Sastri
Sebuah Narasi tentang Prosa[1]
Hilmi Akmal[2]
Hari
ini mentari agak enggan menunaikan tugasnya. Tak ada semburat terik di kaki
langit. Yang ada hanya kelabu, mengepung di segenap penjuru. Warna yang sama
tampak di wajah Sastri. Sedari tadi kulihat dia hanya diam bermutung saat
kujumpai dirinya di perpustakaan, tempat kami biasa ber-rendezvous.
“Ada
apa? Kok bermuram durja?” tanyaku
“Ini
ada tugas”
“Loh
biasa toh? Mahasiswi dapat tugas?
“Tapi
ini agak sulit. Tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar. Aku akan anak psikologi.”
“Memang
apa tugasnya?”
“Buat
makalah tentang prosa.”
Aku berusaha menahan senyum. Sekelumit kenangan
berkelebat di benakku saat pertama kali bersua dengannya. Saat itu di
perpustakaan juga, hanya saja cuacanya lebih cerah dari hari ini. Langkahku
terhenti saat keluar dari rak bagian buku-buku psikologi. Pandanganku tertumbuk
pada pemandangan di depanku. Di bagian meja panjang yang biasa untuk membaca
buku, duduk seorang ciptaan Tuhan yang luar biasa cantik. Dari arahku berdiri,
aku bisa melihat sisi kiri wajahnya. Hidungnya bangir, alisnya lebat, matanya
indah. Tapi, yang paling menyita perhatianku adalah rambutnya yang panjang
sebahu yang dibiarkannya tergerai. Aku dekati dirinya. Menarik kursi di samping
kanannya, dan mulai duduk membaca buku The
Interpretation of Dream-nya Sigmund Freud yang kuambil dari rak. Selang
beberapa menit, aku berdehem dan mulai melancarkan seranganku.
“Maaf,
kamu anak psikologi?” tanyaku.
Perempuan itu menoleh. Ada rona terganggu di
parasnya, tapi kemudian dia mengangguk.
“Sorry kalau ganggu, tapi aku kurang
paham soal id, ego, dan superego-nya
Freud. Kamu bisa jelasin?” Padahal,
aku sudah sangat mafhum dengan pemikiran Freud itu.
Tak dinyana otot-otot di mulut makhluk manis
ciptaan Tuhan itu membentuk sunggingan senyum. “Jurusanmu apa?” tanyanya
“Sastra
Inggris.”
“Emang di sastra belajar Freud juga?”
“Iya.
Nama mata kuliahnya psikologi sastra.”
Percakapan pun berlanjut. Singkat kata, kami
saling berkenalan dan bertukar nomor seluler. Tak sampai satu bulan, lengkap
sudah aku menjadi pemilik hatinya.
“Hei,
kok malah bengong?” tegur Sastri
membuyarkan kenangan.
“Eh
gak papa kok,” kataku sedikit
gelagapan. “Tentang prosa? Ah kecil itu. Just
give me a minute.”
Aku bergegas menuju rak bagian buku-buku
sastra. Setelah memelototi beberapa judul, aku raih Concise Companion to Literature-nya Pickering and Hoeper[i], Anatomi Sastra karya Semi[ii],
Teori Pengkajian Fiksi tulisan
Nurgiyantoro[iii],
Berkenalan dengan Prosa buah pikir
Sayuti[iv],
Membaca Sastra-nya dosen-dosen sastra
Universitas Indonesia[v],
dan tak lupa buku Sudjiman yang mungil bertajuk Memahami Cerita Rekaan[vi].
Tak lupa aku mampir ke bagian referensi. Kucomot Merriam-Webster’s Encyclopedia of Literature[vii]
dan tiga kamus istilah sastra karya anak negeri, masing-masing karya
Sudjiman[viii],
Zaidan dan kawan-kawan[ix],
dan Hartoko dan Rahmanto[x].
Kutaruh di meja semuanya dengan bunyi yang agak berdebam. Sontak, semua orang
menolehkan lehernya ke arah kami termasuk para petugas perpus yang senantiasa
memasang tampang masam. Sastri menahan kikik.
“Semangat banget sih,” katanya.
“Only
for you, queen of my heart,” tukasku.
“Gombal!”
“Oke. Kita mulai dari definisi dulu
ya. Kalau menurut…”
“Emang
semua anak sastra jago ngegombal kayak kamu?” potongnya.
