just write

just write

Harry untuk Heri

Senin, 16 Maret 2015



Harry untuk Heri

Oleh Hilmi Akmal*


            Sebuah tangan kecil dengan gemetar mengambil buku Harry Potter ke-6, Harry Potter dan Pangeran Berdarah-Campuran, yang disusun bertumpuk di sebuah toko buku. Pemilik tangan itu mengambil dengan gemetar karena takut tumpukan buku itu jatuh berantakan. Ia juga takut akan dimarahi penjaga toko yang dirasanya mengawasi dirinya sejak ia masuk toko. Ia mengamati sampul buku itu dan membaca judulnya. Setelah puas, ia membalik buku itu untuk melihat harganya. Ia terkejut.
Harga buku itu ternyata sangat mahal. 110 ribu rupiah. Heri, anak yang memegang buku itu, merogoh saku celananya. Hanya ada 10 ribu rupiah. “Kurang seratus ribu,” ucapnya dalam hati. Heri pun meletakkan buku Harry Potter itu dan melangkah keluar toko dengan lesu.
***
            “Mana Harry Potter-nya Kak?” Tanya Rani, sang adik, begitu Heri sampai di rumah. “Tak jadi beli. Harganya mahal, 110 ribu rupiah,” jawab Heri. Rani hanya terdiam mendengar jawaban sang kakak. Dia pun membenamkan dirinya dalam selimut. Dia sedang sakit. Heri tahu Rani kecewa. Heri juga merasa menyesal karena tidak bisa membelikan buku Harry Potter terbaru seperti yang telah dijanjikannya.
            Heri dan Rani adalah kakak beradik penggemar Harry Potter. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang bisa menikmati Harry Potter dengan cara membeli, Heri dan Rani membaca kisah-kisah petualangan si penyihir muda dengan tanda petir di dahinya itu dari perpustakaan keliling yang datang ke kampung mereka tiap hari Sabtu. Mereka tinggal di perkampungan padat yang ada di balik gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Heri dan Rani adalah anak yatim. Ayah mereka sudah meninggal. Ibu mereka bekerja keras agar mereka berdua dapat terus sekolah dengan menjadi buruh cuci. Heri kini duduk di kelas lima, sedangkan Rani di kelas empat. Sepulang sekolah mereka juga mencari nafkah. Heri menyemir sepatu dan Rani berjualan kue.
            Seluruh buku Harry Potter sudah mereka baca. Bahkan Heri merasa bahwa antara Harry Potter dan dirinya ada kemiripan. Harry memakai kacamata, Heri juga. Harry tak punya orang tua, Heri juga meski masih ada ibunya. Rambut keduanya pun sama-sama hitam. “Nama kami juga sama. Sama-sama diucapkan he-ri,” tutur Heri menjawab pertanyaan pertanyaan teman-temannya mengapa ia suka sekali dengan Harry Potter. Sedangkan Rani merasa mirip dengan Herrmione dan sering menulis namanya menjadi Rani Hermione di buku-buku tulisnya. Mereka berdua sering bermain menjadi Harry Potter dan Hermione. Dengan tongkat sihir yang terbuat dari gagang sapu, mereka mengeluarkan mantra dan kutukan kepada dementor-dementor yang datang menyerang. Kalau bermain menjadi Harry Potter, wajah Heri digambari tanda petir di dahinya.
            Di sekolah, Heri mempunyai teman yang sifatnya mirip Dudley Dursley dan Draco Malfoy. Namanya Dodi. Dodi sering menjahili dan memusuhi Heri karena Heri lebih pintar dan rajin sehingga sering dapat juara kelas daripadanya. Dodi Degil, begitu Heri menjulukinya.
            Dodi tahu bahwa Heri sangat suka Harry Potter. Dari Dodilah sebenarnya Heri tahu bahwa buku Harry Potter yang keenam sudah terbit. Dodi suatu hari membawa buku Harry Potter yang terbaru ke sekolah. Ia memamerkan ke seluruh teman-teman sekelas. “Apa pinjam? Enak saja. Beli dong,” kata Dodi sambil memandang ke arah Heri ketika menjawab pertanyaan teman-temannnya.
              Heri tahu ucapan Dodi itu ditujukan kepadanya. Dodi tahu Heri adalah penggemar berat Harry Potter tapi tak mampu membeli dan tak memiliki satu pun buku Harry Potter. Heri anak tak mampu, sedangkan Dodi anak berada. Jadi, Dodi membeli buku Harry Potter hanyalah untuk mengejeknya karena Heri tahu persis Dodi belum membaca satu pun buku Harry Potter. Dodi paling malas membaca buku, apalagi buku-buku Harry Potter yang tebal-tebal halamannya.
            Heri sebenarnya marah pada Dodi, tapi disimpan dalam hatinya saja. Percuma meladeni Dodi. Heri malah membayangkan dirinya adalah Harry Potter. Ia acungkan tongkat sihirnya dan memantrai Dodi. Dodi pun berubah jadi tikus yang berlarian ke seluruh kelas dan membuat anak-anak perempuan menjerit-jerit ketakutan. Tapi karena ia bukan Harry dan tak punya tongkat sihir, maka Heri diam saja sementara Dodi Degil terus memamerkan bukunya kepada teman-teman yang baru masuk kelas. Dalam hati Heri bertekad akan memecahkan tabungannya di rumah dan membeli buku Harry Potter. Tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk Rani yang sekarang sedang sakit.
***
            Hari ini Heri masih murung setelah kemarin gagal membeli buku Harry Potter. Di masjid tempatnya biasa mangkal untuk menyemir sepatu, ia lebih banyak diam. Ia tengah berpikir kalau setiap hari ia bisa menyisihkan seribu rupiah, berarti seratus hari kemudian baru akan terkumpul 100 ribu rupiah. “Wah terlalu lama,” pikirnya, “bisa-bisa si Dodi Degil terus menggangguku dan mengejekku. Kasihan Rani. Ia harus menunggu seratus hari sampai aku bisa beli buku itu.”
            Tak terasa hari makin sore dan Heri pun bersiap-siap pulang. Seperti biasa, sebelum pulang Heri selalu shalat Ashar terlebih dahulu. Selesai shalat, pandangan matanya mendadak tertumbuk pada kantung plastik tak jauh di depannya. Heri melihat tadi ada seorang bapak tengah shalat dengan kantung plastik itu di sampingnya. “Pasti kantung plastik itu milik si bapak itu,” begitu kesimpulan Heri, “aku harus mengembalikannya.”
            Heri pun mengambil kantung plastik itu dan bergegas keluar masjid. Tapi ternyata bapak pemilik kantung itu sudah tidak kelihatan. Heri mengingat-ingat rasanya ia sering melihat bapak itu shalat di masjid ini. Heri ingin memberikan kantung plastik itu pada pengurus masjid, tapi hatinya tergelitik ingin tahu apa isinya. Heri lalu membuka kantung itu. Matanya terbelalak begitu melihat isi kantung itu. Isinya adalah buku Harry Potter yang keenam! Heri melihat sekeliling, lalu ia memutuskan membawa buku itu pulang walau ada sedikit keraguan dalam hatinya. “Rani, akhirnya kita bisa punya buku Harry Potter,” bisiknya dalam hati.
            Tapi bukan kegembiraan yang diperlihatkan Rani. Ia malah mencampakkan buku itu setelah Heri memberikan dan menceritakan padanya bagaimana ia mendapatkan buku itu. “Itu namanya mencuri Kak! Aku tidak mau memiliki buku ini kalau caranya begitu,” kata Rani dengan ketus. Heri tersentak. “Betul juga,” pikirnya. Bukankah ia telah mengambil barang yang bukan miliknya? Barang yang bukan haknya? Apa lagi namanya kalau bukan mencuri? Penyesalan pun terbit di hati Heri.
***
            Mata Heri terus memandang setiap orang yang masuk keluar masjid. ia berharap bertemu dengan bapak yang kemarin meninggalkan kantung plastiknya. Heri ingin mengembalikan buku Harry Potter itu. Akhirnya, setelah menunggu lebih dari satu jam, Heri melihat bapak itu melangkah masuk ke halaman masjid. Heri pun mendekati bapak itu dengan agak takut. “Permisi Pak,” ujarnya sopan. Bapak itu terkejut dan memandang penuh heran ke arah Heri. “Wah maaf dik, saya tidak mau semir sepatu. Sepatu saya masih bersih,” katanya.
            “Bu-bukan Pak, tapi saya ingin mengembalikan ini,” kata Heri sambil menyerahkan kantung plastik.
            “Apa ini?” tanya Bapak itu sambil menerima. “Loh ini kan punya saya?” katanya setelah melihat isinya.
            “Iya Pak, saya temukan kemarin. Tapi bapak sudah pergi saat saya mau kembalikan.”
            “Iya betul, kemarin saya kehilangan kantung plastik ini. Isinya buku Harry Potter terbaru untuk anak saya. Wah terima kasih ya dik.”
               “sama-sama Pak,” jawab Heri, “saya permisi dulu Pak.” Heri hendak beranjak pergi
            “Eh tunggu dulu. Siapa nama kamu?” cegah Bapak itu.
            “Heri Pak.”
            “Heri? Seperti Harry Potter? Ha ha ha,” Bapak itu tertawa, sedangkan Heri hanya tersenyum simpul.
            “Begini saja Heri,” kata Bapak itu setelah tawanya reda, “kamu suka Harry Potter?” Heri mengangguk. “Nah buku ini untuk kamu saja.”
            “Sungguh Pak?” tanya Heri penuh kegembiraan bercampur kaget.
            “Iya. Bapak sudah belikan lagi untuk anak Bapak. Jadi yang kamu temukan ini untuk kamu saja. Ambillah,” kata Bapak itu sambil memberikan kantung plastik itu.
            “Te-rima kasih Pak,” kata Heri terbata-bata. Matanya berkaca-kaca.
Pamulang, 31 Januari 2006         
 
