan
Fatimah.
Hujan rahmat
mengguyur mereka semua!
Dihormati oleh
Nabi, setiap wanita
adalah sebuah galaksi, suatu embusan angin malam, sebuah
mutiara nan misterius.
Tiap wanita adalah sistem tata surya yang lengkap
dalam kobaran cahaya putih namanya. Mereka terangi
langit, tandai jelita surga dan tinggikan heranku
sampai aku tak mampu bersuara. Mereka berkata:
di
tahun-tahun itu
kami
berada di sekitar beliau,
tegakkan
segalanya laksana pasak tenda,
kami
cintai beliau teramat;
suami,
ayah, cahaya zaman.
Kami
jadi gemintang dalam kisah ribuan keluarga.
Tuliskanlah
kisah-kisah itu.
Puisi 2
Sumber: Untold Stories:
Kisah-kisah yang Jarang Diungkap tentang Istri-istri Rasullah Saw (Kaysa
Media: 2011). Buku ini tentang kehidupan istri-istri Rasullah Saw dan ada
beberapa bagian yang terdiri dari puisi.
TSu:
On the Porch
Muhammad climbs to the porch and pulls
the ladder up.
He carries his gear, water skin, blanket,
tooth stick.
Below, where the women chatter,
relentless as cicadas,
caught in faction and backtalk, chit-chat
and story
telling, the place is struck with
unnatural quiet.
When will he come down? The wives are
waiting.
The first night, when he would have slept
with her,
Umm Salama sits in the dark, combs out
her thick braid
with lote-tree oil and gathers the hairs
from the comb one by one.
Juwayriyya’s night, she fasts and dreams
a feast,
blinks awake to the scratch of mattress
twigs, rubs at
the saliva mark on her pillow. By the
third night,
Umm Habiba is repeating God’s name,
when Mu‘ayza, Muhammad’s cat, climbs in
her lap
and begins purring. When she drifts off,
the cat nudges her awake.
The fourth night, Hafsa’s night, she
cries in her room.
Her harsh father shouts at her through
the window,
Serves you right if he jilts you.
On her night, Zaynab tends a sick bird
squeezing
drops of water into the open beak from
her knotted handkerchief.
All night she shelters the bird between
her breasts.
Nearly every night, ‘A’isha runs out to
the lava field. She hurries
through the reek of goats, her shawl
flapping.
When she reaches the well edge, she leans
over, screams
into stone darkness with the lost voice
of Sarah, of Hagar, of Mariam,
with the pain of all the women who love
the one
whose tongue and heart belong to God. On
the twenty-ninth day,
Muhammad comes
down from the porch.
TSa:
Di Dalam Beranda
Nabi Muhammad naik ke beranda dan menarik tangganya.
Beliau membawa perlengkapannya, tempat air minum,
selimut, dan siwaknya.
Di bawah, para istri berbincang, tanpa
henti laksana jangkrik
terbelah dalam kelompok dan percakapan, obrolan dan
dongeng, tempat itu dihantam keheningan yang tak alami.
Kapankah beliau akan turun? Para istri menunggu.
Di malam pertama di mana mestinya beliau tidur
bersamanya, Ummu Salamah duduk di dalam gelap, menyisir rambutnya yang tebal
yang dikepang dengan
minyak pohon lote
dan mengumpulkan rambutnya helai demi helai dari sisir.
Di malam giliran Juwairiyyah, dia berpuasa dan bermimpi
tentang pesta, dan terbangun karena tergores ranting ranjangnya. Di malam
ketiga
Ummu Habibah menyebut nama Allah berulang-ulang
ketika Mu’ayza, kucing peliharaan Nabi Saw, meloncat ke
pangkuannya dan mulai mendengkur. Ketika dia berguling, sentuhan kucing
membuatnya terjaga.
Malam keempat, malam giliran Hafsah, dia menangis di
kamarnya. Ayahnya yang galak berteriak padanya dari jendela, Rasakan kalau beliau memutuskan dirimu.
Di malam gilirannya, Zainab merawat seekor burung yang
sakit dengan teteskan air ke paruhnya dengan sapu tangannya. Sepanjang malam
dia
lindungi burung itu di dadanya.
Nyaris tiap malam A’isyah berlari ke arah padang lava.
Dia bergegas melewati kambing-kambing yang berbau busuk.
Selendangnya melambai-lambai. Ketika dia sampai di bibir
sumur, dia membungkuk dan berteriak
kepada batu-batu gelap dengan suara Sarah, Hajar, dan
Maria, dengan rasa sakit dari semua perempuan yang mencintai orang yang satu
yang
lidah dan hatinya milik Allah.