“Cuma yang bisa nulis puisi aja. Mau
diterusin gak?”
“Siap pak dosen.”
“Kalau menurut Pudjiman prosa adalah
ragam sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama,
rima, dan kemerduan bunyi.[xi]
Prosa itu lebih cenderung memakai bahasa sehari-hari. Itu kata Zaidan.[xii]
Nah, kalau menurut Pudjiman lagi, di bukunya yang tipis itu, prosa berbentuk
cerita rekaan.[xiii]
Ini sesuai dengan Nurgiyantoro yang bilang bahwa prosa dalam kesusastraan
disebut juga dengan fiksi (fiction),
teks naratif (narrative text) atau wacana
naratif.[xiv]
Namun, dalam hemat Husen, meski prosa narasi adalah teks/karya rekaan yang
tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau
sederetan peristiwa, prosa narasi juga bukan monopoli karya sastra, tapi juga
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari misalnya dalam berita.[xv]”
“Sebentar-sebentar. Tadi kata kamu
prosa itu fiksi. Fiksi kan cerita rekaan, khayalan. Kok bisa juga ditemukan di berita?” Sastri melancarkan protesnya.
“Sabar bu. Tunggu penjelasan saya,”
kataku dengan lagak bak profesor. “Prosa itu fiksi emang bener. Fiksi atau fiction
didefinisikan oleh Merriam-Webster’s
sebagai literature created from the
imagination, not presented as a fact, though it may be based on true story or
situation.”[xvi]
“Tuh
kan. Based on imagination.
Berdasarkan imajinasi,” sergah Sastri.
“Idih
dibilangin sabar dulu, neng,” kataku
sembari menjawil hidungnya yang bangir. “Oke, keherananmu akan dijawab oleh
unsur-unsur pembangun prosa.”
“Apa aja?”
“Kalo menurut Husen sih ada tokoh,
alur, dan latar.[xvii]
Menurut Sudjiman tokoh, alur, dan tema.[xviii]
Nah, kata dua bule penulis Concise
Companion to Literature, elemen-elemen fiksi terdiri atas plot, character, setting, point of view, theme, symbol and allegory, dan style
and tone.”[xix]
“Terus?”
“Oke, coba lihat berita ini,” kataku
sambil mengambil koran yang tergolek tak jauh dari kami. “Ini ada berita
tentang korupsi. Ada orang yang diberitakan kan, yakni orang yang menjadi
tersangka korupsi? Nah si koruptor itu menjadi tokoh. Berita itu menceritakan,
dalam ragam jurnalistik tentu saja, tentang apa? Korupsi kan? Nah itu temanya.
Jadi, berita, karena ada unsur-unsur yang juga ada di dalam cerita rekaan, bisa
juga disebut prosa. Yang membedakan tentunya yang mendasarinya. Kalau fiksi itu
dasarnya adalah imajinasi, kalau berita yang menjadi basis haruslah fakta. Gitu lho.
Dah paham?”
“Oh…” bibir Sastri membentuk
bulatan. Bibir itu seakan mengundang untuk dikecup. Kalau saja bukan di tempat
umum seperti perpustakaan ini, mungkin sudah kulumat bibir itu.
“Oke,” Sastri melanjutkan ucapannya,
“kalau gitu jelasin unsur-unsur pembangun prosa.”
“Tadi kan aku dah bilang kalau ada
beberapa perbedaan unsur-unsur pembangun prosa. Tapi, yang paling sering
dibahas adalah tokoh, alur, sudut pandang, latar, dan tema. Itu aja yang kamu angkat dalam makalah kamu
nanti.”
“Oke, jelasin satu-satu.”
“Kita mulai dari tokoh atau character dulu. Tokoh ialah individu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa
cerita. Pada umumnya, tokoh berwujud manusia, tapi dapat juga berujud binatang
atau benda yang diinsankan.[xx]
Berdasarkan fungsi di dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral dan
tokoh bawahan.[xxi]
Tokoh sentral disebut pula dengan tokoh utama (main character) dan tokoh bawahan disebut juga dengan tokoh
tambahan (peripheral character).[xxii]
Tokoh utama adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus
di dalam cerita sehingga terasa mendominasi sebagian cerita. Sebaliknya, tokoh
bawahan adalah tokoh yang dimunculkan sesekali dalam cerita.[xxiii]
Tokoh ini tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk menunjang atau mendukukung tokoh utama.[xxiv]”
“Aku sering dengar istilah
protagonis dan antagonis. Itu artinya apa?” tanya Sastri.
