just write

just write

Sastri Sebuah Narasi tentang Prosa

Jumat, 13 Maret 2015



Sastri



Sebuah Narasi tentang Prosa[1]

Hilmi Akmal[2]

                Hari ini mentari agak enggan menunaikan tugasnya. Tak ada semburat terik di kaki langit. Yang ada hanya kelabu, mengepung di segenap penjuru. Warna yang sama tampak di wajah Sastri. Sedari tadi kulihat dia hanya diam bermutung saat kujumpai dirinya di perpustakaan, tempat kami biasa ber-rendezvous.
                “Ada apa? Kok bermuram durja?” tanyaku
                “Ini ada tugas”
                “Loh biasa toh? Mahasiswi dapat tugas?
                “Tapi ini agak sulit. Tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Aku akan anak psikologi.”
                “Memang apa tugasnya?”
                “Buat makalah tentang prosa.”
Aku berusaha menahan senyum. Sekelumit kenangan berkelebat di benakku saat pertama kali bersua dengannya. Saat itu di perpustakaan juga, hanya saja cuacanya lebih cerah dari hari ini. Langkahku terhenti saat keluar dari rak bagian buku-buku psikologi. Pandanganku tertumbuk pada pemandangan di depanku. Di bagian meja panjang yang biasa untuk membaca buku, duduk seorang ciptaan Tuhan yang luar biasa cantik. Dari arahku berdiri, aku bisa melihat sisi kiri wajahnya. Hidungnya bangir, alisnya lebat, matanya indah. Tapi, yang paling menyita perhatianku adalah rambutnya yang panjang sebahu yang dibiarkannya tergerai. Aku dekati dirinya. Menarik kursi di samping kanannya, dan mulai duduk membaca buku The Interpretation of Dream-nya Sigmund Freud yang kuambil dari rak. Selang beberapa menit, aku berdehem dan mulai melancarkan seranganku.
                “Maaf, kamu anak psikologi?” tanyaku.
Perempuan itu menoleh. Ada rona terganggu di parasnya, tapi kemudian dia mengangguk.
                Sorry kalau ganggu, tapi aku kurang paham soal id, ego, dan superego-nya Freud. Kamu bisa jelasin?” Padahal, aku sudah sangat mafhum dengan pemikiran Freud itu.
                 Tak dinyana otot-otot di mulut makhluk manis ciptaan Tuhan itu membentuk sunggingan senyum. “Jurusanmu apa?” tanyanya
                “Sastra Inggris.”
                Emang di sastra belajar Freud juga?”
                “Iya. Nama mata kuliahnya psikologi sastra.”
Percakapan pun berlanjut. Singkat kata, kami saling berkenalan dan bertukar nomor seluler. Tak sampai satu bulan, lengkap sudah aku menjadi pemilik hatinya.
                “Hei, kok malah bengong?” tegur Sastri membuyarkan kenangan.
                “Eh gak papa kok,” kataku sedikit gelagapan. “Tentang prosa? Ah kecil itu. Just give me a minute.”
Aku bergegas menuju rak bagian buku-buku sastra. Setelah memelototi beberapa judul, aku raih Concise Companion to Literature-nya Pickering and Hoeper[i], Anatomi Sastra karya Semi[ii], Teori Pengkajian Fiksi tulisan Nurgiyantoro[iii], Berkenalan dengan Prosa buah pikir Sayuti[iv], Membaca Sastra-nya dosen-dosen sastra Universitas Indonesia[v], dan tak lupa buku Sudjiman yang mungil bertajuk Memahami Cerita Rekaan[vi]. Tak lupa aku mampir ke bagian referensi. Kucomot Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature[vii] dan tiga kamus istilah sastra karya anak negeri, masing-masing karya Sudjiman[viii], Zaidan dan kawan-kawan[ix], dan Hartoko dan Rahmanto[x]. Kutaruh di meja semuanya dengan bunyi yang agak berdebam. Sontak, semua orang menolehkan lehernya ke arah kami termasuk para petugas perpus yang senantiasa memasang tampang masam. Sastri menahan kikik.
