Sekilas tentang Sastra dan Puisi[1]
Oleh
Hilmi Akmal[2]
Bila politik bengkok,
puisilah yang akan meluruskannya.
–John
F. Kennedy
Sastra,
Makhluk Apakah itu?
Jikalau Anda
disuguhi pertanyaan pilih mendengarkan musik atau membaca sastra, saya yakin
bahwa Anda akan tegas menjawab, “dengerin
musik dong!” Bahkan bila Anda
disodorkan pertanyaan apa itu sastra, mungkin Anda tidak langsung dapat
menjawabnya dengan serta merta. Mungkin pula Anda akan menggaruk-garuk kepala
Anda, meski tidak gatal, lalu mengangkat bahu dan menggelengkan kepala Anda
sembari cengengesan. Tulisan ini dibuat untuk mengetahui apa itu sebenarnya
sastra, terlebih puisi, secara amat ringkas. Tulisan ini mewujud karena, dalam
pengamatan saya, masih ada orang yang belum memahami sastra itu apa. Dibanding
musik, sastra kalah populer. Cobalah nyalakan televisi. Setiap kanal yang ada
pasti punya program acara musik. Tapi pernahkah ada acara sastra? Sekali lagi
kepala Anda pasti akan menggeleng.
Sastra
seolah-olah adalah makhluk asing yang tak dikenal. Padahal, sastra sesungguhnya
amat dekat dan lekat dengan kehidupan kita. Seorang ibu yang sedang
bersenandung Keplok ami-ami/Walang kupu-kupu/Awan maem roti/Bengi mimik susu
untuk anaknya sesungguhnya sedang berpuisi. Seorang ayah yang sedang mendongeng
kepada buah hatinya sebenarnya sedang berprosa. Seorang pemuda yang sedang
mati-matian merayu gadisnya, meyakinkannya bahwa dirinya tidak berselingkuh,
sebetulnya sedang berdrama. Saking lekatnya dan dekatnya sastra dengan
kehidupan membuat kita tak sadar bahwa sehari-hari kita sedang bersastra. Tetapi
gambaran tadi belum dapat menjawab apa itu sastra secara definitif. Mengapa?
Karena sesungguhnya tidaklah mungkin memberikan definisi sastra yang universal
(van Luxemberg, Bal, dan Weststeijn, 1989: 9). Walaupun demikian, ada baiknya
melongok beberapa definisi sastra yang diberikan oleh para penulis buku
pengantar sastra.
Teeuw (2003: 20-21) berpendapat bahwa sastra
berpadanan dengan kata literature (bahasa Inggris), Literatur
(bahasa Jerman), littérature (bahasa Perancis), literatuur
(bahasa Belanda) yang semuanya berakar dari kata dalam bahasa Latin litteratura.
Kata-kata tersebut umumnya berarti segala sesuatu yang tertulis atau pemakaian
bahasa dalam bentuk tertulis. Kata sastra sendiri dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Sansekerta. Akar kata sãs- berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Akhiran -tra biasanya
menunjukkan alat atau sarana. Dengan demikian sastra dapat berarti alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran.
Wellek
dan Warren (1995: 3) menyebut sastra sebagai suatu kegiatan kreatif, sebuah
karya seni. Hampir senada, Semi (1988: 8) mendefinisikan sastra sebagai suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya
dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sudjiman (1990: 71) merumuskan
sastra sebagai karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan
seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapan.
Dari
definisi-definisi itu dapat ditarik sebuah simpulan, atau malah definisi yang
baru, bahwa sastra adalah karya kreatif atau karya seni yang menggunakan
bahasa, baik lisan maupun tulisan, sebagai ungkapannya tentang manusia dan
kehidupannya secara artistik dan indah. Walaupun masih dapat diperdebatkan,
setidaknya simpulan itu dapat menjawab pertanyaan apa itu sastra.
Berdasarkan
bentuk penyampaiannya, sastra terbagi menjadi sastra lisan dan sastra tulisan.
Adapun sastra yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sastra tertulis, bukan
sastra lisan. Sastra yang hadir dan mewujud dalam teks. Secara garis besar
sastra atau karya sastra dibagi menjadi tiga jenis atau genre, yaitu puisi,
prosa, dan drama. Pada bagian berikut saya akan mengajak Anda melongok isi
perut puisi, sedangkan jeroan prosa dan drama Insya Allah saya sampaikan di
tulisan yang lain.
Puisi
itu Apa?
Di bagian
awal saya sudah sebutkan bahwa seorang ibu yang tengah bersenandung Keplok
ami-ami/Walang kupu-kupu/Awan maem roti/Bengi mimik susu untuk anaknya
sebenarnya sedang berpuisi. Puisi sesungguhnya selalu hadir dalam kehidupan
kita sehari-hari. Tanpa sadar, kita sering membuat ungkapan yang puitis seperti
“buaya darat” untuk lelaki yang gemar merayu dan memikat perempuan atau “lintah
darat” untuk orang yang suka meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher.
Akan tetapi,
dari manakah sebenarnya kata puisi berasal? Menurut Aminuddin (2000: 134) kata puisi
secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani poeima ‘membuat’ atau poeisis
‘pembuatan’. Dalam bahasa Inggris disebut dengan poem atau poetry.
