Harry untuk Heri
Oleh Hilmi Akmal*
Sebuah tangan kecil
dengan gemetar mengambil buku Harry Potter ke-6, Harry Potter dan Pangeran
Berdarah-Campuran, yang disusun bertumpuk di sebuah toko buku. Pemilik
tangan itu mengambil dengan gemetar karena takut tumpukan buku itu jatuh
berantakan. Ia juga takut akan dimarahi penjaga toko yang dirasanya mengawasi
dirinya sejak ia masuk toko. Ia mengamati sampul buku itu dan membaca judulnya.
Setelah puas, ia membalik buku itu untuk melihat harganya. Ia terkejut.
Harga buku
itu ternyata sangat mahal. 110 ribu rupiah. Heri, anak yang memegang buku itu,
merogoh saku celananya. Hanya ada 10 ribu rupiah. “Kurang seratus ribu,”
ucapnya dalam hati. Heri pun meletakkan buku Harry Potter itu dan melangkah
keluar toko dengan lesu.
***
“Mana Harry Potter-nya Kak?” Tanya
Rani, sang adik, begitu Heri sampai di rumah. “Tak jadi beli. Harganya mahal,
110 ribu rupiah,” jawab Heri. Rani hanya terdiam mendengar jawaban sang kakak.
Dia pun membenamkan dirinya dalam selimut. Dia sedang sakit. Heri tahu Rani
kecewa. Heri juga merasa menyesal karena tidak bisa membelikan buku Harry
Potter terbaru seperti yang telah dijanjikannya.
Heri dan Rani
adalah kakak beradik penggemar Harry Potter. Berbeda dengan anak-anak lainnya
yang bisa menikmati Harry Potter dengan cara membeli, Heri dan Rani membaca
kisah-kisah petualangan si penyihir muda dengan tanda petir di dahinya itu dari
perpustakaan keliling yang datang ke kampung mereka tiap hari Sabtu. Mereka
tinggal di perkampungan padat yang ada di balik gedung-gedung bertingkat di
Jakarta. Heri dan Rani adalah anak yatim. Ayah mereka sudah meninggal. Ibu
mereka bekerja keras agar mereka berdua dapat terus sekolah dengan menjadi
buruh cuci. Heri kini duduk di kelas lima, sedangkan Rani di kelas empat. Sepulang
sekolah mereka juga mencari nafkah. Heri menyemir sepatu dan Rani berjualan
kue.
Seluruh buku Harry
Potter sudah mereka baca. Bahkan Heri merasa bahwa antara Harry Potter dan
dirinya ada kemiripan. Harry memakai kacamata, Heri juga. Harry tak punya orang
tua, Heri juga meski masih ada ibunya. Rambut keduanya pun sama-sama hitam.
“Nama kami juga sama. Sama-sama diucapkan he-ri,” tutur Heri menjawab
pertanyaan pertanyaan teman-temannya mengapa ia suka sekali dengan Harry
Potter. Sedangkan Rani merasa mirip dengan Herrmione dan sering menulis namanya
menjadi Rani Hermione di buku-buku tulisnya. Mereka berdua sering bermain
menjadi Harry Potter dan Hermione. Dengan tongkat sihir yang terbuat dari
gagang sapu, mereka mengeluarkan mantra dan kutukan kepada dementor-dementor
yang datang menyerang. Kalau bermain menjadi Harry Potter, wajah Heri digambari
tanda petir di dahinya.
Di sekolah, Heri
mempunyai teman yang sifatnya mirip Dudley Dursley dan Draco Malfoy. Namanya
Dodi. Dodi sering menjahili dan memusuhi Heri karena Heri lebih pintar dan
rajin sehingga sering dapat juara kelas daripadanya. Dodi Degil, begitu Heri
menjulukinya.
Dodi tahu bahwa
Heri sangat suka Harry Potter. Dari Dodilah sebenarnya Heri tahu bahwa buku
Harry Potter yang keenam sudah terbit. Dodi suatu hari membawa buku Harry
Potter yang terbaru ke sekolah. Ia memamerkan ke seluruh teman-teman sekelas.
“Apa pinjam? Enak saja. Beli dong,” kata Dodi sambil memandang ke arah Heri
ketika menjawab pertanyaan teman-temannnya.
Heri tahu ucapan Dodi itu ditujukan
kepadanya. Dodi tahu Heri adalah penggemar berat Harry Potter tapi tak mampu
membeli dan tak memiliki satu pun buku Harry Potter. Heri anak tak mampu,
sedangkan Dodi anak berada. Jadi, Dodi membeli buku Harry Potter hanyalah untuk
mengejeknya karena Heri tahu persis Dodi belum membaca satu pun buku Harry
Potter. Dodi paling malas membaca buku, apalagi buku-buku Harry Potter yang
tebal-tebal halamannya.
Heri sebenarnya
marah pada Dodi, tapi disimpan dalam hatinya saja. Percuma meladeni Dodi. Heri
malah membayangkan dirinya adalah Harry Potter. Ia acungkan tongkat sihirnya
dan memantrai Dodi. Dodi pun berubah jadi tikus yang berlarian ke seluruh kelas
dan membuat anak-anak perempuan menjerit-jerit ketakutan. Tapi karena ia bukan
Harry dan tak punya tongkat sihir, maka Heri diam saja sementara Dodi Degil
terus memamerkan bukunya kepada teman-teman yang baru masuk kelas. Dalam hati
Heri bertekad akan memecahkan tabungannya di rumah dan membeli buku Harry
Potter. Tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk Rani yang sekarang sedang
sakit.