“Semangat banget sih,” katanya.
Only for you, queen of my heart,” tukasku.
“Gombal!”
“Oke. Kita mulai dari definisi dulu ya. Kalau menurut…”
Emang semua anak sastra jago ngegombal kayak kamu?” potongnya.
“Cuma yang bisa nulis puisi aja. Mau diterusin gak?”
“Siap pak dosen.”
“Kalau menurut Pudjiman prosa adalah ragam sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, dan kemerduan bunyi.[xi] Prosa itu lebih cenderung memakai bahasa sehari-hari. Itu kata Zaidan.[xii] Nah, kalau menurut Pudjiman lagi, di bukunya yang tipis itu, prosa berbentuk cerita rekaan.[xiii] Ini sesuai dengan Nurgiyantoro yang bilang bahwa prosa dalam kesusastraan disebut juga dengan fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif.[xiv] Namun, dalam hemat Husen, meski prosa narasi adalah teks/karya rekaan yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa, prosa narasi juga bukan monopoli karya sastra, tapi juga ditemukan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam berita.[xv]
“Sebentar-sebentar. Tadi kata kamu prosa itu fiksi. Fiksi kan cerita rekaan, khayalan. Kok bisa juga ditemukan di berita?” Sastri melancarkan protesnya.
“Sabar bu. Tunggu penjelasan saya,” kataku dengan lagak bak profesor. “Prosa itu fiksi emang bener. Fiksi atau fiction didefinisikan oleh Merriam-Webster’s sebagai literature created from the imagination, not presented as a fact, though it may be based on true story or situation.[xvi]
Tuh kan. Based on imagination. Berdasarkan imajinasi,” sergah Sastri.
Idih dibilangin sabar dulu, neng,” kataku sembari menjawil hidungnya yang bangir. “Oke, keherananmu akan dijawab oleh unsur-unsur pembangun prosa.”
“Apa aja?”    
“Kalo menurut Husen sih ada tokoh, alur, dan latar.[xvii] Menurut Sudjiman tokoh, alur, dan tema.[xviii] Nah, kata dua bule penulis Concise Companion to Literature, elemen-elemen fiksi terdiri atas plot, character, setting, point of view, theme, symbol and allegory, dan style and tone.”[xix]
“Terus?”
“Oke, coba lihat berita ini,” kataku sambil mengambil koran yang tergolek tak jauh dari kami. “Ini ada berita tentang korupsi. Ada orang yang diberitakan kan, yakni orang yang menjadi tersangka korupsi? Nah si koruptor itu menjadi tokoh. Berita itu menceritakan, dalam ragam jurnalistik tentu saja, tentang apa? Korupsi kan? Nah itu temanya. Jadi, berita, karena ada unsur-unsur yang juga ada di dalam cerita rekaan, bisa juga disebut prosa. Yang membedakan tentunya yang mendasarinya. Kalau fiksi itu dasarnya adalah imajinasi, kalau berita yang menjadi basis haruslah fakta. Gitu lho. Dah paham?”
“Oh…” bibir Sastri membentuk bulatan. Bibir itu seakan mengundang untuk dikecup. Kalau saja bukan di tempat umum seperti perpustakaan ini, mungkin sudah kulumat bibir itu.
“Oke,” Sastri melanjutkan ucapannya, “kalau gitu jelasin unsur-unsur pembangun prosa.”
“Tadi kan aku dah bilang kalau ada beberapa perbedaan unsur-unsur pembangun prosa. Tapi, yang paling sering dibahas adalah tokoh, alur, sudut pandang, latar, dan tema. Itu aja yang kamu angkat dalam makalah kamu nanti.”     
“Oke, jelasin satu-satu.”
