just write

just write

Sekilas tentang Sastra dan Puisi

Rabu, 18 Maret 2015



Sekilas tentang Sastra dan Puisi[1]

Oleh Hilmi Akmal[2]

Bila politik bengkok, puisilah yang akan meluruskannya.
 –John  F. Kennedy

Sastra, Makhluk Apakah itu?
Jikalau Anda disuguhi pertanyaan pilih mendengarkan musik atau membaca sastra, saya yakin bahwa Anda akan tegas menjawab, “dengerin musik dong!” Bahkan bila Anda disodorkan pertanyaan apa itu sastra, mungkin Anda tidak langsung dapat menjawabnya dengan serta merta. Mungkin pula Anda akan menggaruk-garuk kepala Anda, meski tidak gatal, lalu mengangkat bahu dan menggelengkan kepala Anda sembari cengengesan. Tulisan ini dibuat untuk mengetahui apa itu sebenarnya sastra, terlebih puisi, secara amat ringkas. Tulisan ini mewujud karena, dalam pengamatan saya, masih ada orang yang belum memahami sastra itu apa. Dibanding musik, sastra kalah populer. Cobalah nyalakan televisi. Setiap kanal yang ada pasti punya program acara musik. Tapi pernahkah ada acara sastra? Sekali lagi kepala Anda pasti akan menggeleng.
Sastra seolah-olah adalah makhluk asing yang tak dikenal. Padahal, sastra sesungguhnya amat dekat dan lekat dengan kehidupan kita. Seorang ibu yang sedang bersenandung Keplok ami-ami/Walang kupu-kupu/Awan maem roti/Bengi mimik susu untuk anaknya sesungguhnya sedang berpuisi. Seorang ayah yang sedang mendongeng kepada buah hatinya sebenarnya sedang berprosa. Seorang pemuda yang sedang mati-matian merayu gadisnya, meyakinkannya bahwa dirinya tidak berselingkuh, sebetulnya sedang berdrama. Saking lekatnya dan dekatnya sastra dengan kehidupan membuat kita tak sadar bahwa sehari-hari kita sedang bersastra. Tetapi gambaran tadi belum dapat menjawab apa itu sastra secara definitif. Mengapa? Karena sesungguhnya tidaklah mungkin memberikan definisi sastra yang universal (van Luxemberg, Bal, dan Weststeijn, 1989: 9). Walaupun demikian, ada baiknya melongok beberapa definisi sastra yang diberikan oleh para penulis buku pengantar sastra.
            Teeuw (2003: 20-21) berpendapat bahwa sastra berpadanan dengan kata literature (bahasa Inggris), Literatur (bahasa Jerman), littérature (bahasa Perancis), literatuur (bahasa Belanda) yang semuanya berakar dari kata dalam bahasa Latin litteratura. Kata-kata tersebut umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis atau pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Kata sastra sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Akar kata sãs- berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Dengan demikian sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran.
            Wellek dan Warren (1995: 3) menyebut sastra sebagai suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Hampir senada, Semi (1988: 8) mendefinisikan sastra sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sudjiman (1990: 71) merumuskan sastra sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapan.
Dari definisi-definisi itu dapat ditarik sebuah simpulan, atau malah definisi yang baru, bahwa sastra adalah karya kreatif atau karya seni yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai ungkapannya tentang manusia dan kehidupannya secara artistik dan indah. Walaupun masih dapat diperdebatkan, setidaknya simpulan itu dapat menjawab pertanyaan apa itu sastra.
Berdasarkan bentuk penyampaiannya, sastra terbagi menjadi sastra lisan dan sastra tulisan. Adapun sastra yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sastra tertulis, bukan sastra lisan. Sastra yang hadir dan mewujud dalam teks. Secara garis besar sastra atau karya sastra dibagi menjadi tiga jenis atau genre, yaitu puisi, prosa, dan drama. Pada bagian berikut saya akan mengajak Anda melongok isi perut puisi, sedangkan jeroan prosa dan drama Insya Allah saya sampaikan di tulisan yang lain.                
Puisi itu Apa?
Di bagian awal saya sudah sebutkan bahwa seorang ibu yang tengah bersenandung Keplok ami-ami/Walang kupu-kupu/Awan maem roti/Bengi mimik susu untuk anaknya sebenarnya sedang berpuisi. Puisi sesungguhnya selalu hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Tanpa sadar, kita sering membuat ungkapan yang puitis seperti “buaya darat” untuk lelaki yang gemar merayu dan memikat perempuan atau “lintah darat” untuk orang yang suka meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher.
Akan tetapi, dari manakah sebenarnya kata puisi berasal? Menurut Aminuddin (2000: 134) kata puisi secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis ‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggris disebut dengan poem atau poetry. Puisi diartikan ‘membuat’ atau ‘pembuatan,’ masih menurut Aminuddin, karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Secara definitif, Sudjiman (1990: 64) mengartikan puisi sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Sementara itu Zaidan dan kawan-kawan (1994: 159-160) memberikan pengertian puisi agak lebih panjang. Menurut mereka puisi adalah (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, rima, dan tata puitika yang lain, (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus, dan (3) sajak.
Anasir-Anasir Pembangun Puisi
Sebuah bangunan tentunya memiliki unsur atau anasir yang membangunnya. Lalu, apakah ada anasir-anasir dalam suatu teks yang disebut puisi? Tentu saja ada anasir-anasir yang membangun sebuah puisi. Anasir-anasir itu adalah gaya bahasa metafora, simile, personifikasi, metonimi,  juga ada rima, repetisi, dan bentuk (Budianta, et.al. 2002: 40-43). Gaya-gaya bahasa itu yang paling sering digunakan oleh para penyair. Berikut ini adalah penjelasan dari anasir-anasir pembangun puisi itu.
Metafora adalah sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan, bukan harfiah, karena berfungsi menjelaskan sebuah konsep. Dengan demikian konsep tersebut menjadi lebih mudah dimengerti dan efeknya pun lebih kuat. Kata binatang jalang dalam puisi karya Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang) merupakan contoh metafora.
Selain metafora, ada gaya bahasa lain yang kurang lebih berfungsi sama. Gaya bahasa itu adalah simile, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, tetapi memiliki kesamaan-kesamaan tertentu dan biasanya disebut bersama-sama dalam suatu perbandingan. Kata-kata seperti, bak, bagai, dan ibarat selalu hadir untuk mendukung simile. Contohnya adalah “seringainya bak serigala” atau “dia bertingkah bagaikan seorang putri raja.”
Dalam puisi, benda-benda mati dan benda-benda alam dapat seolah-olah memiliki nyawa dan beraktivitas layaknya manusia. Gaya bahasa seperti itu disebut personifikasi. Nyiur melambai adalah misal dari personifikasi. Pohon nyiur yang merupakan benda alam seolah-olah adalah tangan manusia yang melambai-lambai.
Gaya bahasa yang menjadi anasir pembangun puisi lainnya adalah metonimi. Metonimi selalu memiliki hubungan dengan hal yang diwakilinya. Kalau ada yang bertutur, “Chairil Anwar banyak ditelaah orang,” yang dia maksud adalah menelaah karya-karya Chairil Anwar, bukan menelaah Chairil Anwar sebagai manusia. Hubungan yang ada dalam hal ini adalah hubungan karya dan penciptanya.
Selain gaya-gaya bahasa yang telah disebutkan, persamaan bunyi atau rima juga menjadi anasir pembangun puisi dan menjadi penanda kekhasan teks puisi. Contoh dari rima dapat kita lihat dalam dua bait pertama puisi karya Di DepanMu Aku Sirna Mendebu karya Budiman S. Hartoyo berikut ini (termaktub dalam Semi [1988: 250]):    

