Jahara, jahara!

Jahara, jahara!

Cerpenpen  Hilmi Akmal

“Aku tak mau kalau aku dimadu, pulangkan saja kepada orang tuaku,” nada sengau terdengar mengganggu diriku yang sedang asyik membaca koran Minggu. Ternyata suara itu berasal dari seorang transgender yang berdiri di depan rumah. Di tangan kanannya dia memegang kecrek-kecrek ala anak band berwarna merah jambu.

                “Maaf ya mas eh mbak eh enaknya dipanggil apa ya? Tau ah. Pokoknya maaf ya,” kataku sambil membuka koran menjadi lebar hingga pemandangan  di depan pagar rumahku menjadi terhalang.

                “Aku tak mau kalau aku dimadu, pulangkan saja ke rumah orang  tuaku,” transeksual itu terus saja bernyanyi dengan nada yang pasti bakal dicemooh oleh para juri acara pencari bakat di tivi. Volume suaranya semakin dikencangkan.

                Aku lipat koran. Awalnya hendak melemparkan tatapan terganggu sambil membelalakkan mata. Tapi, ternyata wadam itu semakin beraksi. Sambil terus melantunkan lagu, dia liuk-liukkan pinggulnya. Tak lupa dia goyang-goyangkan payudara artifisialnya yang menggelembung berkat silikon dengan gaya seperti penyanyi dangdut  yang terkenal dengan goyang menggiring bola basketnya.

                Aku jengah. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan uang padanya. Hitung-hitung amal, batinku berbisik.  Aku menuju kamar, meraih ke atas lemari, meraba-raba mencari tempat istriku mengumpulkan uang koin di wadah bekas minyak rambutku. Setelah ketemu kuperhatikan ada satu buah koin dalam kondisi yang sudah kumal. Koin itu sudah berlumur sesuatu yang berwarna hijau. Aku ambil koin itu dan bergegas kembali ke depan rumah.

                “Makasih ganteng,” kata si banci saat menerima uang koin dariku. “Ih gedong deh,” katanya lagi sambil tangannya menjulur ke depan menerobos sela-sela pagar besi, berusaha mencubit  diriku. Sontak aku mundur ke belakang  dan berbalik langsung masuk ke dalam, meski terbersit keinginan untuk menanyakan padanya apanya yang gedong dari diriku. Saat akan menutup pintu rumah, aku mendengarnya berteriak-teriak, “Ih jahara, jahara deh yey.” Aku tak peduli dan terus masuk ke rumah dan menemani anak-anakku yang sedang menonton kartun di tivi.

                Tak lama, istriku pulang dari pasar. “Mas, aku kok pusing. Mungkin masuk angin, kerokin dong,” katanya.

“Oke,” balasku.

Istriku pun masuk kamar. “Mas…” dia memanggil.

             “Kenapa?” 
             “Sini deh.”

Aku menghampirinya di kamar. Dia sudah siap. Dirinya hanya memakai sarung dan memegang minyak gosok. Tapi raut bingung terpasang di wajahnya.

“Ada apa?”

“Kok koin yang biasa buat kerokan gak ada?”

“Emang koinnya yang kayak mana?”

“Itu lho, koin seratus perak dari jaman dulu. Jaman waktu buat kita jajan dulu yang depannya gambar rumah gadang dan belakangnya gambar gunungan wayang.  Koin itu tipis, enak buat kerokan. “

Aku masih belum bisa mencerna ucapan istriku. “Ah pake bingung lagi. Itu lho koin yang warnanya udah jadi ijo karena keseringan kena minyak gosok,” kata istriku lagi.

Koin warna hijau? Jadi …

Bambu Apus, 23 September 2015.