“Nah, itu pembedaan tokoh utama
berdasarkan fungsi penampilannya. Protagonis adalah tokoh yang menimbulkan
simpati dan empati pada kita selaku pembaca, yang kita kagumi. Sebutan
populernya hero. Sebuah fiksi biasanya mengandung konflik yang dialami oleh
tokoh protagonis. Penyebabnya adalah tokoh antagonis. Jadi, bisa dibilang
antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis.[xxv]
Dengan kata lain, antagonis adalah menentang utama protagonis atau disebut juga
tokoh lawan.[xxvi]”
“Misalnya?”
“Misalnya? Hmm apa ya?” Aku berpikir
sejenak. “Kamu tahu Harry Potter,
kan? Kriteria tokoh utama tadi sudah kusebutkan adalah ditampilkan terus
menerus di dalam cerita, penting, dan mendominasi, iya kan? Nah, di novel itu
siapa yang sesuai dengan kriteria itu?”
“Ya Harry Potter.”
“Ya, tepat. Satu juta rupiah untuk
Anda,” seruku menirukan presenter di televisi. Sastri hanya memanyunkan
bibirnya. “Terus kira-kira siapa yang jadi tokoh bawahannya?”
“Hermione, Ron, Dumbledore….”
“Et
cetera, et cetera, et cetera,” aku menyela. “Oh, itu bahasa
Latin. Artinya dan lain-lain. Di bahasa Inggris biasanya ditulis etc,” aku menjelaskan demi melihat raut
bingung di wajah ayu Sastri.
“Ada
lagi tentang pembagian tokoh?”
“Berdasarkan cara menampilkan tokoh,
dibagi menjadi tokoh datar dan tokoh bulat.[xxvii] Tokoh datar (flat character) disebut juga tokoh sederhana (simple character), sementara tokoh bulat disebut juga dengan tokoh
kompleks (complex character).[xxviii]
Tokoh datar adalah tokoh yang diungkapkan atau disoroti satu segi wataknya
saja. Sifatnya statis, dalam perkembangan cerita watak tokoh ini sedikit sekali
berubah bahkan terkadang tidak berubah sama sekali.[xxix]
Contohnya adalah Hermione. Dari awal cerita sampai seri Harry Potter habis
Hermione tidak mengalami perubahan. Dia tetap menjadi anak yang cerdas dan
setia membantu Harry Potter. Tokoh bulat, berbeda dengan tokoh datar, adalah
tokoh yang yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Karenanya tokoh ini sering
memberikan kejutan.[xxx]
Misalnya, masih dari Harry Potter, adalah si Profeosr Snape, guru ramuan yang
awalnya digambarkan benci dan sinis selalu sama Harry, tapi ternyata dia
sesungguhnya sangat peduli pada Harry.”
“Alur itu apa?”
“Kamu tahu kan di dalam sebuah cerita
rekaan berbagai peristiwa disajikan dengan urutan tertentu? Peristiwa yang
diurutkan itu membangun tulang punggung cerita yang disebut dengan alur.[xxxi]
Alur secara umum memiliki struktur awal, tengah, dan akhir. Bagian awal dibagi
menjadi paparan (exposition), rangsangan (inciting
moment), dan gawatan (rising action).
Bagian tengah dibagi menjadi tikaian (conflict),
rumitan (complication), dan klimaks (climax). Bagian akhir dibagi menjadi
leraian (falling action) dan selesaian (denouement).[xxxii]
“Loh kok agak beda?”
“Sebenarnya sama saja, cuma ini
lebih sederhana dari pembagian Panuti.”
“Apa alur juga ada jenis-jenisnya?”
“Kalau kata Nurgiyantoro sih plot dibedakan atas urutan waktu,
jumlah, dan kepadatan. Berdasarkan urutan waktu alur dibagi menjadi kronologis
dan tidak kronologis. Yang pertama disebut plot lurus, maju atau progresif,
sedang yang kedua adalah sorot balik, mundur, flash-back, atau disebut juga regresif. Berdasarkan kriteria jumlah
dibagi menjadi plot tunggal dan sub-subplot. Berdasarkan kepadatan dibagi menjadi
plot padat dan plot longgar,[xxxiv]”
tuturku sembari membolak-balik buku Teori
Pengkajian Fiksi.