Puisi diartikan ‘membuat’ atau ‘pembuatan,’ masih menurut Aminuddin, karena
lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia tersendiri yang
mungkin berisi pesan atau gambaran suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun
batiniah.
Secara
definitif, Sudjiman (1990: 64) mengartikan puisi sebagai ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.
Sementara itu Zaidan dan kawan-kawan (1994: 159-160) memberikan pengertian
puisi agak lebih panjang. Menurut mereka puisi adalah (1) ragam sastra yang
bahasanya terikat oleh irama, rima, dan tata puitika yang lain, (2) gubahan
dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga
mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus
lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus, dan (3) sajak.
Anasir-Anasir
Pembangun Puisi
Sebuah
bangunan tentunya memiliki unsur atau anasir yang membangunnya. Lalu, apakah
ada anasir-anasir dalam suatu teks yang disebut puisi? Tentu saja ada
anasir-anasir yang membangun sebuah puisi. Anasir-anasir itu adalah gaya bahasa
metafora, simile, personifikasi, metonimi,
juga ada rima, repetisi, dan bentuk (Budianta, et.al. 2002: 40-43).
Gaya-gaya bahasa itu yang paling sering digunakan oleh para penyair. Berikut
ini adalah penjelasan dari anasir-anasir pembangun puisi itu.
Metafora adalah sebuah kata atau
ungkapan yang maknanya bersifat kiasan, bukan harfiah, karena berfungsi
menjelaskan sebuah konsep. Dengan demikian konsep tersebut menjadi lebih mudah
dimengerti dan efeknya pun lebih kuat. Kata binatang
jalang dalam puisi karya Chairil Anwar (Aku ini binatang jalang) merupakan
contoh metafora.
Selain
metafora, ada gaya bahasa lain yang kurang lebih berfungsi sama. Gaya bahasa
itu adalah simile, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain,
tetapi memiliki kesamaan-kesamaan tertentu dan biasanya disebut bersama-sama
dalam suatu perbandingan. Kata-kata seperti,
bak, bagai, dan ibarat selalu hadir
untuk mendukung simile. Contohnya adalah “seringainya bak serigala” atau “dia
bertingkah bagaikan seorang putri raja.”
Dalam puisi,
benda-benda mati dan benda-benda alam dapat seolah-olah memiliki nyawa dan
beraktivitas layaknya manusia. Gaya bahasa seperti itu disebut personifikasi.
Nyiur melambai adalah misal dari
personifikasi. Pohon nyiur yang merupakan benda alam seolah-olah adalah tangan
manusia yang melambai-lambai.
Gaya bahasa
yang menjadi anasir pembangun puisi lainnya adalah metonimi. Metonimi
selalu memiliki hubungan dengan hal yang diwakilinya. Kalau ada yang bertutur,
“Chairil Anwar banyak ditelaah orang,” yang dia maksud adalah menelaah
karya-karya Chairil Anwar, bukan menelaah Chairil Anwar sebagai manusia.
Hubungan yang ada dalam hal ini adalah hubungan karya dan penciptanya.
Selain
gaya-gaya bahasa yang telah disebutkan, persamaan bunyi atau rima juga
menjadi anasir pembangun puisi dan menjadi penanda kekhasan teks puisi. Contoh
dari rima dapat kita lihat dalam dua bait pertama puisi karya Di DepanMu Aku
Sirna Mendebu karya Budiman S. Hartoyo berikut ini (termaktub dalam Semi
[1988: 250]):
Di
Depanmu Aku Sirna Mendebu
Di
depanMu aku sirna mendebu
Engkaulah segalanya, kekekalan sempurna
Di mataMu semesta lenyap mengabu
Engkaulah yang abadi, serba dan maha
Semua berasal dari pribadiMu
Sumber dari segala apapun
Semua kembali ke alam ruhMu
Inti hakikat maha anggun
Bunyi /–bu/
pada akhir kata mendebu memiliki rima yang sama dengan kata mengabu.
Juga bunyi /–a/ pada kata sempurna berima sama dengan kata maha.
Demikian pula yang ada di bait kedua. Rima /–mu/ terdapat pada baris pertama
dan ketiga. Dan bunyi /–un/ pada kata apapun terdapat pula rima di kata anggun.
Kadang kala
bunyi atau kata-kata tertentu diulang beberapa kali untuk menegaskan makna. Hal
inilah yang disebut dengan repetisi. Repetisi dapat dilihat dalam puisi Rakyat
karya Hartoyo Andangjaya (termaktub dalam Semi [1988: 248-249]) berikut
ini:
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di
bumi tanah tercinta
jutaan tangan mengayun
bersama
membuka hutan lalang
menjadi ldang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari
cerobong-cerobong pabrik di kota
menaikkan layar
menebarkan jala
meraba kelam di tambang
logam dan batu bara
Rakyat ialah tangan yang
bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak
sepanjang jemari angka-angka
yang selalu berkata dua
adalah dua
yang bergerak di samping siur garis
niaga
Rakyat ialah otak yang menulis
angka-angka.
Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang
bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara benang menambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suar beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makan di wilayah semesta
di darat
hari yang berkeringat
gunung batu yang berwarna coklat
di laut
angin yang menyapa kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wilayah semesta.
Rakyat adalah kita
Darah di tubuh bangsa
Debar sepanjang masa.
Dari seluruh anasir
pembangun puisi, tentulah bentuk merupakan penanda puisi yang paling
jelas. Bicara soal bentuk pastilah menyangkut tipografi dan enjambemen.