“Kita mulai dari tokoh atau character dulu. Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya, tokoh berwujud manusia, tapi dapat juga berujud binatang atau benda yang diinsankan.[xx] Berdasarkan fungsi di dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan.[xxi] Tokoh sentral disebut pula dengan tokoh utama (main character) dan tokoh bawahan disebut juga dengan tokoh tambahan (peripheral character).[xxii] Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus di dalam cerita sehingga terasa mendominasi sebagian cerita. Sebaliknya, tokoh bawahan adalah tokoh yang dimunculkan sesekali dalam cerita.[xxiii] Tokoh ini tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukukung tokoh utama.[xxiv]
“Aku sering dengar istilah protagonis dan antagonis. Itu artinya apa?” tanya Sastri.
“Nah, itu pembedaan tokoh utama berdasarkan fungsi penampilannya. Protagonis adalah tokoh yang menimbulkan simpati dan empati pada kita selaku pembaca, yang kita kagumi. Sebutan populernya hero. Sebuah fiksi biasanya mengandung konflik yang dialami oleh tokoh protagonis. Penyebabnya adalah tokoh antagonis. Jadi, bisa dibilang antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis.[xxv] Dengan kata lain, antagonis adalah menentang utama protagonis atau disebut juga tokoh lawan.[xxvi]
“Misalnya?”
“Misalnya? Hmm apa ya?” Aku berpikir sejenak. “Kamu tahu Harry Potter, kan? Kriteria tokoh utama tadi sudah kusebutkan adalah ditampilkan terus menerus di dalam cerita, penting, dan mendominasi, iya kan? Nah, di novel itu siapa yang sesuai dengan kriteria itu?”
“Ya Harry Potter.”
“Ya, tepat. Satu juta rupiah untuk Anda,” seruku menirukan presenter di televisi. Sastri hanya memanyunkan bibirnya. “Terus kira-kira siapa yang jadi tokoh bawahannya?”
“Hermione, Ron, Dumbledore….”
Et cetera, et cetera, et cetera,” aku menyela. “Oh, itu bahasa Latin. Artinya dan lain-lain. Di bahasa Inggris biasanya ditulis etc,” aku menjelaskan demi melihat raut bingung di wajah ayu Sastri. 
   “Ada lagi tentang pembagian tokoh?”
“Berdasarkan cara menampilkan tokoh, dibagi menjadi tokoh datar dan tokoh bulat.[xxvii]  Tokoh datar (flat character) disebut juga tokoh sederhana (simple character), sementara tokoh bulat disebut juga dengan tokoh kompleks (complex character).[xxviii] Tokoh datar adalah tokoh yang diungkapkan atau disoroti satu segi wataknya saja. Sifatnya statis, dalam perkembangan cerita watak tokoh ini sedikit sekali berubah bahkan terkadang tidak berubah sama sekali.[xxix] Contohnya adalah Hermione. Dari awal cerita sampai seri Harry Potter habis Hermione tidak mengalami perubahan. Dia tetap menjadi anak yang cerdas dan setia membantu Harry Potter. Tokoh bulat, berbeda dengan tokoh datar, adalah tokoh yang yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Karenanya tokoh ini sering memberikan kejutan.[xxx] Misalnya, masih dari Harry Potter, adalah si Profeosr Snape, guru ramuan yang awalnya digambarkan benci dan sinis selalu sama Harry, tapi ternyata dia sesungguhnya sangat peduli pada Harry.”          
                “Alur itu apa?”
“Kamu tahu kan di dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dengan urutan tertentu? Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yang disebut dengan alur.[xxxi] Alur secara umum memiliki struktur awal, tengah, dan akhir. Bagian awal dibagi menjadi paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Bagian tengah dibagi menjadi tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks (climax). Bagian akhir dibagi menjadi leraian (falling action) dan selesaian (denouement).[xxxii]  