“Lantas sudut pandang itu apa?”
“Di dalam sebuah fiksi atau cerita
rekaan ada orang yang menceritakan atau pencerita. Pencerita dapat merupakan
salah satu tokoh di dalam cerita yang selama berkisah mengacu pada dirinya
sendiri dengan kata ganti ‘aku’. Ini disebut dengan pencerita akuan. Pencerita
juga dapat berada di luar cerita dan di dalam kisahannya mengacu pada
tokoh-tokoh di dalam cerita dengan kata ‘dia’. Pencerita jenis ini disebut
pencerita diaan.[xxxv]
Jadi, pengertian sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
di dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.[xxxvi]”
“Jadi, sudut pandang terbagi menjadi
dua, akuan dan diaan?” Sastri bertanya sambil kibaskan rambutnya. Bau wangi
samponya langsung menyergap cuping hidungku.
“Secara garis besar dibedakan
menjadi dua, sudut pandang dari persona pertama atau first person alias akuan
dan persona ketiga atau third person alias diaan. Kalau berdasarkan
Nurgiyantoro sudut pandang yang ‘dia’ dibagi lagi menjadi ‘dia’ yang Mahatahu
dan ‘dia’ yang terbatas atau ‘dia’ sebagai pengamat. Sudut pandang yang ‘aku’ dibagi menjadi ‘aku’
yang tokoh utama dan ‘aku’ yangtokoh tambahan.[xxxvii]
Tapi terkadang dalam satu buah cerita rekaan sudut pandang memakai campuran
antara akuan dan diaan.”
“Oke, tokoh sudah, alur sudah, sudut
pandang sudah. Nah, sekarang latar. Latar dalam fiksi itu apa?”
“Latar, menurut Husein yang mengutip
Wellek dan Austin, ialah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana
terjadinya lakuan di dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik,
realistis, dokumenter, dan dapat pula deskripsi perasaan.[xxxviii]
Ya, latar juga ada pembagiannya,” aku buru-buru bersuara saat kulihat Sastri
akan bertanya. Dia hanya merengut. “Latar, kata Sudjiman, terbagi menjadi dua,
yakni latar sosial dan latar fisik/material. Latar sosial mencakup penggambaran
keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial, dan sikapnya, adat kebiasaan,
cara hidup, bahasa, dan lain-lain. Ada pun latar fisik adalah tempat di dalam
ujud fisiknya, yakni bangunan, daerah, dan sebagainya.[xxxix]
Tapi, Nurgiyantoro membedakannya menjadi tiga, yakni latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu terkait dengan masalah
‘kapan’ terjadinya peristiwa-persitiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi, sedangkan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.[xl]”
“Nah, yang terakhir. Tema.”
“Saat kamu baca karya fiksi, sering terasa
tidak bahwa pengarangnya tak sekadar ingin menyampaikan cerita saja, tapi ada
sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita. Sesuatu konsep sentral yang
dikembangkan dalam cerita?” tanyaku. Sastri mengangguk. “Si pengarang membuat
cerita karena dia hendak mengemukakan suatu gagasan. Gagasan, ide, atau pikiran
utama yang mendasari suatu karya sastra itulah yang disebut dengan tema.[xli]”
“Biar kutebak, tema juga ada penggolongannya?”
“Satu juta rupiah lagi untuk Anda.
Selamat ibu. Dengan siapa di mana? Password-nya
ibu?” sekali lagi aku menirukan acara kuis di televisi yang selalu menyuguhkan
pertanyaan yang tolol. Kali ini Sastri tersenyum. “Tema, lagi-lagi menurut
Nurgiyantoro, dibagi menjadi tema tradisional dan nontradisional dan tema utama
dan tema tambahan.”[xlii]
“Silakan dijelaskan bapak,”
“Dengan senang hati ibu. Tema
tradisional adalah tema yang hanya ‘itu-itu saja. Artinya, tema itu telah lama
dipergunakan dan dapat ditemukan di berbagai cerita, termasuk cerita lama.