Di Depanmu Aku Sirna Mendebu
            Di depanMu aku sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mataMu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha

Semua berasal dari pribadiMu
Sumber dari segala apapun
Semua kembali ke alam ruhMu
Inti hakikat maha anggun

Bunyi /–bu/ pada akhir kata mendebu memiliki rima yang sama dengan kata mengabu. Juga bunyi /–a/ pada kata sempurna berima sama dengan kata maha. Demikian pula yang ada di bait kedua. Rima /–mu/ terdapat pada baris pertama dan ketiga. Dan bunyi /–un/ pada kata apapun terdapat pula rima di kata anggun.
Kadang kala bunyi atau kata-kata tertentu diulang beberapa kali untuk menegaskan makna. Hal inilah yang disebut dengan repetisi. Repetisi dapat dilihat dalam puisi Rakyat karya Hartoyo Andangjaya (termaktub dalam Semi [1988: 248-249]) berikut ini: 
           
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
                        di bumi tanah tercinta
                        jutaan tangan mengayun bersama
                        membuka hutan lalang menjadi ldang-ladang berbunga
                        mengepulkan asap dari cerobong-cerobong pabrik di kota
                        menaikkan layar menebarkan jala
                        meraba kelam di tambang logam dan batu bara
                        Rakyat ialah tangan yang bekerja

                        Rakyat ialah kita
                        otak yang menapak sepanjang jemari angka-angka
                        yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak di samping siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka.

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara benang menambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suar beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makan di wilayah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu yang berwarna coklat
di laut
angin yang menyapa kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wilayah semesta.
Rakyat adalah kita
Darah di tubuh bangsa
Debar sepanjang masa.      

            Dari seluruh anasir pembangun puisi, tentulah bentuk merupakan penanda puisi yang paling jelas. Bicara soal bentuk pastilah menyangkut tipografi dan enjambemen. Tipografi disebut juga ukiran bentuk. Dalam puisi tipografi diartikan sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk menghasilkan suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana (Semi 1988: 135). Berikut ini adalah beberapa amsal variasi tipografi puisi:
Kepada Anakku
Karya Sitor Situmorang
                        Hai, anakku jadilah tukang
                        Di waktu senggang jangan baca
                        Sajak-sajak petualang

                        Cintailah kerjamu
                        Lupakanlah kepedihan bapak
                        Tebusan duka ibu
                        Bila datang penyair
                        Jangan terima bertamu
                        Segala yang mengingatkan padamu
                        Usir

                        Bahagia
                        Hanya di hidup sederhana

                        Antara pagi kerja
                        Dan senja memuja
                        Kehidupan sederhana
                        Di tengah manusia kenal setia