Tipografi disebut juga ukiran bentuk. Dalam puisi tipografi diartikan
sebagai tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi untuk menghasilkan
suatu bentuk fisik yang mampu mendukung isi, rasa, dan suasana (Semi 1988:
135). Berikut ini adalah beberapa amsal variasi tipografi puisi:
Kepada
Anakku
Karya
Sitor Situmorang
Hai, anakku jadilah
tukang
Di waktu senggang jangan
baca
Sajak-sajak petualang
Cintailah kerjamu
Lupakanlah kepedihan
bapak
Tebusan duka ibu
Bila datang penyair
Jangan terima bertamu
Segala yang mengingatkan
padamu
Usir
Bahagia
Hanya di hidup sederhana
Antara pagi kerja
Dan senja memuja
Kehidupan sederhana
Di tengah manusia kenal
setia
Pot
Karya
Sutardji Calzoum Bachri
Pot apa pot itu
pot kaukah pot aku
pot
pot pot
yang jawab pot
pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot
pot pot pot kaukah pot aku
pot
pot pot
potapa potitu potkaukah potaku?
POT
1970
Yang dimaksud dengan enjambemen
adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir larik kemudian meletakkan
potongan itu pada awal larik berikutnya. Pemenggalan frase atau kalimat itu
adalah untuk memberi tekanan pada bagian tertentu (Semi 1988: 142). Berikut ini
adalah contoh-contoh enjambemen:
Sajak
Anak Muda
Karya
W. S. Rendra
Kita adalah angkatan
gagap
yang diperanakkan oleh
angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan
resmi
di dalam hal keadilan,
karena tidak diajarkan
berpolitik,
dan tidak diajar dasar
ilmu hukum.
Kita melihat kabur
pribadi orang,
karena tidak diajarkan
kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita tidak mengerti
uraian pikiran lurus,
karena tidak diajar
filsafat atau logika.
…
Kututup
Jendela
Karya
Sitor Situmorang
Kututup jendela karena
terlalu silau matanya.
Kulihat ia bernafas
dalam gelap. Sekira
dapat lebih kukenal sedikit.
Pada suatu hari terik
kami berlayar ke pulau.
Malamnya aku kembali.
Siapa dapat mengatakan
padaku apakah ia telah
kubunuh.
Aneka
Ragam Puisi
Setelah mengetahui anasir-anasir pembangun puisi, kini
saya akan mengajak Anda untuk melihat aneka ragam puisi. Ada berapa ragam puisi?
Tentunya pertanyaan itu terlintas dalam benak Anda. Menurut Budianta dan
kawan-kawan (2002: 61-67) ada beberapa cara untuk menggolongkan ragam-ragam
puisi, yakni dilihat dari (1) segi ungkapan, (2) segi bentuk, dan (3) segi isi.
Dari segi ungkapan, puisi dapat digolongkan dalam puisi
(a) lirik dan (b) epik. Puisi lirik banyak mengeksplorasi subjektivitas
dan individualitas aku lirik. Puisi lirik, biasanya, lebih mengedepankan
suasana daripada tema. Makna dalam puisi lirik sering kali perlu dipahami dalam
kaitannya dengan suasana batin tertentu yang hendak dibangun daripada
pesan-pesan moral. Contoh puisi lirik dapat dilihat berikut ini:
Padamu
Jua
Karya
Amir Hamzah
Habis kikis
Segala cintaku hilang
terbang
Pulang kembali aku
padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam
gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai
hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan
lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu
jua
Engkau pelik menarik
ingin
Serupa dara di balik
tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu –bukan
giliranmu
Mati hari –bukan kawanku
Berbeda dengan puisi lirik, puisi epik banyak
menggunakan kisahan dan lebih bergaya prosais sambil tetap mempertahankan
unsur-unsur puitik yang umum dalam puisi. Oleh sebab itu epik atau epos sering
disebut sebagai sajak naratif. Isi dari epik umumnya tentang petualangan atau
perjalanan seorang tokoh atau pahlawan, serta berbagai perbuatan luhur yang
dilakukannya. Beberapa bangsa memiliki epiknya sendiri-sendiri seperti Illiad
dan Odyssey dari Yunani, Gilgamesh dari Persia, dan Ramayana
dan Mahabharata dari India. Indonesia sendiri memiliki sebuah epik,
yaitu La Galigo.
Ada juga puisi naratif yang tidak menceritakan mengenai
para satria dan pahlawan, tetapi mengisahkan riwayat orang-orang biasa. Puisi ini
disebut balada. Di Indonesia W. S. Rendra adalah penyair yang banyak
menghasilkan puisi balada. Di bawah ini salah satu misal dari karya pujangga
yang berjuluk Si Burung Merak itu:
Balada
Kasan dan Patima
Bila bulan limau retak
Merataplah Patima perawan
tua.
Lari ke makam tanah mati
Buyar rambutnya sulur
rimba
di tangan bara dan
kemenyan.
Patima! Patima!