Seperti kebenaran dan keadilan akan mengalahkan kejahatan dan sebagainya. Tapi,
ada kisah yang mungkin mengangkat sesuatu yang tidak lazim, tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan bisa jadi
mengesalkan dan mengecewakan. Sesuatu itulah yang dimaksud dengan tema
nontradisional.”[xliii]
“Kalau tema utama dan tema
tambahan?”
“Tema pada hakikatnya adalah makna
yang dikandung cerita. Tema utama atau tema mayor adalah makna pokok cerita
yang menjadi dasar atau gagasan umum sebuah karya. Makna pokok cerita tersirat
dalam sebagian besar cerita, bukan pada bagian-bagian tertentu cerita saja.
Makna yang terdapat di bagian-bagian tertentu cerita itulah yang disebut dengan
makna tambahan atau tema minor.[xliv]”
“Berarti udah semua ya? Kira-kira apa lagi yang bisa ditambahin ke makalahku?”
Aku melihat buku Atar Semi, Anantomi Sastra. Dari tadi aku belum
melongok buku ini. Aku bolak-balik halamannya. Aku juga lantas membuka-buka
buku Teori Pengkajian Fiksi lagi.
“Oh ya, aku lupa. Kita belum
membahas pembedaan fiksi. Di kesusastraan Inggris dan Amerika, juga Indonesia, fiksi
terbagi menjadi cerpen dan novel. Perbedaan antara keduanya terletak pada
panjang ceritanya. Sebuah cerita yang panjang, yang sampai ratusan halaman,
disebut novel. Cerpen adalah cerita yang lebih pendek, tapi seberapa pendek
tidak ada ukuran yang pasti. Yang jelas, Edgar Allan Poe, sastrawan Amerika, memberi
batasan pendeknya cerpen, yakni adalah cerita yang selesai dibaca sekali duduk.
Artinya, sekitar setengah hingga dua jam.[xlv]”
“Cuma itu?”
“Oh tentu tidak. Masih ada lagi. Kalau
menurut Semi, selain fiksi yang modern seperti cerpen dan novel, masih ada bentuk
fiksi yang tradisional, misalnya cerita rakyat, dongeng dan hikayat, dan epos
dan mitos.[xlvi]”
“Aku rasa dah cukup,” kata Sastri.
“Aku lapar. Belum sarapan. Ke kantin yuk.”
Kami
pun tinggalkan perpustakaan. Di kantin, setelah semua hidangan tandas, mendadak
Sastri terlihat gelisah.
“Kenapa?” tanyaku menyelidik.
“Kamu lihat dua orang berkemeja
hitam yang duduk di sebelah sana?” dengan lirikan matanya Sastri menunjuk ke
arah kanan dirinya. “Jangan menoleh,” katanya begitu aku hendak memalingkan
wajah. Aku pura-pura menjatuhkan sendok. Saat mengambil, dengan cepat aku
melihat siapa orang-orang yang dimaksud Sastri. Terletak dua meja dari kami,
duduk dua pria berpakaian serba hitam. Keduanya bertubuh tegap, berbadan gelap.
Yang satu berkemeja panjang hitam, sementara yang lainnya memakai safari hitam
lengan pendek. Si safari hitam memakai topi pet warna hitam tanpa ada tulisan
apa pun. Keduanya berambut keriting, tapi aku menduga si safari hitam memakai
topi untuk menutupi kriwilnya yang mulai rontok.
“Biar aku hampiri mereka,” kataku.
Sok jagoan.
“Jangan!” cegah Sastri. Tangannya
memegang lenganku. “Sepertinya mereka sudah dua hari ini membuntutiku. Kemarin
aku melihat mereka di kampus. Begitu juga waktu aku pulang saat turun dari
mobil dan hendak membuka pintu pagar.”
“Siapa mereka?” tanyaku.
“Entahlah.”
“Ya sudah kita pulang saja. Aku
antar kamu. Biar aku yang nyetir.”
Kami tinggalkan kantin. Kami
berusaha bertingkah senormal mungkin. Berjalan sebiasa mungkin ke parkiran
sembari bergenggaman. Dengan dada penuh degup, aku starter mobil. Belum ada
tanda-tanda kedua pria hitam-hitam itu membuntuti kami. Dengan agak ngebut, Honda Jazz berwarna merah yang
kami tumpangi tinggalkan kampus.