“Loh kok agak beda?”
“Sebenarnya sama saja, cuma ini lebih sederhana dari pembagian Panuti.”
“Apa alur juga ada jenis-jenisnya?”
“Kalau kata Nurgiyantoro sih plot dibedakan atas urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Berdasarkan urutan waktu alur dibagi menjadi kronologis dan tidak kronologis. Yang pertama disebut plot lurus, maju atau progresif, sedang yang kedua adalah sorot balik, mundur, flash-back, atau disebut juga regresif. Berdasarkan kriteria jumlah dibagi menjadi plot tunggal dan sub-subplot. Berdasarkan kepadatan dibagi menjadi plot padat dan plot longgar,[xxxiv]” tuturku sembari membolak-balik buku Teori Pengkajian Fiksi.
“Lantas sudut pandang itu apa?”
“Di dalam sebuah fiksi atau cerita rekaan ada orang yang menceritakan atau pencerita. Pencerita dapat merupakan salah satu tokoh di dalam cerita yang selama berkisah mengacu pada dirinya sendiri dengan kata ganti ‘aku’. Ini disebut dengan pencerita akuan. Pencerita juga dapat berada di luar cerita dan di dalam kisahannya mengacu pada tokoh-tokoh di dalam cerita dengan kata ‘dia’. Pencerita jenis ini disebut pencerita diaan.[xxxv] Jadi, pengertian sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita di dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.[xxxvi]
“Jadi, sudut pandang terbagi menjadi dua, akuan dan diaan?” Sastri bertanya sambil kibaskan rambutnya. Bau wangi samponya langsung menyergap cuping hidungku.
“Secara garis besar dibedakan menjadi dua, sudut pandang dari persona pertama atau first person alias akuan dan persona ketiga atau third person alias diaan. Kalau berdasarkan Nurgiyantoro sudut pandang yang ‘dia’ dibagi lagi menjadi ‘dia’ yang Mahatahu dan ‘dia’ yang terbatas atau ‘dia’ sebagai pengamat.  Sudut pandang yang ‘aku’ dibagi menjadi ‘aku’ yang tokoh utama dan ‘aku’ yangtokoh tambahan.[xxxvii] Tapi terkadang dalam satu buah cerita rekaan sudut pandang memakai campuran antara akuan dan diaan.”
“Oke, tokoh sudah, alur sudah, sudut pandang sudah. Nah, sekarang latar. Latar dalam fiksi itu apa?”
“Latar, menurut Husein yang mengutip Wellek dan Austin, ialah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan di dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dan dapat pula deskripsi perasaan.[xxxviii] Ya, latar juga ada pembagiannya,” aku buru-buru bersuara saat kulihat Sastri akan bertanya. Dia hanya merengut. “Latar, kata Sudjiman, terbagi menjadi dua, yakni latar sosial dan latar fisik/material. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial, dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Ada pun latar fisik adalah tempat di dalam ujud fisiknya, yakni bangunan, daerah, dan sebagainya.[xxxix] Tapi, Nurgiyantoro membedakannya menjadi tiga, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu terkait dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-persitiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi, sedangkan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.[xl]
“Nah, yang terakhir. Tema.”
“Saat kamu baca karya fiksi, sering terasa tidak bahwa pengarangnya tak sekadar ingin menyampaikan cerita saja, tapi ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita. Sesuatu konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita?” tanyaku. Sastri mengangguk. “Si pengarang membuat cerita karena dia hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra itulah yang disebut dengan tema.[xli]