                  



* Penulis cerita anak, tinggal di Bambu Apus, Pamulang, Tangerang.

2 komentar:

Valka mengatakan...

Wiiih cerpennya kece pak. Saya suka :D

Membaca cerpen ini sekilas mengingatkan saya terhadap film Children of Heaven.
Baik cerpen bapak maupun COH sama-sama bercerita tentang seorang kakak yang ingin membelikan adiknya sesuatu.
Bedanya, kalau COH bendanya sepatu, kalau bapak buku Harry Potter.

Dalam cerpen ini, saya suka sama cara bercerita bapak yang mengalir begitu saja dan cerpen ini cocok dibaca untuk siapa saja.
Masalahnya sederhana, namun cara menceritakannya begitu alami sehingga mudah dipahami.
Selain itu, cara bapak menganalogikan Heri, Dodi dan Rani menurut saya brilian sekali.
Hery = Harry. Rani = Hermione. Dodi = Dursley/Draco.
Yang di plastik saya agak tertipu, saya kira tadi isinya uang eh gak taunya buku.
Endingnya favorit banget.

setelah membaca cerpen ini saya jadi penasaran, bagaimana reaksi Rani ya setelah tahu bahwa kakaknya berhasil membawa pulang buku Harpot? :D

Hilmi Akmal mengatakan...

makasih atas apresiasinya :)

Posting Komentar