Rumah Sastri bukan di pusat kota,
tapi di pinggiran kota. Bahkan, bisa dibilang daerahnya masih termasuk kampung.
Masih banyak pepohonan, masih banyak tanah-tanah kosong. Daerahnya masih
tergolong sepi. Saat memasuki kawasan yang masih sepi itulah hatiku yang
setelah meninggalkan kampus dan masih di jalan raya agak tenang mulai
kebat-kebit kembali. Saat di jalan raya yang ramai tidak terlihat adanya upaya
pembuntutan. Tapi, saat rumah Sastri hanya berjarak kurang satu kilometer lagi,
ketika di sisi kiri dan kanan hanya ada lahan-lahan kosong dan mobil kamilah
satu-satunya kendaraan yang melaju, mendadak dari arah belakang tampak mendekat
motor dengan kecepatan tinggi. Aku ketahui itu dari spion. Reflek, aku menoleh
ke belakang.
“Ada apa?” tanya Sastri. Sontak dia
pun ikut melongok ke belakang. “Apa itu mereka?”
Belum sempat aku menjawab, tahu-tahu
motor itu sudah ada di sisi kanan mobil yang kukemudikan.
“Berhenti,” teriak pria yang
membonceng. Si kemeja hitam lengan panjang.
Aku tak hiraukan.
“Berhenti atau saya tembak,” ancam
si lengan panjang. Dia keluarkan sepucuk pistol. Sebuah revolver.
Aku tekan pedal gas sedalam mungkin.
Mobil kami melaju. Motor itu tertinggal, tapi lantas mengejar. Dor. Dor.
Terdengar dua kali tembakan. Kaca belakang pecah. Sastri menjerit. Dor. Sekali
lagi pistol itu menyalak. Dar. Terdengar ban belakang sisi kiri meletus. Mobil
berjalan oleng. Aku kehilangan kendali. Aku injak rem kuat-kuat. Tapi ternyata
mobil malah terbanting ke arah kanan, keluar jalanan, dan menabrak pepohonan. Air bag langsung terkembang begitu
moncong mobil mencium pohon. Dengan panik, aku tekan kantung udara itu agar
kempis. Aku terperanjat. Sastri sudah tidak ada lagi di sisiku. Air bag-nya
tampak pecah. Ada ceceran darah. Pintu mobil sisi kiri terbuka. Apa aku tadi
pingsan? Mengapa aku tak dengar apa-apa? Mestinya aku mendengar Sastri
berteriak-teriak. Kulepaskan sabuk pengaman dengan susah payah. Pintu mobil pun
tak bisa kubuka. Aku keluar melalui pintu penumpang, tempat Sastri tadi duduk.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling
dengan nanar. Tak seorang pun tampak. Kelihatannya aku sendirian di
tengah-tengah kehampaan. Langit yang kelam mulai bergumam.
“Sastri…” aku berteriak memanggil.
Gumaman langit makin riuh berubah menjadi gemuruh. Senyap. Tak terdengar jawab.
Awan bunting mulai kontraksi, luncurkan rinai ke bumi.
“Sastri…” sekali lagi kuteriakkan
namanya. Tirai rinai yang tipis menggila menghebat. Kucuran langit semakin
lebat. Aku berdiri mematung. Dunia terasa makin murung. Kilat meraung-raung.
“SASTRIIIII…”
* * *
“Pak, pak bangun…” istriku
menguncang-guncangkan bahuku. Aku terkesiap menggelagap. “Kau mengigau. Siapa
itu Sastri? Selingkuhanmu? Dari tadi kok manggil-manggil nama dia?” berondong
istriku penuh curiga berbalut cemburu.
Aku longok jam dinding. Sial aku
terlambat. Aku ada jadwal mengajar jam pertama hari ini. Penulisan kreatif.
Hari ini akan membahas prosa. Dengan mengabaikan rentetan kebawelan istriku aku
bergegas ke kamar mandi sembari memikirkan takwil mimpi tadi.