 “Biar kutebak, tema juga ada penggolongannya?”
“Satu juta rupiah lagi untuk Anda. Selamat ibu. Dengan siapa di mana? Password-nya ibu?” sekali lagi aku menirukan acara kuis di televisi yang selalu menyuguhkan pertanyaan yang tolol. Kali ini Sastri tersenyum. “Tema, lagi-lagi menurut Nurgiyantoro, dibagi menjadi tema tradisional dan nontradisional dan tema utama dan tema tambahan.”[xlii]
“Silakan dijelaskan bapak,”
“Dengan senang hati ibu. Tema tradisional adalah tema yang hanya ‘itu-itu saja. Artinya, tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan di berbagai cerita, termasuk cerita lama. Seperti kebenaran dan keadilan akan mengalahkan kejahatan dan sebagainya. Tapi, ada kisah yang mungkin mengangkat sesuatu yang tidak lazim, tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan bisa jadi mengesalkan dan mengecewakan. Sesuatu itulah yang dimaksud dengan tema nontradisional.”[xliii]
“Kalau tema utama dan tema tambahan?”
“Tema pada hakikatnya adalah makna yang dikandung cerita. Tema utama atau tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum sebuah karya. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar cerita, bukan pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang terdapat di bagian-bagian tertentu cerita itulah yang disebut dengan makna tambahan atau tema minor.[xliv]
“Berarti udah semua ya? Kira-kira apa lagi yang bisa ditambahin ke makalahku?”
Aku melihat buku Atar Semi, Anantomi Sastra. Dari tadi aku belum melongok buku ini. Aku bolak-balik halamannya. Aku juga lantas membuka-buka buku Teori Pengkajian Fiksi lagi.
“Oh ya, aku lupa. Kita belum membahas pembedaan fiksi. Di kesusastraan Inggris dan Amerika, juga Indonesia, fiksi terbagi menjadi cerpen dan novel. Perbedaan antara keduanya terletak pada panjang ceritanya. Sebuah cerita yang panjang, yang sampai ratusan halaman, disebut novel. Cerpen adalah cerita yang lebih pendek, tapi seberapa pendek tidak ada ukuran yang pasti. Yang jelas, Edgar Allan Poe, sastrawan Amerika, memberi batasan pendeknya cerpen, yakni adalah cerita yang selesai dibaca sekali duduk. Artinya, sekitar setengah hingga dua jam.[xlv]
“Cuma itu?”
“Oh tentu tidak. Masih ada lagi. Kalau menurut Semi, selain fiksi yang modern seperti cerpen dan novel, masih ada bentuk fiksi yang tradisional, misalnya cerita rakyat, dongeng dan hikayat, dan epos dan mitos.[xlvi]
“Aku rasa dah cukup,” kata Sastri. “Aku lapar. Belum sarapan. Ke kantin yuk.”
  Kami pun tinggalkan perpustakaan. Di kantin, setelah semua hidangan tandas, mendadak Sastri terlihat gelisah.
“Kenapa?” tanyaku menyelidik.
“Kamu lihat dua orang berkemeja hitam yang duduk di sebelah sana?” dengan lirikan matanya Sastri menunjuk ke arah kanan dirinya. “Jangan menoleh,” katanya begitu aku hendak memalingkan wajah. Aku pura-pura menjatuhkan sendok. Saat mengambil, dengan cepat aku melihat siapa orang-orang yang dimaksud Sastri. Terletak dua meja dari kami, duduk dua pria berpakaian serba hitam. Keduanya bertubuh tegap, berbadan gelap. Yang satu berkemeja panjang hitam, sementara yang lainnya memakai safari hitam lengan pendek. Si safari hitam memakai topi pet warna hitam tanpa ada tulisan apa pun. Keduanya berambut keriting, tapi aku menduga si safari hitam memakai topi untuk menutupi kriwilnya yang mulai rontok.