Susu dan mata padat
sihir
lelaki muda sepikan
pinangan
dipanasi ketakutan
guna-guna
Patima! Patima!
ditebahnya gerbang makam
demi segala peri dan
puntianak
diguncangnya segala
tidur pepokok kemboja
dibangunkan segala arwah
kubur-kubur rengkah
dan dengan suara segaib
angin padang belantara
dilagukan masmur dan
leher tembaga
mendukung muka kalap
tengadah ke pusat kutuk:
–Duh, bulan limau emas,
jejaka tampan
desak-desakkan wajahmu
ke dadaku rindu
biar pupus dendam yang
kukandung
panas bagai lahar, bagai
ludah mentari.
– Patima yang celaka!
Patima!
Duka apa, siksa apa?
– Peri-peri berapi,
hantu-hantu kelabu
himpun kutuk, sihir dari
angin parang telanjang
dan timpakan atas kepala
Kasan!
– Akan rontok asam dan
trembesi berkembang
kerna Kasan lelaki bagai
lembu, bagai malam
dosa apa, laknat apa?
– Perihnya, perihnya!
Luka mandi cuka
Kasan tinggalkan daku,
meronta paksaku
terbawa bibirnya lapis
daging segar mentah
penghisap kuat kembang
gula perawan.
Dan angin berkata:
–Berlindung tudung senja
mendung
berkendara pedati empat
kuda
bersama anak bini ke
barat
kota di tanah rendah
–Dan ditinggalkan daku
bersama berahi putih
membelai kambing-kambing
jantan di kandang.
…
Dari segi bentuk, puisi dapat
dibedakan menjadi puisi dengan bentuk terikat dan bentuk bebas. Puisi bentuk
terikat ini oleh Semi (1988: 145) disebut juga dengan puisi tradisional. Yang
termasuk dalam puisi bentuk tradisional adalah soneta, kwatrin, pantun, seloka,
syair, dan gurindam.
Soneta adalah puisi yang terdiri atas empat belas
larik dengan pola rima tertentu. Ada tiga tipe utama soneta, yakni (a) soneta
Petrarcha, (b) soneta Inggris, dan (c) soneta Italia (Zaidan, et.al, 1994: 191 dan Sudjiman, 1990:
24). Soneta Petrarcha terdiri atas dua oktaf berima a-b-b-a dan satu sekstet
berima c-d-e c-d-e/c-d-c-d-c-d. Soneta Inggris terdiri terbagi menjadi (i)
soneta Spencer yang terdiri atas tiga kwatren satu kuplet dengan rima a-b-a-b,
b-c-b-c, c-d-c-d, e-e dan (ii) soneta Shakespeare dengan rima a-b-a-b, c-d-c-d,
e-f-e-f, g-g. Soneta Italia terdiri atas satu oktaf dan satu sekstet dengan
rima a-b-b-a-a-a-b-b-a, c-d-e-c-d-e atau a-b-b-a-a-b-b-a., c-d-c-d-d-c. Di
Indonesia soneta populer di era Angkatan Pujangga Baru. Di bawah ini adalah
contoh soneta karya Muhammad Yamin:
Gembala
Perasaan siapa tidakkan
nyala
Melihat anak berlagu
dendang
Seorang
sahaja di tengah padang
Tiada
berbaju buka kepala
Beginilah
nasib anak gembala
Berteduh
di bawah kayu nan rindang;
Semenjak
pagi meninggalkan kandang,
Pulang
ke rumah di senja-kala
Jauh
sedikit, sesayup sampai
Terdengar
olehku bunyi serunai
Melagukan
‘alam, nan molek permai
Wahai
gembala di segara hijau
Mendengar
puputmu, menurutkan kerbau
Maulah
aku menurutkan dikau.
Kwatrin adalah bentuk puisi yang hanya terdiri
atas empat larik. Asal katanya dari bahasa Persia quatre yang artinya
empat. Penulisan kwatrin telah berlangsung sangat lama. Kwatrin ditemukan dalam
kesusastraan Sanskrit lama yang berlangsung sejak tahun 1500 SM. Kwatrin juga
ditemukan dalam sastra Persia sekitar abad pertama Masehi. Di Persia kwatrin
disebut dengan rubaiyat. Omar Khayam adalah penyair Persia yang
menggubah rubaiyat atau kwatrin. Berikut ini adalah contoh dari rubaiyat Omar
Khayam yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi WM:
1.
Walau elok rupawan paras
wajahku
Pipi misal tulip, bentuk
ibarat pohon eru
Tak tahu mengapa Pelukis
abadi mempesolekku
Cuma buat dipajang di
kedai bumi berdebu
2.
Dia menciptaku
dengan wajah tersipu-sipu
Meniupkan ruh ke tubuhku
berarti menumpuk kekeliruan
Dengan enggan aku
berangkat, tetap tak tahu
Tujuan lahir, berada dan
kembali pulang
3.
Baling-baling langit tak
meraih pahala dengan datangku
Kedudukannya tak pula
naik dengan pergiku
Pun tak kudengar jawaban
terhadap hal ihwal ini
Mengapa aku datang ke
sini, mengapa pergi
Pantun merupakan puisi yang
terdiri atas empat larik atau baris dengan rima a-b-a-b. Dua larik pertama
disebut sampiran, sedangkan larik ketiga dan keempat disebut isi.