Pot
Karya Sutardji Calzoum Bachri
                        Pot apa pot   itu   pot kaukah pot aku
                                             pot  pot  pot
                        yang jawab  pot  pot  pot   pot kaukah pot itu
                        yang jawab  pot  pot  pot   pot kaukah pot aku
                                             pot  pot  pot
                              potapa potitu potkaukah potaku?
                                                    POT
                                                                                                1970

            Yang dimaksud dengan enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya. Pemenggalan frase atau kalimat itu adalah untuk memberi tekanan pada bagian tertentu (Semi 1988: 142). Berikut ini adalah contoh-contoh enjambemen:  

Sajak Anak Muda
Karya W. S. Rendra
                        Kita adalah angkatan gagap
                        yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
                        Kita kurang pendidikan resmi
                        di dalam hal keadilan,
                        karena tidak diajarkan berpolitik,
                        dan tidak diajar dasar ilmu hukum.

                        Kita melihat kabur pribadi orang,
                        karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

                        Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,
                        karena tidak diajar filsafat atau logika.
                                        


Kututup Jendela
Karya Sitor Situmorang

                        Kututup jendela karena terlalu silau matanya.
                        Kulihat ia bernafas
                        dalam gelap. Sekira dapat lebih kukenal sedikit.

                        Pada suatu hari terik kami berlayar ke pulau.
                        Malamnya aku kembali. Siapa dapat mengatakan
                        padaku apakah ia telah kubunuh.

Aneka Ragam Puisi
            Setelah mengetahui anasir-anasir pembangun puisi, kini saya akan mengajak Anda untuk melihat aneka ragam puisi. Ada berapa ragam puisi? Tentunya pertanyaan itu terlintas dalam benak Anda. Menurut Budianta dan kawan-kawan (2002: 61-67) ada beberapa cara untuk menggolongkan ragam-ragam puisi, yakni dilihat dari (1) segi ungkapan, (2) segi bentuk, dan (3) segi isi.
            Dari segi ungkapan, puisi dapat digolongkan dalam puisi (a) lirik dan (b) epik. Puisi lirik banyak mengeksplorasi subjektivitas dan individualitas aku lirik. Puisi lirik, biasanya, lebih mengedepankan suasana daripada tema. Makna dalam puisi lirik sering kali perlu dipahami dalam kaitannya dengan suasana batin tertentu yang hendak dibangun daripada pesan-pesan moral. Contoh puisi lirik dapat dilihat berikut ini:

Padamu Jua
Karya Amir Hamzah
                        Habis kikis
                        Segala cintaku hilang terbang
                        Pulang kembali aku padamu
                        Seperti dahulu

                        Kaulah kandil kemerlap
                        Pelita jendela di malam gelap
                        Melambai pulang perlahan
                        Sabar, setia selalu
                       
                        Satu kekasihku
                        Aku manusia
                        Rindu rasa
                        Rindu rupa

                        Di mana engkau
                        Rupa tiada
                        Suara sayup
                        Hanya kata merangkai hati

                        Engkau cemburu
                        Engkau ganas
                        Mangsa aku dalam cakarmu
                        Bertukar tangkap dengan lepas

                        Nanar aku, gila sasar
                        Sayang berulang padamu jua
                        Engkau pelik menarik ingin
                        Serupa dara di balik tirai

                        Kasihmu sunyi
                        Menunggu sunyi
                        Menunggu seorang diri
                        Lalu waktu –bukan giliranmu
                        Mati hari –bukan kawanku

            Berbeda dengan puisi lirik, puisi epik banyak menggunakan kisahan dan lebih bergaya prosais sambil tetap mempertahankan unsur-unsur puitik yang umum dalam puisi. Oleh sebab itu epik atau epos sering disebut sebagai sajak naratif. Isi dari epik umumnya tentang petualangan atau perjalanan seorang tokoh atau pahlawan, serta berbagai perbuatan luhur yang dilakukannya. Beberapa bangsa memiliki epiknya sendiri-sendiri seperti Illiad dan Odyssey dari Yunani, Gilgamesh dari Persia, dan Ramayana dan Mahabharata dari India. Indonesia sendiri memiliki sebuah epik, yaitu La Galigo.
            Ada juga puisi naratif yang tidak menceritakan mengenai para satria dan pahlawan, tetapi mengisahkan riwayat orang-orang biasa. Puisi ini disebut balada. Di Indonesia W. S. Rendra adalah penyair yang banyak menghasilkan puisi balada. Di bawah ini salah satu misal dari karya pujangga yang berjuluk Si Burung Merak itu:

Balada Kasan dan Patima
                        Bila bulan limau retak
                        Merataplah Patima perawan tua.

                        Lari ke makam tanah mati
                        Buyar rambutnya sulur rimba
                        di tangan bara dan kemenyan.