“Biar aku hampiri mereka,” kataku. Sok jagoan.
“Jangan!” cegah Sastri. Tangannya memegang lenganku. “Sepertinya mereka sudah dua hari ini membuntutiku. Kemarin aku melihat mereka di kampus. Begitu juga waktu aku pulang saat turun dari mobil dan hendak membuka pintu pagar.”
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Entahlah.”
“Ya sudah kita pulang saja. Aku antar kamu. Biar aku yang nyetir.”
Kami tinggalkan kantin. Kami berusaha bertingkah senormal mungkin. Berjalan sebiasa mungkin ke parkiran sembari bergenggaman. Dengan dada penuh degup, aku starter mobil. Belum ada tanda-tanda kedua pria hitam-hitam itu membuntuti kami. Dengan agak ngebut, Honda Jazz berwarna merah yang kami tumpangi tinggalkan kampus.
Rumah Sastri bukan di pusat kota, tapi di pinggiran kota. Bahkan, bisa dibilang daerahnya masih termasuk kampung. Masih banyak pepohonan, masih banyak tanah-tanah kosong. Daerahnya masih tergolong sepi. Saat memasuki kawasan yang masih sepi itulah hatiku yang setelah meninggalkan kampus dan masih di jalan raya agak tenang mulai kebat-kebit kembali. Saat di jalan raya yang ramai tidak terlihat adanya upaya pembuntutan. Tapi, saat rumah Sastri hanya berjarak kurang satu kilometer lagi, ketika di sisi kiri dan kanan hanya ada lahan-lahan kosong dan mobil kamilah satu-satunya kendaraan yang melaju, mendadak dari arah belakang tampak mendekat motor dengan kecepatan tinggi. Aku ketahui itu dari spion. Reflek, aku menoleh ke belakang.
“Ada apa?” tanya Sastri. Sontak dia pun ikut melongok ke belakang. “Apa itu mereka?”
Belum sempat aku menjawab, tahu-tahu motor itu sudah ada di sisi kanan mobil yang kukemudikan.
“Berhenti,” teriak pria yang membonceng. Si kemeja hitam lengan panjang.
Aku tak hiraukan.
“Berhenti atau saya tembak,” ancam si lengan panjang. Dia keluarkan sepucuk pistol. Sebuah revolver.
Aku tekan pedal gas sedalam mungkin. Mobil kami melaju. Motor itu tertinggal, tapi lantas mengejar. Dor. Dor. Terdengar dua kali tembakan. Kaca belakang pecah. Sastri menjerit. Dor. Sekali lagi pistol itu menyalak. Dar. Terdengar ban belakang sisi kiri meletus. Mobil berjalan oleng. Aku kehilangan kendali. Aku injak rem kuat-kuat. Tapi ternyata mobil malah terbanting ke arah kanan, keluar jalanan, dan menabrak pepohonan. Air bag langsung terkembang begitu moncong mobil mencium pohon. Dengan panik, aku tekan kantung udara itu agar kempis. Aku terperanjat. Sastri sudah tidak ada lagi di sisiku. Air bag-nya tampak pecah. Ada ceceran darah. Pintu mobil sisi kiri terbuka. Apa aku tadi pingsan? Mengapa aku tak dengar apa-apa? Mestinya aku mendengar Sastri berteriak-teriak. Kulepaskan sabuk pengaman dengan susah payah. Pintu mobil pun tak bisa kubuka. Aku keluar melalui pintu penumpang, tempat Sastri tadi duduk.   
Kuedarkan pandangan ke sekeliling dengan nanar. Tak seorang pun tampak. Kelihatannya aku sendirian di tengah-tengah kehampaan. Langit yang kelam mulai bergumam. 
“Sastri…” aku berteriak memanggil. Gumaman langit makin riuh berubah menjadi gemuruh. Senyap. Tak terdengar jawab. Awan bunting mulai kontraksi, luncurkan rinai ke bumi.
“Sastri…” sekali lagi kuteriakkan namanya. Tirai rinai yang tipis menggila menghebat. Kucuran langit semakin lebat. Aku berdiri mematung. Dunia terasa makin murung. Kilat meraung-raung.
“SASTRIIIII…”