Dua baris pertama tidak saling terkait dengan dua larik berikutnya, tetapi
kedua pasangan larik itu terdapat hubungan bunyi yang erat. Dapat dibilang
bahwa pantun adalah puisi asli melayu karena tak ada pengaruh Hindu atau Arab
di dalamnya. Ada
berbagai jenis pantun, yaitu pantun bersuka cita, pantun anak-anak, pantun
adat, pantun berkasih-kasihan, dan pantun jenaka. Di bawah ini adalah beberapa
contoh dari pantun :
Asam manggis asam gelugur
Ketiga asam riang-riang
Menangis di pintu kubur
Teringat badan tidak
sembahyang
***
Singkarak kotanya tinggi
Asam pauh dari seberang
Awan berarak ditangisi
Badan jauh di rantau
orang
***
Pisang emas dibawa
berlayar
Masak sebiji di atas
peti
Hutang emas boleh
dibayar
Hutang budi dibawa mati.
Seloka adalah puisi tradisional
yang berkaitan dengan pantun. Sama seperti pantun, seloka juga terdiri atas
empat larik dengan dua baris pertama sebagai sampiran dan dua baris terakhir
sebagai isi. Bedanya adalah seloka berima a-a-a-a. Seloka disebut juga pantun
berangkai dan diperkirakan berasal dari India karena dalam bahasa Sansekerta
seloka disebut dengan cloka. Berikut ini adalah amsal dari seloka:
Ada
seekor burung pelatuk
Cari makan di kayu buruk
Tuan umpama ayam pungguk
Segan mencakar rajin
mematuk
Semi (1988: 148)
berpendapat bahwa seloka juga sama dengan pantun berantai atau pantun berkait.
Pada seloka ini baris kedua pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait
kedua dan baris keempat pada bait pertama menjadi baris ketiga pada bait kedua.
Agar lebih jelas perhatikan contoh dari seloka berikut ini:
Bunga mawar cempaka biru
Bunga rampai di dalam
puan
Tujuh malam semalam
rindu
Belum sampai padamu tuan
Bunga rampai di dalam
puan
Ruku-ruku
dari Peringgit
Belum sampai padamu tuan
Rindu saya bukan sedikit
Ruku-ruku dari Peringgit
Teras jati
bertalam-talam
Rindu saya bukan sedikit
Nyaris mati semalam-malam
Teras jati bertalam-talam
Kapal berlabuh di lautan sisi
Nyaris mati semalam-malam
Bantal dipeluk saya tangisi.
Syair adalah salah satu bentuk puisi tradisional
tertua yang tumbuh dan berkembang setelah kedatangan agama Islam ke Indonesia.
Asal kata syair adalah dari kata bahasa Arab syu’ur yang maknanya
perasaan. Syair berisi tentang cerita yang mengandung unsur sejarah, agama,
atau mitos. Setiap bait dalam syair terdiri atas empat larik dan berima
a-a-a-a. Misal dari syair yang mengandung unsur agama dapat dilihat dalam Syair
Perahu karya Hamzah Fansuri berikut ini:
Syair
Perahu
Inilah gerangan suatu
madah
Mengarangkan syair
terlalu indah
Membetuli jalan tempat
berpindah
Di sanalah iktikad
diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu
Ialah perahu tamsil
tubuhmu
Tidalah berapa lama
hidupmu
Ke akhirat jua kekal
diammu
…
Wujud Allah nama
perahunya
Ilmu Allah akan
kurungnya
Iman Allah nama
kemudinya
Yakin akan Allah nama
pawangnya
Taharat dan istinja’
nama lantainya
Kufur dan maksiat air
ruangnya
Tawakkal akan Allah juru
batunya
Tauhid itu akan sauhnya
La ilaha ‘il
Allah akan talinya
Kamal Allah akan
tiangnya
Assalamu’alaikum akan tali lenggangnya
Taat dan ibadah anak dayungnya
Salawat akan nabi tali bubutannya
Istigfar Allah akan layarnya
Allahu Akbar nama anginnya
Subhanallah akan lajunya
…
Gurindam merupakan bentuk puisi tradisional yang
mendapat pengaruh dari sastra Tamil. Gurindam terdiri atas dua larik dengan
rima a-a. bait pertama merupakan sebab atau syarat dan bait kedua adalah akibat
atau simpulan. Gurindam biasanya berisi nasihat. Gurindam yang paling terkenal
adalah Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Berikut adalah petikannya
yang termuat dalam Hadi (1996: 240):
Gurindam
I
Barang
siapa tiada memegang agama
Sekali-kali tiada boleh
dibilang nama
Barang siapa yang
mengenal yang empat
Maka ia itulah orang
yang ma’rifat
Barang siapa mengenal
Allah
Suruh dan tegahnya tiada
ia menyalah
Barang siapa mengenal
diri
Maka telah mengenal
Tuhan yang bahri
Barang siapa mengenal
dunia
Tahulah ia barang yang
terperdaya
Barang siapa mengenal
akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
Sebenarnya masih ada satu
bentuk “puisi” tradisonal yang belum disebutkan, yakni mantra. Mantra,
yang dianggap sebagai puisi tradisional tertua, biasanya dituturkan oleh dukun
atau pawang dalam ritual-ritual di masa lalu. Bahasa mantra sulit dipahami
artinya, tapi ada efek magis bagi pendengarnya karena adanya
pengulangan-pengulangan rima, kata, atau larik. Repetisi rima, kata, atau larik
inilah yang menjadi ciri khas mantra. Dipercaya bahwa mantra dapat menyembuhkan
berbagai penyakit, mengusir roh halus yang jahat, memperlancar persalinan bagi
wanita yang melahirkan, mengusir anjing galak, dan sebagainya. Berikut ini
adalah mantra untuk mengusir anjing galak:
Pulanglah engkau kepada
rimba sekampung,
Pulanglah
engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada
gaung guntung,
Pulanglah
engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah
engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada
mata air yang tiada kering
Jikalau
kau tiada mau kembali, matilah engkau.