                        Patima! Patima!
                        Susu dan mata padat sihir
                        lelaki muda sepikan pinangan
                        dipanasi ketakutan guna-guna

                        Patima! Patima!
                        ditebahnya gerbang makam
                        demi segala peri dan puntianak
                        diguncangnya segala tidur pepokok kemboja
                        dibangunkan segala arwah kubur-kubur rengkah
                        dan dengan suara segaib angin padang belantara
                        dilagukan masmur dan leher tembaga
                        mendukung muka kalap tengadah ke pusat kutuk:
                        –Duh, bulan limau emas, jejaka tampan
                        desak-desakkan wajahmu ke dadaku rindu
                        biar pupus dendam yang kukandung
                        panas bagai lahar, bagai ludah mentari.
                        – Patima yang celaka! Patima!
                        Duka apa, siksa apa?
                        – Peri-peri berapi, hantu-hantu kelabu
                        himpun kutuk, sihir dari angin parang telanjang
                        dan timpakan atas kepala Kasan!
                        – Akan rontok asam dan trembesi berkembang
                        kerna Kasan lelaki bagai lembu, bagai malam
                        dosa apa, laknat apa?
                        – Perihnya, perihnya! Luka mandi cuka
                        Kasan tinggalkan daku, meronta paksaku
                        terbawa bibirnya lapis daging segar mentah
                        penghisap kuat kembang gula perawan.

                        Dan angin berkata:
                        –Berlindung tudung senja mendung
                        berkendara pedati empat kuda
                        bersama anak bini ke barat
                        kota di tanah rendah
                        –Dan ditinggalkan daku bersama berahi putih
                        membelai kambing-kambing jantan di kandang.
                       
               
Dari segi bentuk, puisi dapat dibedakan menjadi puisi dengan bentuk terikat dan bentuk bebas. Puisi bentuk terikat ini oleh Semi (1988: 145) disebut juga dengan puisi tradisional. Yang termasuk dalam puisi bentuk tradisional adalah soneta, kwatrin, pantun, seloka, syair, dan gurindam.
            Soneta adalah puisi yang terdiri atas empat belas larik dengan pola rima tertentu. Ada tiga tipe utama soneta, yakni (a) soneta Petrarcha, (b) soneta Inggris, dan (c) soneta Italia (Zaidan, et.al, 1994: 191 dan Sudjiman, 1990: 24). Soneta Petrarcha terdiri atas dua oktaf berima a-b-b-a dan satu sekstet berima c-d-e c-d-e/c-d-c-d-c-d. Soneta Inggris terdiri terbagi menjadi (i) soneta Spencer yang terdiri atas tiga kwatren satu kuplet dengan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, e-e dan (ii) soneta Shakespeare dengan rima a-b-a-b, c-d-c-d, e-f-e-f, g-g. Soneta Italia terdiri atas satu oktaf dan satu sekstet dengan rima a-b-b-a-a-a-b-b-a, c-d-e-c-d-e atau a-b-b-a-a-b-b-a., c-d-c-d-d-c. Di Indonesia soneta populer di era Angkatan Pujangga Baru. Di bawah ini adalah contoh soneta karya Muhammad Yamin:

Gembala
                        Perasaan siapa tidakkan nyala
                        Melihat anak berlagu dendang
            Seorang sahaja di tengah padang
            Tiada berbaju buka kepala
           
            Beginilah nasib anak gembala
            Berteduh di bawah kayu nan rindang;
            Semenjak pagi meninggalkan kandang,
            Pulang ke rumah di senja-kala

            Jauh sedikit, sesayup sampai
            Terdengar olehku bunyi serunai
            Melagukan ‘alam, nan molek permai

            Wahai gembala di segara hijau
            Mendengar puputmu, menurutkan kerbau
            Maulah aku menurutkan dikau.

            Kwatrin adalah bentuk puisi yang hanya terdiri atas empat larik. Asal katanya dari bahasa Persia quatre yang artinya empat. Penulisan kwatrin telah berlangsung sangat lama. Kwatrin ditemukan dalam kesusastraan Sanskrit lama yang berlangsung sejak tahun 1500 SM. Kwatrin juga ditemukan dalam sastra Persia sekitar abad pertama Masehi. Di Persia kwatrin disebut dengan rubaiyat. Omar Khayam adalah penyair Persia yang menggubah rubaiyat atau kwatrin. Berikut ini adalah contoh dari rubaiyat Omar Khayam yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM:

                       
1.
                        Walau elok rupawan paras wajahku
                        Pipi misal tulip, bentuk ibarat pohon eru
                        Tak tahu mengapa Pelukis abadi mempesolekku
                        Cuma buat dipajang di kedai bumi berdebu

                        2.
                        Dia menciptaku dengan  wajah tersipu-sipu
                        Meniupkan ruh ke tubuhku berarti menumpuk kekeliruan
                        Dengan enggan aku berangkat, tetap tak tahu
                        Tujuan lahir, berada dan kembali pulang

                        3.
                        Baling-baling langit tak meraih pahala dengan datangku
                        Kedudukannya tak pula naik dengan pergiku
                        Pun tak kudengar jawaban terhadap hal ihwal ini
                        Mengapa aku datang ke sini, mengapa pergi

            Pantun merupakan puisi yang terdiri atas empat larik atau baris dengan rima a-b-a-b. Dua larik pertama disebut sampiran, sedangkan larik ketiga dan keempat disebut isi. Dua baris pertama tidak saling terkait dengan dua larik berikutnya, tetapi kedua pasangan larik itu terdapat hubungan bunyi yang erat. Dapat dibilang bahwa pantun adalah puisi asli melayu karena tak ada pengaruh Hindu atau Arab di dalamnya. Ada berbagai jenis pantun, yaitu pantun bersuka cita, pantun anak-anak, pantun adat, pantun berkasih-kasihan, dan pantun jenaka. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari pantun :

                        Asam manggis asam gelugur
                        Ketiga asam riang-riang
                        Menangis di pintu kubur
                        Teringat badan tidak sembahyang
                                                 ***
                        Singkarak kotanya tinggi
                        Asam pauh dari seberang
                        Awan berarak ditangisi
                        Badan jauh di rantau orang
***
                        Pisang emas dibawa berlayar
                        Masak sebiji di atas peti
                        Hutang emas boleh dibayar
                        Hutang budi dibawa mati.