Di hari keduapuluh sembilan,
Nabi Muhammad turun dari serambi itu.
Puisi 3
Sumber: The Kingdom of Joy:
Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi karya Abdul Rahman Azzam (Hikmah,
2007). Buku ini merupakan buku tentang kisah-kisah sufistik yang ada dalam
kitab Matsnawi karya Jalaluddin Rumi,
seorang sufi yang juga penyair terbesar dunia. Di buku itu ada sebuah kisah
tentang seorang penyanyi yang dianugerahi Allah dengan suara yang teramat
merdu. Kemasyhuran pun menghampirinya. Dia terbuai oleh kejayaannya. Sibuk
bernyanyi, mengumpulkan kekayaan, dan bercinta dengan para wanita. Tidak satu
kali pun pernah ditunaikannya salat sebagai wujud syukur atas karunia yang
diberikan padanya. Tahun demi tahun berlalu dan ketenarannya mulai surut.
Suaranya berubah dari yang indah menjadi pecah. Parau bagai burung gagak yang
membuat telinga pekak. Di usianya yang ke-70 tahun dia hidup sendirian. Dia
bertobat dan tersungkur bersujud untuk pertama kali dalam hidupnya karena dia
tidak tahu bagaimana mendirikan salat yang benar. Dalam sujudnya dia gumamkan
ampunan yang puitis:
You gave me ample live,
And gave me ample time,
You were so kind to one
Who is so lowly, O God!
For seventy years I was rebellious here,
But You did not hold Your bounty for one day!
Today I cannot earn;
I am old. I am Your guest.
I’ll play the harp for You,
For I belong to You.
Yang saya terjemahkan menjadi:
Kau telah berikan daku kehidupan yang melimpah
Kau telah berikan daku waktu yang meruah
Kau begitu murah hati padaku diriku
Yang begitu amat rendah di hadapan-Mu Wahai Tuhanku!
Selama tujuh puluh tahun aku mengabaikan
Tapi tiada satu hari jua rahmat-Mu Kau tahan!
Kini aku tak bermampu
Aku menua. Aku menjadi tamu bagi-Mu
Akan kumainkan harpa untuk-Mu
Karena aku adalah milik-Mu
Puisi 3
Sumber: tulisan Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Menerjemahkan
Karya Sastra.” Puisi ini diterjemahkan oleh Chairil Anwar, pujangga besar
sastra Indonesia dari karya John Cornford, Poem
menjadi Huesca.
TSa:
Poem
Heart of the
heartless world,
Dear heart, the
thought of you
Is the pain at my
side,
The shadow that
chills my view.
The wind rises in
the evening,
Reminds that
autumn is near,
I am afraid to
lose you,
I am afraid of my
fear.
On the last mile
to Huesca
The last fence for
our pride
Think so kindly,
dear, that I
Sense you at my
side.
And if bad luck
should lay my strength
Into the shallow
grave
Remember all the
good you can:
Don’t forget my
love.
TSu:
Huesca
Jiwa adi dunia
yang hilang jiwa
Jiwa sayang,
kenangan padamu
Adalah derita di
sisiku,
Bayangan yang
bikin tinjauan beku
Angin bangkit
ketika senja,
Ngingatkan musim
gugur akan tiba,
Aku cemas bisa
kehilangan kau,
Aku cemas pada
kecemasanku.
Di batu
penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan
dari kebanggaan kita,
Kenanglah sayang,
dengan mesra
Kau bayangkan di
sisiku ada.
Dan jika untung
malang menghamparkan
Aku dalam kuburan
dangkal.
Ingatlah sebisamu
yang baik
Dan cintaku yang
kekal.
PUSTAKA ACUAN
Bassnet, Susan. 2002. Translation Studies 3rd Edition.
New York: Routledge.
Catford, J.C. 1965. A Linguistic
Theory of Translation. London: Oxford University
Press.
Hoed, Benny Hoedoro. 2006.
Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman
Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook
of Translation. New York: Prentice Hall.
Nida, Eugene A. and Charles R. Taber.
1974. The Theory and Practice ofTranslation. Leiden: E. J. Brill.
Suryawinata,
Zuchridin dan Sugeng Hariyanto. 2003. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun
Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius.
2 komentar:
Hai ka salam kenal. Nm sy Theresia. Mau bertanya, jika ingin menerjemahkan 1 cerita dari e-book ke b.Indo & di tulis diblog pribadi, itu harus izin dulu / boleh langsung kita tulis di blog kita? Mhn dijawab ya ka. Trims
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
Posting Komentar