Selain puisi tradisional atau puisi bentuk terikat,
terdapat pula puisi modern atau puisi bentuk bebas. Dalam puisi bentuk modern
tidak ada lagi keterikatan pada rima atau permainan bunyi kata seperti halnya
pada puisi bentuk tradisional. Contoh puisi modern atau puisi bentuk bebas
dapat dilihat pada puisi Mata Pisau karya Sapardi Djoko Damono di bawah
ini:
Mata
Pisau
mata pisau itu tak
berkejap menatapmu;
kau yang baru saja
mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk
mengiris apel
yang tersedia di atas
meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika
terbayang olehnya urat lehermu.
Juga puisi Selesai
Sudah Tugasku Menulis Puisi hasil cipta Joko Pinurbo berikut ini:
Selesai
Sudah Tugasku Menulis Puisi
sebab kata-kata sudah besar, sudah
selesai studi, dan
mereka harus pergi cari
kerja sendiri.
Meskipun dalam puisi modern ada istilah bentuk bebas
alias tidak terikat, ada kalanya suatu puisi hasil karya cipta seorang penyair
masih memperlihatkan adanya pengaruh dari puisi bentuk tradisional. Amsalnya
dapat kita lihat pada puisi bertajuk Mantera yang ditulis oleh Sutardji
Calzoum Bahri berikut ini:
Mantera
lima
percik mawar
tujuh
sayap merpati
sesayat
langit perih
dicabik
puncak gunung
sebelas
duri sepi
dalam
dupa rupa
tiga
menyan luka
mengasapi
duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Dari judulnya saja sudah
jelas bahwa pada puisi tersebut terdapat pengaruh dari mantra. Ada pula puisi
yang terpengaruh bentuk pantun dan seloka seperti pada puisi Lagu Gadis
Itali yang diciptakan oleh Sitor Situmorang di bawah ini:
Lagu
Gadis Itali
Buat Silvana Maccari
Kerling danau di pagi
hari
Lonceng gereja bukit
Itali
Jika
musimmu tiba nanti
Jemputlah abang di teluk
Napoli
Kerling danau di pagi
hari
Lonceng gereja bukit
Itali
Sedari abang lalu pergi
Adik rindu setiap hari
Kerling danau di pagi
hari
Lonceng gereja bukit
Itali
Andai abang tak kembali
Adik menunggu sampai
mati
Batu tandus di kebun
anggur
Pasir teduh di bawah
nyiur
Abang lenyap hatiku
hancur
Mengejar bayang di salju
gugur
Seperti telah disebutkan di muka, selain dari segi
ungkapan dan segi bentuk, puisi pun dapat digolongkan dari segi isinya.
Ditinjau dari segi isi, puisi terbagi atas ode, epitaf, elegi, himne, epigram,
pastoral atau idila, satire, dan parodi.
Ode atau disebut juga oda adalah puisi yang berisi tentang pujian terhadap seseorang,
hal, atau keadaan. Biasanya bertema dan membahas sesuatu yang mulia, seperti
perasaan pribadi maupun peristiwa umum. Asal katanya adalah dari kata bahasa
Yunani oide yang memiliki makna lagu atau syair. Berikut ini adalah
contoh dari puisi ode karya Percy Bysshe Sheley yang termaktub dalam Samekto
(1998:159):
Ode
to the West Wind
O wild West Wind, thou
breath of Autumn’s being,
Thou, from whose unseen
presence the leaves dead
Are driven, like ghosts
from an enchanter fleeing
Yellow, and black, and
pale, and hectic red,
Pestilence—stricken
multitudes: O thou,
Who chariotest to their
dark wintry bed
The winged seed, where
they lie cold and low,
Each like a corpse
within its grave, until
Thine azure sister of
the Spring shall blow
Her clarion o’er the
dreaming earth, and fill
(Driving sweet birds
like flocks to feed in air)
With living hues and
odours plain and hill:
Wlid Spirit, which art moving
everywhwere:
Destroyer and preserver; hear, oh hear!
Epitaf adalah puisi yang berisi pujian atau
kenangan bagi orang yang sudah meninggal dan biasanya diukir di batu nisan
orang yang telah wafat itu. Selain pujian, epitaf dapat pula berisi tentang
pesan atau ajaran moral yang dipetik dari pengalaman orang yang dikuburkan.
Asal kata epitaf adalah epitaphion, sebuah kata bahasa Yunani yang
artinya orasi saat pemakaman. Berikut adalah misal dari epitaf karya Francois
Villon (termaktub dalam Budianta, et.al. [2002: 70]):
Tulisan
di Nisan Villon
Saudaraku seumat yang
hidup sesudah kami,
Jangan terhadap kami
hatimu kau batukan,
Adapun, bila kau belasi
kami yang malang ini,
Kau pun lantas saja
diampuni oleh Tuhan.
Kau lihat kami lima-enam
orang bergantungan;
Daging kami, terlalu
kami padati dengan makanan,
Hampirlah busuk
seluruhnya, hancur berantakan,
Lalu kami, kerangka,
menjadi tepung dan debu.