            Seloka adalah puisi tradisional yang berkaitan dengan pantun. Sama seperti pantun, seloka juga terdiri atas empat larik dengan dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris terakhir sebagai isi. Bedanya adalah seloka berima a-a-a-a. Seloka disebut juga pantun berangkai dan diperkirakan berasal dari India karena dalam bahasa Sansekerta seloka disebut dengan cloka. Berikut ini adalah amsal dari seloka:

                        Ada seekor burung pelatuk
                        Cari makan di kayu buruk
                        Tuan umpama ayam pungguk
                        Segan mencakar rajin mematuk

            Semi (1988: 148) berpendapat bahwa seloka juga sama dengan pantun berantai atau pantun berkait. Pada seloka ini baris kedua pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua dan baris keempat pada bait pertama menjadi baris ketiga pada bait kedua. Agar lebih jelas perhatikan contoh dari seloka berikut ini:

                       
Bunga mawar cempaka biru
                        Bunga rampai di dalam puan
                        Tujuh malam semalam rindu
                        Belum sampai padamu tuan

                        Bunga rampai di dalam puan
            Ruku-ruku dari Peringgit
                        Belum sampai padamu tuan
                        Rindu saya bukan sedikit

                        Ruku-ruku dari Peringgit
                        Teras jati bertalam-talam
                        Rindu saya bukan sedikit
Nyaris mati semalam-malam

Teras jati bertalam-talam
Kapal berlabuh di lautan sisi
Nyaris mati semalam-malam
Bantal dipeluk saya tangisi.

            Syair adalah salah satu bentuk puisi tradisional tertua yang tumbuh dan berkembang setelah kedatangan agama Islam ke Indonesia. Asal kata syair adalah dari kata bahasa Arab syu’ur yang maknanya perasaan. Syair berisi tentang cerita yang mengandung unsur sejarah, agama, atau mitos. Setiap bait dalam syair terdiri atas empat larik dan berima a-a-a-a. Misal dari syair yang mengandung unsur agama dapat dilihat dalam Syair Perahu karya Hamzah Fansuri berikut ini:

Syair Perahu
                        Inilah gerangan suatu madah
                        Mengarangkan syair terlalu indah
                        Membetuli jalan tempat berpindah
                        Di sanalah iktikad diperbetuli sudah

                        Wahai muda kenali dirimu
                        Ialah perahu tamsil tubuhmu
                        Tidalah berapa lama hidupmu
                        Ke akhirat jua kekal diammu
                       
                        Wujud Allah nama perahunya
                        Ilmu Allah akan kurungnya
                        Iman Allah nama kemudinya
                        Yakin akan Allah nama pawangnya
                       
                        Taharat dan istinja’ nama lantainya
                        Kufur dan maksiat air ruangnya
                        Tawakkal akan Allah juru batunya
                        Tauhid itu akan sauhnya

                        La ilaha ‘il Allah akan talinya      
                        Kamal Allah akan tiangnya
Assalamu’alaikum akan tali lenggangnya
Taat dan ibadah anak dayungnya

Salawat akan nabi tali bubutannya
Istigfar Allah akan layarnya
Allahu Akbar nama anginnya
Subhanallah akan lajunya
                    
             
            Gurindam merupakan bentuk puisi tradisional yang mendapat pengaruh dari sastra Tamil. Gurindam terdiri atas dua larik dengan rima a-a. bait pertama merupakan sebab atau syarat dan bait kedua adalah akibat atau simpulan. Gurindam biasanya berisi nasihat. Gurindam yang paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Berikut adalah petikannya yang termuat dalam Hadi (1996: 240):

Gurindam I
                        Barang siapa tiada memegang agama
                        Sekali-kali tiada boleh dibilang nama

                        Barang siapa yang mengenal yang empat
                        Maka ia itulah orang yang ma’rifat

                        Barang siapa mengenal Allah
                        Suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

                        Barang siapa mengenal diri
                        Maka telah mengenal Tuhan yang bahri

                        Barang siapa mengenal dunia
                        Tahulah ia barang yang terperdaya
                       
                        Barang siapa mengenal akhirat
                        Tahulah ia dunia mudarat

            Sebenarnya masih ada satu bentuk “puisi” tradisonal yang belum disebutkan, yakni mantra. Mantra, yang dianggap sebagai puisi tradisional tertua, biasanya dituturkan oleh dukun atau pawang dalam ritual-ritual di masa lalu. Bahasa mantra sulit dipahami artinya, tapi ada efek magis bagi pendengarnya karena adanya pengulangan-pengulangan rima, kata, atau larik. Repetisi rima, kata, atau larik inilah yang menjadi ciri khas mantra. Dipercaya bahwa mantra dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mengusir roh halus yang jahat, memperlancar persalinan bagi wanita yang melahirkan, mengusir anjing galak, dan sebagainya. Berikut ini adalah mantra untuk mengusir anjing galak:

                        Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
            Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
                        Pulanglah engkau kepada gaung guntung,
            Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
            Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
                        Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering
            Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau. 