***
Hari ini Heri masih murung setelah
kemarin gagal membeli buku Harry Potter. Di masjid tempatnya biasa mangkal
untuk menyemir sepatu, ia lebih banyak diam. Ia tengah berpikir kalau setiap
hari ia bisa menyisihkan seribu rupiah, berarti seratus hari kemudian baru akan
terkumpul 100 ribu rupiah. “Wah terlalu lama,” pikirnya, “bisa-bisa si Dodi
Degil terus menggangguku dan mengejekku. Kasihan Rani. Ia harus menunggu
seratus hari sampai aku bisa beli buku itu.”
Tak terasa hari
makin sore dan Heri pun bersiap-siap pulang. Seperti biasa, sebelum pulang Heri
selalu shalat Ashar terlebih dahulu. Selesai shalat, pandangan matanya mendadak
tertumbuk pada kantung plastik tak jauh di depannya. Heri melihat tadi ada seorang
bapak tengah shalat dengan kantung plastik itu di sampingnya. “Pasti kantung
plastik itu milik si bapak itu,” begitu kesimpulan Heri, “aku harus
mengembalikannya.”
Heri pun mengambil
kantung plastik itu dan bergegas keluar masjid. Tapi ternyata bapak pemilik
kantung itu sudah tidak kelihatan. Heri mengingat-ingat rasanya ia sering
melihat bapak itu shalat di masjid ini. Heri ingin memberikan kantung plastik
itu pada pengurus masjid, tapi hatinya tergelitik ingin tahu apa isinya. Heri
lalu membuka kantung itu. Matanya terbelalak begitu melihat isi kantung itu.
Isinya adalah buku Harry Potter yang keenam! Heri melihat sekeliling, lalu ia
memutuskan membawa buku itu pulang walau ada sedikit keraguan dalam hatinya.
“Rani, akhirnya kita bisa punya buku Harry Potter,” bisiknya dalam hati.
Tapi bukan kegembiraan yang
diperlihatkan Rani. Ia malah mencampakkan buku itu setelah Heri memberikan dan
menceritakan padanya bagaimana ia mendapatkan buku itu. “Itu namanya mencuri
Kak! Aku tidak mau memiliki buku ini kalau caranya begitu,” kata Rani dengan
ketus. Heri tersentak. “Betul juga,” pikirnya. Bukankah ia telah mengambil
barang yang bukan miliknya? Barang yang bukan haknya? Apa lagi namanya kalau
bukan mencuri? Penyesalan pun terbit di hati Heri.
***
Mata Heri terus memandang setiap
orang yang masuk keluar masjid. ia berharap bertemu dengan bapak yang kemarin
meninggalkan kantung plastiknya. Heri ingin mengembalikan buku Harry Potter
itu. Akhirnya, setelah menunggu lebih dari satu jam, Heri melihat bapak itu melangkah
masuk ke halaman masjid. Heri pun mendekati bapak itu dengan agak takut.
“Permisi Pak,” ujarnya sopan. Bapak itu terkejut dan memandang penuh heran ke
arah Heri. “Wah maaf dik, saya tidak mau semir sepatu. Sepatu saya masih
bersih,” katanya.
“Bu-bukan Pak, tapi saya ingin
mengembalikan ini,” kata Heri sambil menyerahkan kantung plastik.
“Apa ini?” tanya Bapak itu sambil
menerima. “Loh ini kan punya saya?” katanya setelah melihat isinya.
“Iya Pak, saya temukan kemarin. Tapi
bapak sudah pergi saat saya mau kembalikan.”
“Iya betul, kemarin saya kehilangan
kantung plastik ini. Isinya buku Harry Potter terbaru untuk anak saya. Wah
terima kasih ya dik.”
“sama-sama Pak,” jawab Heri, “saya permisi dulu Pak.” Heri hendak
beranjak pergi
“Eh tunggu dulu. Siapa nama kamu?”
cegah Bapak itu.
“Heri Pak.”
“Heri? Seperti Harry Potter? Ha ha
ha,” Bapak itu tertawa, sedangkan Heri hanya tersenyum simpul.
“Begini saja Heri,” kata Bapak itu
setelah tawanya reda, “kamu suka Harry Potter?” Heri mengangguk. “Nah buku ini
untuk kamu saja.”
“Sungguh Pak?” tanya Heri penuh
kegembiraan bercampur kaget.
“Iya. Bapak sudah belikan lagi untuk
anak Bapak. Jadi yang kamu temukan ini untuk kamu saja. Ambillah,” kata Bapak
itu sambil memberikan kantung plastik itu.
“Te-rima kasih Pak,” kata Heri
terbata-bata. Matanya berkaca-kaca.
Pamulang, 31 Januari 2006
2 komentar:
Wiiih cerpennya kece pak. Saya suka :D
Membaca cerpen ini sekilas mengingatkan saya terhadap film Children of Heaven.
Baik cerpen bapak maupun COH sama-sama bercerita tentang seorang kakak yang ingin membelikan adiknya sesuatu.
Bedanya, kalau COH bendanya sepatu, kalau bapak buku Harry Potter.
Dalam cerpen ini, saya suka sama cara bercerita bapak yang mengalir begitu saja dan cerpen ini cocok dibaca untuk siapa saja.
Masalahnya sederhana, namun cara menceritakannya begitu alami sehingga mudah dipahami.
Selain itu, cara bapak menganalogikan Heri, Dodi dan Rani menurut saya brilian sekali.
Hery = Harry. Rani = Hermione. Dodi = Dursley/Draco.
Yang di plastik saya agak tertipu, saya kira tadi isinya uang eh gak taunya buku.
Endingnya favorit banget.
setelah membaca cerpen ini saya jadi penasaran, bagaimana reaksi Rani ya setelah tahu bahwa kakaknya berhasil membawa pulang buku Harpot? :D
makasih atas apresiasinya :)
Posting Komentar