Kami yang malang ini
janganlah tertawakan,
Tapi doakan: Tuhan
mengampuni kami dan kamu.
Elegi adalah puisi yang berisi
ungkapan rasa duka cita atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau kehilangan
sesuatu atau seseorang. Asal kata elegi adalah elegeia, sebuah kata
dalam bahasa Yunani yang bermakna nyanyian duka lara. Misal dari puisi elegi
yang juga disebut dengan puisi ratapan dapat dilihat di bawah ini:
Dagang
Karya
Amir Hamzah
Susahnya untuk berdagang
Tiada tempat untuk
mengadukan duka
Bundaku tuan selalu
terpandang
Hendak berduka apatah
daya
Terlihat-lihat bunda
merenung
Rasa-rasa bunda mengeluh
Mengenangkan nasib tiada
beruntung
Luka perceraian tidakkan
sembuh.
Himne adalah puisi yang dinyanyikan
yang berisi pujaan atau pemuliaan kepada Tuhan, pahlawan, atau tanah air. Puisi
yang juga disebut dengan gita puja ini asal katanya adalah hymnos.
Kata dalam bahasa Yunani itu maknanya adalah lagu yang anggun. Contoh dari
himne adalah lagu-lagu seperti Ibu Kita Kartini, Garuda Pancasila,
dan Padamu Negeri.
Epigram adalah puisi yang isinya tentang ajaran
kehidupan yang dinyatakan secara arif, ringkas, dan bernas. Kata epigramme,
kata dalam bahasa Yunani yang artinya tulisan, adalah asal dari epigram. Umpama
dari epigram adalah puisi karya Mansur Samin sebagai berikut:
Titik
Mencari titik
rebutlah satu lagu
Hidup
Mencari titik akhir
terimalah sebuah arti
Mati.
Pastoral adalah puisi yang berisi tentang
penggambaran kehidupan pedesaan yang tenteram dan damai, mengenai para
penggembala dan para petani yang sedang menunaikan pekerjaan mereka. Secara
etimologis kata pastoral berasal dari kata bahasa Latin, yaitu pastor
yang artinya adalah gembala. Puisi yang senada dengan pastoral adalah puisi idila
(idyll) yang juga menggambarkan suasana di pedesaan. Contoh dari puisi
pastoral dapat dilihat pada puisi yang berjudul Gembala karya Muhammad
Yamin yang telah disebutkan di atas.
Satire adalah puisi yang isinya mengandung ejekan,
sindiran, atau kritikan terhadap tingkah polah manusia atau kebobrokan pranata
sosial. Contoh dari puisi ini dapat dilihat pada karya W.S. Rendra yang
berjudul Sajak Gadis dan Majikan berikut:
Sajak
Gadis dan Majikan
Janganlah tuan seenaknya
memelukku,
Kemana arahnya, sudah
cukup aku tahu
Aku bukan ahli menduga,
tetapi jelas sudah
kutahu
pelukan ini apa artinya
………………
Siallah pendidikan yang
aku terima.
Diajar aku berhitung,
mengetik, bahasa asing
kerapian, dan tatacara.
Tetapi lupa diajarkan :
bila dipeluk majikan
dari belakang
lalu sikapku bagaimana !
Janganlah tuan seenaknya
memelukku.
Sedangkan pacarku tak
berani selangsung itu.
Apakah tujuan tuan,
sudah cukup aku tahu,
Ketika tuan siku
tetekku,
sudah kutahu apa artinya
………………..
Mereka ajarkan aku
membenci dosa
tetapi lupa mereka
ajarkan
bagaimana mencari kerja.
Mereka ajarkan aku gaya
hidup
yang peralatannya tidak
berasal dari lingkungan.
Diajarkan aku
membutuhkan
peralatan yang
dihasilkan para majikan,
dan dikuasai para
majikan.
Alat-alat rias, mesin
pendingin,
vitamin sintetis,
tonikum,
segala macam soda, dan
ijasah sekolah.
Pendidikan membuatku
terikat
Pada pasar mereka, pada
modal mereka.
Dan kini, setelah aku
dewasa
kemana lagi aku ‘kan
lari,
bila tidak ke dunia
majikan ?
Janganlah tuan seenaknya
memelukku.
Aku bukan cendikiawan
tetapi aku cukup tahu
semua kerja di mejaku
akan kesana arahnya.
Jangan tuan, jangan !
Jangan seenaknya
memelukku !
Ah, Wah.
Uang yang tuan selipkan
di behaku
Adalah ijasah pendidikanku.
Ah. Ya.
Begitulah.
Dengan yakin tuan
memelukku,
Perut tuan yang buncit
menekan perutku.
Mulut tuan yang buruk
menciumi mulutku.
Sebagai suatu kewajaran
semuanya tuan lakukan.
Seluruh anggota masyarakat
membantu tuan.
Mereka pegang kedua
kakiku.
Mereka tarik pahaku
mengangkang.
Sementara tuan naik ke
atas tubuhku.
Parodi adalah puisi yang isinya
tentang ejekan tetapi dimaksudkan untuk melucu atau mencemooh puisi yang sudah
ada karya penyair terkemuka. Gaya
dan bentuk puisi parodi meniru gaya
dan bentuk puisi yang diparodikannya. Kata parodi sendiri berasal dari parodos,
sebuah kata dari bahasa Yunani yang bermakna lagu tanggapan. Berikut ini adalah
misal dari puisi parodi karya Yudhistira Ardinugraha yang menyindir W.S.