            Selain puisi tradisional atau puisi bentuk terikat, terdapat pula puisi modern atau puisi bentuk bebas. Dalam puisi bentuk modern tidak ada lagi keterikatan pada rima atau permainan bunyi kata seperti halnya pada puisi bentuk tradisional. Contoh puisi modern atau puisi bentuk bebas dapat dilihat pada puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono di bawah ini:

Mata Pisau
                        mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
                        kau yang baru saja mengasahnya
                        berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
                        yang tersedia di atas meja
                        sehabis makan malam;
                        ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.       

Juga puisi Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi hasil cipta Joko Pinurbo berikut ini:

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi
                       
sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan
                        mereka harus pergi cari kerja sendiri.

            Meskipun dalam puisi modern ada istilah bentuk bebas alias tidak terikat, ada kalanya suatu puisi hasil karya cipta seorang penyair masih memperlihatkan adanya pengaruh dari puisi bentuk tradisional. Amsalnya dapat kita lihat pada puisi bertajuk Mantera yang ditulis oleh Sutardji Calzoum Bahri berikut ini:

Mantera
            lima percik mawar
            tujuh sayap merpati
            sesayat langit perih
            dicabik puncak gunung
            sebelas duri sepi
            dalam dupa rupa
            tiga menyan luka
            mengasapi duka

            puah!
kau jadi Kau!
Kasihku   

            Dari judulnya saja sudah jelas bahwa pada puisi tersebut terdapat pengaruh dari mantra. Ada pula puisi yang terpengaruh bentuk pantun dan seloka seperti pada puisi Lagu Gadis Itali yang diciptakan oleh Sitor Situmorang di bawah ini:

Lagu Gadis Itali
Buat Silvana Maccari
                        Kerling danau di pagi hari
                        Lonceng gereja bukit Itali
                        Jika musimmu tiba nanti
                        Jemputlah abang di teluk Napoli

                        Kerling danau di pagi hari
                        Lonceng gereja bukit Itali
                        Sedari abang lalu pergi
                        Adik rindu setiap hari

                        Kerling danau di pagi hari
                        Lonceng gereja bukit Itali
                        Andai abang tak kembali
                        Adik menunggu sampai mati

                        Batu tandus di kebun anggur
                        Pasir teduh di bawah nyiur
                        Abang lenyap hatiku hancur
                        Mengejar bayang di salju gugur

            Seperti telah disebutkan di muka, selain dari segi ungkapan dan segi bentuk, puisi pun dapat digolongkan dari segi isinya. Ditinjau dari segi isi, puisi terbagi atas ode, epitaf, elegi, himne, epigram, pastoral atau idila, satire, dan parodi.
            Ode atau disebut juga oda adalah puisi yang berisi tentang pujian terhadap seseorang, hal, atau keadaan. Biasanya bertema dan membahas sesuatu yang mulia, seperti perasaan pribadi maupun peristiwa umum. Asal katanya adalah dari kata bahasa Yunani oide yang memiliki makna lagu atau syair. Berikut ini adalah contoh dari puisi ode karya Percy Bysshe Sheley yang termaktub dalam Samekto (1998:159):


Ode to the West Wind

                        O wild West Wind, thou breath of Autumn’s being,
                        Thou, from whose unseen presence the leaves dead
                        Are driven, like ghosts from an enchanter fleeing

                        Yellow, and black, and pale, and hectic red,
                        Pestilence—stricken multitudes: O thou,
                        Who chariotest to their dark wintry bed

                        The winged seed, where they lie cold and low,
                        Each like a corpse within its grave, until
                        Thine azure sister of the Spring shall blow

                        Her clarion o’er the dreaming earth, and fill
                        (Driving sweet birds like flocks to feed in air)
                        With living hues and odours plain and hill:

Wlid Spirit, which art moving everywhwere:
Destroyer and preserver; hear, oh hear!

            Epitaf adalah puisi yang berisi pujian atau kenangan bagi orang yang sudah meninggal dan biasanya diukir di batu nisan orang yang telah wafat itu. Selain pujian, epitaf dapat pula berisi tentang pesan atau ajaran moral yang dipetik dari pengalaman orang yang dikuburkan. Asal kata epitaf adalah epitaphion, sebuah kata bahasa Yunani yang artinya orasi saat pemakaman. Berikut adalah misal dari epitaf karya Francois Villon (termaktub dalam Budianta, et.al. [2002: 70]):
           
Tulisan di Nisan Villon

                        Saudaraku seumat yang hidup sesudah kami,
                        Jangan terhadap kami hatimu kau batukan,
                        Adapun, bila kau belasi kami yang malang ini,
                        Kau pun lantas saja diampuni oleh Tuhan.
                        Kau lihat kami lima-enam orang bergantungan;
                        Daging kami, terlalu kami padati dengan makanan,
                        Hampirlah busuk seluruhnya, hancur berantakan,
                        Lalu kami, kerangka, menjadi tepung dan debu.
                        Kami yang malang ini janganlah tertawakan,
                        Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan kamu.