*             *             *

“Pak, pak bangun…” istriku menguncang-guncangkan bahuku. Aku terkesiap menggelagap. “Kau mengigau. Siapa itu Sastri? Selingkuhanmu? Dari tadi kok manggil-manggil nama dia?” berondong istriku penuh curiga berbalut cemburu.
Aku longok jam dinding. Sial aku terlambat. Aku ada jadwal mengajar jam pertama hari ini. Penulisan kreatif. Hari ini akan membahas prosa. Dengan mengabaikan rentetan kebawelan istriku aku bergegas ke kamar mandi sembari memikirkan takwil mimpi tadi.   


  
   
                                    


[1] Bahan Kuliah Writing III Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
[2] Pensyarah, Pengarang, Penerjemah, dan Penyunting Buku Profesional. Saat masih duduk di bangku Madrasah Aliyah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, cerpennya yang berjudul Surat untuk Ragil pernah keluar sebagai juara satu lomba penulisan cerpen yang diadakan sekolahnya pada 1994. Sering menerjemahkan dan menyunting terjemahan novel. Salah satu novel terjemahannya yang berjudul Humaira, Ibunda Kaum Beriman (Zaman, 2010) masuk nominasi buku terjemahan terbaik di Indonesia Islamic Book Fair 2011.


[i] James H. Pickering and Jeffrey D. Hoeper, Concise Companion to Literature (New York: Macmillan Publishing, 1981).
[ii] M. Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang: Angkasa Raya, 1988).
[iii] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995).
[iv] Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi (Yogyakarta: Gama Media, 2000).
[v] Maneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta (Peny.), Membaca Sastra : Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi (Magelang: Indonesiatera, 2002).
[vi] Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992).
[vii] Merriam-Webter’s Encyclopedia of Literature (Springfield, Massachusetts, Merriam-Webster Inc., 1995).
[viii] Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: UI Press, 1990).
[ix] Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
[x] Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra (Yogyakarta: Kanisius, 1998).
[xi] Panuti Sudjiman, Op. Cit, 1990, hal. 63-64.
[xii] Abdul Rozak Zaidan, Anita K. Rustapa, dan Hani’ah, Op. Cit, hal. 157.
[xiii] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 11.
[xiv] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 2
[xv] Ida Sundari Husen, “Prosa: Struktur Narasi,” dalam Maneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta (Peny.), Op. Cit, hal. 77.
[xvi]  Merriam-Webter’s Encyclopedia of Literature, hal. 414.
[xvii]  Ida Sundari Husen, Op. Cit., hal. 85.
[xviii] Panuti Sudjiman, Loc. Cit.
[xix] James H. Pickering and Jeffrey D. Hoeper, 1981.
[xx] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 16.
[xxi] Ibid, hal. 17
[xxii] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 176
[xxiii] Ibid.
[xxiv] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992.
[xxv] Ibid., 178-179.
[xxvi] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 19.
[xxvii] Ibid, hal. 20.
[xxviii] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 181.
[xxix] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 20-21.
[xxx] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 183.
[xxxi] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 29.
[xxxii] Ibid, hal. 30
[xxxiii] James H. Pickering and Jeffrey D. Hoeper, Op. Cit., hal. 16
[xxxiv] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 153-162.
[xxxv] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 70.  
[xxxvi] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 248.
[xxxvii] Ibid, hal. 256-266.
[xxxviii] Ida Sundari Husen, Op. Cit., hal. 86.
[xxxix] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 44.   
[xl] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 227-233.
[xli] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 50.    
[xlii] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 77.
[xliii] Ibid., 77-79.
[xliv] Ibid, hal. 82-83.
[xlv] Ibid, hal. 9-10.
[xlvi] Atar Semi, Op. Cit., hal 79-80.

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima kasih atas ilmu yang amat sangat menghibur pak. Semoga kembali bertemu Sastri di dalam mimpi.

Valka mengatakan...

Hahaha.. endingnya menghibur banget pak. Saya ketawa. Saya suka banget dengan cerpennya, menceritakan seluk beluk soal sastra tapi dengan cara yg tidak biasa. Saking serunya, saya gak berasa kayak baca teori2 tentang fiksi tetapi selepas baca cerpen bapak ilmu saya jadi makin bertambah. Gaya bercerita bapak yg memasukkan teori2 ttg suatu ilmu menginspirasi saya untuk melakukan hal serupa, tentu dengan bahasan yg berbeda. Terima kasih pak 😀 ngomong2 di akhir cerita kenapa seakan2 bapak ya yg jadi tokoh utama di cerpen ini? Nanti malem mau mimpiin sastri ah. Ahaha

Hilmi Akmal mengatakan...

Valka, Kata siapa sy tokoh utamanya? ingat ini cuma 'fiksi' :)

Valka mengatakan...

Iya pak saya paham kalo itu fiksi. Maksudnya di ending kan si tokoh utama mau siap2 berangkat buat ngajar writing, nah saya jd keinget bapak. Seakan2 si penulislah tokoh utama suatu cerita meski nyatanya gak demikian. Ada beberapa penulis yg kadang2 menyiratkan mereka sendirilah tokoh utama cerita itu padahal bisa jadi bukan. Misalnya kayak slh satu cerpen di buku kumpulan Hidup Berawal dari Mimpi. Pas sy baca, kok kayak pengalaman si penulis ya? Padahal mah bukan.

Posting Komentar