Rendra:
Sajak
Sepatu usang Si Billy Peronda
“Kelaparan adalah burung
gagak yang buluhnya hitam (tentu
saja) karena ia tidak
bisa terbang lagi dan jauh ke dalam got
kantor gubernuran!”
teriaknya
(Si Billy mencopot
sepatunya dan mengeluarkan tempe dari
dalamnya, lalu dimakan)
“Karena tak boleh
memprotes, maka protes ini kutujukan
kepada pohon-pohon yang
tumbang diSukabumi,
pada langit yang semakin
mendung, kepada tembok-tembok
dan cacing-cacing!”
teriaknya lagi.
(Si Billy mencopot
sepatunya yangs ebelah kiri –tadi yang
sebelah kanan– dan
mengeluarkan cabe dari dalamnya, lalu
dimakan)
“Malaikat penjaga
firdaus, kutusuk selangkangmu dengan
pentungan karet ini!”
teriaknya.
(Si Billy mengambil kedua
sepatunya, lalu dimakan)
“Kelaparan adalah burung
gagak yang mati diinjak sepatuku
yang kini jadi
makananku!”
(Si Billy tak bisa
berteriak lagi. Ia mabuk sepatu dan
klenger seumur hidupnya)
Mengingkari
Sastra, Mengingkari Kemanusiaan
Setelah membaca apa itu sastra dan apa itu puisi, yang
membuncah dalam hati saya tak lain adalah harapan bahwa Anda akan memahami apa
itu sastra, wa bil khusus apa itu puisi. Jika di awal tulisan saya ajukan
pertanyaan ke Anda, kini di bagian pengkhatam ini kembali saya hidangkan
pertanyaan, “Apakah Anda kini menyukai, bahkan mencintai, sastra?” atau “Apakah
sekarang Anda sudah mau menulis karya sastra, khususnya puisi?”
Jika Anda masih menggelengkan kepala Anda, saya hanya
dapat menyayangkan sikap Anda tersebut dan memberi saran agar sebaiknya Anda
berhenti mengaku-aku dan merasa sebagai manusia. Mengapa? Karena dengan menolak
sastra, seperti tidak mau menyenanginya, membacanya, dan menuliskannya, Anda
mengingkari kemanusiaan Anda. Dengan kata lain, Anda menolak disebut manusia.
Sesungguhnya hanya manusialah yang bersastra karena pada dasarnya manusia
menyukai keindahan. Rasa sukanya itu dituangkan dalam berbagai bentuk seni dan
salah satunya adalah sastra. Boleh saja Anda merasa diri Anda modern,
melengkapi diri dengan beraneka gawai yang canggih, dan berselancar setiap hari
di dunia maya. Namun, bila Anda tidak mencintai sastra, Anda kalah dengan
manusia paling primitif pun di muka bumi. Apa pasal? Karena seperti yang
ditorehkan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar Indonesia, di dalam
salah satu mahakaryanya, Bumi Manusia
(1980: 190): “Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika
sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam
hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra
lisan.”
Bila di mata kuliah lain sastra dianggap barang mati
bagaikan seekor kodok yang siap dibelah untuk mengetahui apa saja jeroannya
dengan menggunakan berbagai teori sebagai pisau analisisnya, maka di mata kuliah
ini mari kita embuskan nyawa pada sastra. Jadikan ia hidup, bergerak,
menari-nari. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menuliskannya. Karena saya
percaya ada sastra berdenyut-denyut di nadi kalian. Ada puisi yang berdetak di
jantung kalian. Ada kata-kata yang berdesir di darah kalian. Ia masih mendekam
di diri kalian, menunggu untuk dikeluarkan. Keluarkanlah. Tuliskanlah. Jadilah
manusia. Jadilah manusia yang bersastra. Jadilah man of letters.
Pustaka Acuan
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Budianta, Melani, Ida
Sundari Husein, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. 2002.
Membaca Sastra
(Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi).
Magelang: Indonesiatera.
Hadi W.M., Abdul. 1996. Sastra Sufi Sebuah Antologi. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Samekto. 1998. Ikhtisar Sejarah Kesusasteraan Inggris.
Jakarta: Daya Widya.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Bandung:
Pustaka Jaya.
Toer, Pramoedya Ananta.
1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta
Mitra
Van Luxemburg, Jan, Mieke
Bal, dan Willem G. Westeijn (Penerjemah Dick Hartoko).
1989. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wellek, Rene dan Austin
Warren (Penerjemah Melani Budianta). 1995. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zaidan, Abdul Rojak,
Anita K. Rustapa, dan Hani’ah. 1994. Kamus
Istilah Sastra.
Jakarta:
Balai Pustaka.
[1] Bahan kuliah Writing III
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi Linguistics
and Literature Club, Rabu 25 April, 2012.
[2] Pensyarah, Penerjemah, dan
Penyunting yang juga Penyair Kecil. Puisi-puisinya pernah dimuat di
antologi Empat Amanat Hujan: Bunga Rampai Puisi Panggung Sastra komunitas Dewan
Kesenian Jakarta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) dan Jurnal Sajak Edisi 2 (Februari 2012).
0 komentar:
Posting Komentar