            Elegi adalah puisi yang berisi ungkapan rasa duka cita atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau kehilangan sesuatu atau seseorang. Asal kata elegi adalah elegeia, sebuah kata dalam bahasa Yunani yang bermakna nyanyian duka lara. Misal dari puisi elegi yang juga disebut dengan puisi ratapan dapat dilihat di bawah ini:


Dagang
Karya Amir Hamzah

                        Susahnya untuk berdagang
                        Tiada tempat untuk mengadukan duka
                        Bundaku tuan selalu terpandang
                        Hendak berduka apatah daya
                        Terlihat-lihat bunda merenung
                        Rasa-rasa bunda mengeluh
                        Mengenangkan nasib tiada beruntung
                        Luka perceraian tidakkan sembuh.   

            Himne adalah puisi yang dinyanyikan yang berisi pujaan atau pemuliaan kepada Tuhan, pahlawan, atau tanah air. Puisi yang juga disebut dengan gita puja ini asal katanya adalah hymnos. Kata dalam bahasa Yunani itu maknanya adalah lagu yang anggun. Contoh dari himne adalah lagu-lagu seperti Ibu Kita Kartini, Garuda Pancasila, dan Padamu Negeri.
            Epigram adalah puisi yang isinya tentang ajaran kehidupan yang dinyatakan secara arif, ringkas, dan bernas. Kata epigramme, kata dalam bahasa Yunani yang artinya tulisan, adalah asal dari epigram. Umpama dari epigram adalah puisi karya Mansur Samin sebagai berikut:

Titik

                        Mencari titik
                        rebutlah satu lagu
                        Hidup
                        Mencari titik akhir
                        terimalah sebuah arti
                        Mati.

            Pastoral adalah puisi yang berisi tentang penggambaran kehidupan pedesaan yang tenteram dan damai, mengenai para penggembala dan para petani yang sedang menunaikan pekerjaan mereka. Secara etimologis kata pastoral berasal dari kata bahasa Latin, yaitu pastor yang artinya adalah gembala. Puisi yang senada dengan pastoral adalah puisi idila (idyll) yang juga menggambarkan suasana di pedesaan. Contoh dari puisi pastoral dapat dilihat pada puisi yang berjudul Gembala karya Muhammad Yamin yang telah disebutkan di atas.
            Satire adalah puisi yang isinya mengandung ejekan, sindiran, atau kritikan terhadap tingkah polah manusia atau kebobrokan pranata sosial. Contoh dari puisi ini dapat dilihat pada karya W.S. Rendra yang berjudul Sajak Gadis dan Majikan berikut:

Sajak Gadis dan Majikan

                        Janganlah tuan seenaknya memelukku,
                        Kemana arahnya, sudah cukup aku tahu
                        Aku bukan ahli menduga,
                        tetapi jelas sudah kutahu
                        pelukan ini apa artinya ………………

                        Siallah pendidikan yang aku terima.
                        Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing
                        kerapian, dan tatacara.
                        Tetapi lupa diajarkan :
                        bila dipeluk majikan dari belakang      
                        lalu sikapku bagaimana !

                        Janganlah tuan seenaknya memelukku.
                        Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.
                        Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,
                        Ketika tuan siku tetekku,
                        sudah kutahu apa artinya ………………..

                        Mereka ajarkan aku membenci dosa
                        tetapi lupa mereka ajarkan
                        bagaimana mencari kerja.
                        Mereka ajarkan aku gaya hidup
                        yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.
                        Diajarkan aku membutuhkan
                        peralatan yang dihasilkan para majikan,
                        dan dikuasai para majikan.
                        Alat-alat rias, mesin pendingin,
                        vitamin sintetis, tonikum,
                        segala macam soda, dan ijasah sekolah.
                        Pendidikan membuatku terikat
                        Pada pasar mereka, pada modal mereka.
                        Dan kini, setelah aku dewasa
                        kemana lagi aku ‘kan lari,
                        bila tidak ke dunia majikan ?

                        Janganlah tuan seenaknya memelukku.
                        Aku bukan cendikiawan
                        tetapi aku cukup tahu
                        semua kerja di mejaku
                        akan kesana arahnya.
                        Jangan tuan, jangan !
                        Jangan seenaknya memelukku !
                        Ah, Wah.
                        Uang yang tuan selipkan di behaku
Adalah ijasah pendidikanku.
Ah. Ya.
                        Begitulah.
                        Dengan yakin tuan memelukku,
                        Perut tuan yang buncit
                        menekan perutku.
                        Mulut tuan yang buruk
                        menciumi mulutku.    
                        Sebagai suatu kewajaran
                        semuanya tuan lakukan.
                        Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.
                        Mereka pegang kedua kakiku.
                        Mereka tarik pahaku mengangkang.
                        Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