[1]
Bahan Kuliah Writing III
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta
[2]
Pensyarah, Pengarang,
Penerjemah, dan Penyunting Buku Profesional. Saat masih duduk di bangku Madrasah
Aliyah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, cerpennya yang berjudul Surat untuk Ragil pernah keluar sebagai
juara satu lomba penulisan cerpen yang diadakan sekolahnya pada 1994. Sering
menerjemahkan dan menyunting terjemahan novel. Salah satu novel terjemahannya
yang berjudul Humaira, Ibunda Kaum
Beriman (Zaman, 2010) masuk nominasi buku terjemahan terbaik di Indonesia
Islamic Book Fair 2011.
[i] James H. Pickering and Jeffrey D.
Hoeper, Concise Companion to Literature
(New York: Macmillan Publishing, 1981).
[ii] M. Atar Semi, Anatomi Sastra (Padang: Angkasa Raya, 1988).
[iii] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1995).
[iv] Suminto A. Sayuti, Berkenalan dengan Prosa Fiksi (Yogyakarta:
Gama Media, 2000).
[v] Maneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I
Made Suparta (Peny.), Membaca Sastra :
Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi (Magelang: Indonesiatera,
2002).
[vi] Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1992).
[vii] Merriam-Webter’s Encyclopedia of Literature (Springfield, Massachusetts, Merriam-Webster
Inc., 1995).
[viii] Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra (Jakarta: UI Press,
1990).
[ix] Abdul Rozak Zaidan, Anita K.
Rustapa, dan Hani’ah, Kamus Istilah
Sastra (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
[x] Dick Hartoko dan B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra (Yogyakarta:
Kanisius, 1998).
[xi] Panuti Sudjiman, Op. Cit, 1990, hal. 63-64.
[xii] Abdul Rozak Zaidan, Anita K.
Rustapa, dan Hani’ah, Op. Cit, hal.
157.
[xiii] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 11.
[xiv] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 2
[xv] Ida Sundari Husen, “Prosa: Struktur
Narasi,” dalam Maneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta (Peny.), Op. Cit, hal. 77.
[xvi] Merriam-Webter’s
Encyclopedia of Literature, hal. 414.
[xvii] Ida Sundari Husen, Op. Cit.,
hal. 85.
[xviii] Panuti Sudjiman, Loc. Cit.
[xix] James H. Pickering and Jeffrey D.
Hoeper, 1981.
[xx] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 16.
[xxiv] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992.
[xxvi] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 19.
[xxix] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 20-21.
[xxx] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 183.
[xxxi] Panuti Sudjiman, Op. Cit., 1992, hal 29.
[xxxiii] James H. Pickering and Jeffrey D.
Hoeper, Op. Cit., hal. 16
[xxxiv] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 153-162.
[xxxvi] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 248.
[xxxviii] Ida Sundari Husen, Op. Cit., hal. 86.
[xl] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 227-233.
[xlii] Burhan Nurgiyantoro, Op. Cit., hal. 77.
[xlvi] Atar Semi, Op. Cit., hal 79-80.
4 komentar:
Terima kasih atas ilmu yang amat sangat menghibur pak. Semoga kembali bertemu Sastri di dalam mimpi.
Hahaha.. endingnya menghibur banget pak. Saya ketawa. Saya suka banget dengan cerpennya, menceritakan seluk beluk soal sastra tapi dengan cara yg tidak biasa. Saking serunya, saya gak berasa kayak baca teori2 tentang fiksi tetapi selepas baca cerpen bapak ilmu saya jadi makin bertambah. Gaya bercerita bapak yg memasukkan teori2 ttg suatu ilmu menginspirasi saya untuk melakukan hal serupa, tentu dengan bahasan yg berbeda. Terima kasih pak 😀 ngomong2 di akhir cerita kenapa seakan2 bapak ya yg jadi tokoh utama di cerpen ini? Nanti malem mau mimpiin sastri ah. Ahaha
Valka, Kata siapa sy tokoh utamanya? ingat ini cuma 'fiksi' :)
Iya pak saya paham kalo itu fiksi. Maksudnya di ending kan si tokoh utama mau siap2 berangkat buat ngajar writing, nah saya jd keinget bapak. Seakan2 si penulislah tokoh utama suatu cerita meski nyatanya gak demikian. Ada beberapa penulis yg kadang2 menyiratkan mereka sendirilah tokoh utama cerita itu padahal bisa jadi bukan. Misalnya kayak slh satu cerpen di buku kumpulan Hidup Berawal dari Mimpi. Pas sy baca, kok kayak pengalaman si penulis ya? Padahal mah bukan.
Posting Komentar