            Parodi adalah puisi yang isinya tentang ejekan tetapi dimaksudkan untuk melucu atau mencemooh puisi yang sudah ada karya penyair terkemuka. Gaya dan bentuk puisi parodi meniru gaya dan bentuk puisi yang diparodikannya. Kata parodi sendiri berasal dari parodos, sebuah kata dari bahasa Yunani yang bermakna lagu tanggapan. Berikut ini adalah misal dari puisi parodi karya Yudhistira Ardinugraha yang menyindir W.S. Rendra:


Sajak Sepatu usang Si Billy Peronda

                        “Kelaparan adalah burung gagak yang buluhnya hitam (tentu
                        saja) karena ia tidak bisa terbang lagi dan jauh ke dalam got
                        kantor gubernuran!” teriaknya
                        (Si Billy mencopot sepatunya dan mengeluarkan tempe dari
                        dalamnya, lalu dimakan)
                        “Karena tak boleh memprotes, maka protes ini kutujukan
                        kepada pohon-pohon yang tumbang diSukabumi,
                        pada langit yang semakin mendung, kepada tembok-tembok
                        dan cacing-cacing!” teriaknya lagi.
                        (Si Billy mencopot sepatunya yangs ebelah kiri –tadi yang
                        sebelah kanan– dan mengeluarkan cabe dari dalamnya, lalu
                        dimakan)
                        “Malaikat penjaga firdaus, kutusuk selangkangmu dengan
                        pentungan karet ini!” teriaknya.
                        (Si Billy mengambil kedua sepatunya, lalu dimakan)
                        “Kelaparan adalah burung gagak yang mati diinjak sepatuku
                        yang kini jadi makananku!”
                        (Si Billy tak bisa berteriak lagi. Ia mabuk sepatu dan
                        klenger seumur hidupnya)

Mengingkari Sastra, Mengingkari Kemanusiaan
            Setelah membaca apa itu sastra dan apa itu puisi, yang membuncah dalam hati saya tak lain adalah harapan bahwa Anda akan memahami apa itu sastra, wa bil khusus apa itu puisi. Jika di awal tulisan saya ajukan pertanyaan ke Anda, kini di bagian pengkhatam ini kembali saya hidangkan pertanyaan, “Apakah Anda kini menyukai, bahkan mencintai, sastra?” atau “Apakah sekarang Anda sudah mau menulis karya sastra, khususnya puisi?”
            Jika Anda masih menggelengkan kepala Anda, saya hanya dapat menyayangkan sikap Anda tersebut dan memberi saran agar sebaiknya Anda berhenti mengaku-aku dan merasa sebagai manusia. Mengapa? Karena dengan menolak sastra, seperti tidak mau menyenanginya, membacanya, dan menuliskannya, Anda mengingkari kemanusiaan Anda. Dengan kata lain, Anda menolak disebut manusia. Sesungguhnya hanya manusialah yang bersastra karena pada dasarnya manusia menyukai keindahan. Rasa sukanya itu dituangkan dalam berbagai bentuk seni dan salah satunya adalah sastra. Boleh saja Anda merasa diri Anda modern, melengkapi diri dengan beraneka gawai yang canggih, dan berselancar setiap hari di dunia maya. Namun, bila Anda tidak mencintai sastra, Anda kalah dengan manusia paling primitif pun di muka bumi. Apa pasal? Karena seperti yang ditorehkan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia, di dalam salah satu mahakaryanya, Bumi Manusia (1980: 190): “Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.”
            Bila di mata kuliah lain sastra dianggap barang mati bagaikan seekor kodok yang siap dibelah untuk mengetahui apa saja jeroannya dengan menggunakan berbagai teori sebagai pisau analisisnya, maka di mata kuliah ini mari kita embuskan nyawa pada sastra. Jadikan ia hidup, bergerak, menari-nari. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menuliskannya. Karena saya percaya ada sastra berdenyut-denyut di nadi kalian. Ada puisi yang berdetak di jantung kalian. Ada kata-kata yang berdesir di darah kalian. Ia masih mendekam di diri kalian, menunggu untuk dikeluarkan. Keluarkanlah. Tuliskanlah. Jadilah manusia. Jadilah manusia yang bersastra. Jadilah man of letters.


Pustaka Acuan

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Budianta, Melani, Ida Sundari Husein, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. 2002.
            Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi).
            Magelang: Indonesiatera.
Hadi W.M., Abdul. 1996. Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Samekto. 1998. Ikhtisar Sejarah Kesusasteraan Inggris. Jakarta: Daya Widya.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Bandung: Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra
Van Luxemburg, Jan, Mieke Bal, dan Willem G. Westeijn (Penerjemah Dick Hartoko).
            1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin Warren (Penerjemah Melani Budianta). 1995. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaidan, Abdul Rojak, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah. 1994. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Balai Pustaka.


[1] Bahan kuliah Writing III Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi Linguistics and Literature Club, Rabu 25 April, 2012.
[2] Pensyarah, Penerjemah, dan Penyunting yang juga Penyair Kecil. Puisi-puisinya pernah dimuat di antologi  Empat Amanat Hujan: Bunga Rampai Puisi Panggung Sastra komunitas Dewan Kesenian Jakarta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) dan Jurnal Sajak Edisi 2 (Februari 2012).

0 komentar:

Posting Komentar